Setelah ribut-ribut mengenai penerbitan buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" (33TSIPB), dengan informasi hendak terbitnya buku kumpulan puisi esai 23 penyair, dan soal pengembalian honorarium penulisan puisi esai yang menyertainya, bagi (setidaknya) saya, usai sudah perkaranya. Artinya, dengan menelusuri rangkaian peristiwa (dalam gelar perkara atas kasus ini, kayak model KPK itu lho, dengan pembuktian terbalik), tanpa harus menunggu para ahli dan kritikus sastra menelaah secara akademik dan rinci text by text buku, ketahuan sudah ini buku berjenis apa. Karena dari sisi metodologi tak terjawab, maka uang menunjukkan jalannya. Dimulai dari pengakuan salah seorang juri, salah seorang pejabat PDS HB Jassin, salah tiga orang penulis yang ikut disertakan dalam penerbitan buku puisi esai "23 Penyair", maka konstruksi logikanya jelas sudah di sini.
Bahwa buku ini tak lebih dari buku pemeringkatan kandidat atau caleg, yang banyak ditulis menjelang cabup, cagub, atau capres dan caleg. Persis seperti jika Lingkaran Survey Indonesia (LSI) melayani client-nya untuk mendongkrak nama. Misalnya, LSI tahun 2012 dengan client bernama Fauzi Bowo menyodorkan hasil survey bahwa Foke berada di posisi teratas, dan meyakini menang dalam satu putaran dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Dan kita tahu hasilnya apa. Hanya bedanya, justeru kali ini soal berganti peran dan metode. Pelakunya mungkin sama-sama dari LSI, yakni Lingkaran Sastra Indonesia.
Kesimpulan saya atas hal itu sederhana saja. Bahwa (1) Denny JA bukanlah pembawa pengaruh sastra. Tapi dia orang yang sangat terpengaruh oleh sastra. Bahwa apakah keterpengaruhannya kemudian menjadikannya mengenal adab atau tidak, itu soal lain lagi. Karena (saya mengutip berdasar ingatan saja apa yang ditulis di blognya dalam menjawab polemik tentangnya), ia ingin sebagai manusia yang dikenang. Dan untuk itu, ia tidak melihat di jalur (survey) politik, melainkan di jalur kebudayaan. Sebagaimana ia mengutip omongan (2) John F. Kennedy yang sohor soal; jika politik kotor maka sastra yang membersihkan. Meski pun boleh saja saya tidak mempercayai kata itu. Karena juga bisa saja hal itu khas omongan kaum sombong yang pura-pura rendah hati. Padahal itu khas kepribadian rendah diri. Sudi kiranya puan dan tuan nanti melanjutkan dengan membaca postingan saya ini: http://sunardian.blogspot.com/2014/02/puisi-esai-dan-taik-kucing-teori-sastra_12.html
Karena itulah, yang dilakukan oleh Denny JA adalah politikisasi sastra (literacy politicking). Bantahan (3) Fatin Hamama yang mengatakan tak ada logika buku 23 merupakan rangkaian buku 33, ("karena buku 23 dirancang lebih dulu"), hanyalah sebuah bantahan yang lemah logika. Secara tak sadar, ia mengajak kita dengan alasan bodoh. Dalam sebuah politicking, cara membaca model Fatin Hamama itu cara yang culun. Orang culun pastilah korban paling empuk bagi politikus semacam Denny JA. Maka kalau ada ajakan para calon sastrawan harus belajar; rajinlah membaca, mengerti masalah filsafat, politik, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Bukan untuk sok-sokan, tetapi untuk mempertajam indera ke 6, 7, 8, dan seterusnya. Perkara mau belajar ke Amerika, Afrika, Eropa, China, Pacitan, terserah saja. Itu pilihan, dan katakanlah itu bentuk kebebasan, pada mereka yang tidak bersetuju soal pilihan itu. Katanya ngomong kebudayaan, tetapi kok berfikirnya juga sama diktatornya dengan yang dikatakan diktator? Heil, sastra!
Akan halnya 33 TSIPB, kita tinggal menanyai beberapa saksi atau pihak-pihak yang terlibat di dalamya. Setelah ada pengakuan dari (4) Maman S. Mahayana, juga sebelumnya pernyataan (5) Mbak Rini dari PDS HB Jassin, kini tinggal bertanya pada Manager Penerbitan Gramedia atau Redaktur Pustakanya. Siapa yang mesti bertanggungjawab soal buku 33 TSIPB itu? Setelah semua informasi terkumpul, gelar perkara bisa dimulai, dan dari sana konstruks buku 33 TSIPB akan kita dapatkan. Dan bisa memposisikan kepantasan buku ini di kelas mana, sesuai adab kepublikan yang mau dipantas-pantaskan dengan logika relativitas dan superlativitas itu. Setelahnya, dari sana kita akan tahu, siapa yang lebih penjahat sastra, apakah Denny JA atau (6) Jamal D. Rahman, atau (7) Ahmad Gaus? (Maaf, jika salah menyebut nama-nama, karena ini saya tulis pagi-pagi berdasar ingatan semata, tanpa mau melihat sederetan buku dan catatan, atau pun copast sana-sini).
Jika sudah ketemu, nanti toh juga akan kita dapatkan fakta lain. Kelas kejahatan Denny JA dan kelas kejahatan Jamal dan Gaus, dilihat dari sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Namun yang pasti, akhirnya saya bersedih hati, ketika tak bisa berharap sebuah diskursus yang matang mengenai perdebatan buku 33 TSIPB (dan buku 23 Penyair yang bakal menyertainya), jika kita bandingkan dengan "Pengadilan Puisi" (dekade70-an) dan apalagi "Polemik Kebudayaan" (dekade 50-an).
Perdebatan di dunia maya, lebih sering ditebari dengan kata-kata mulia, dan sejumlah klaim-klaim dan dukungan para supporter serta munculnya para thuyul dunia maya. Satu-satunya diskusi yang cukup menukik ke inti persoalannya adalah diskusi yang dilakukan di Yogyakarta pada bulan Januari 2014 (saya lupa tanggal berapa) yang menghadirkan (8) Halim Hade dengan tema pokok membedah kapitalisme dalam rejim sastra (demikian kalau tak salah, meski ini diskusi aneh, siapa yang menyelenggarakan dengan tujuan untuk apa. Untung saja temanya cukup cerdas, bukan mempersoalkan mana lebih baik dan mana lebih benar. Tak usah ngotot dan mengajari orang lain untuk hal itu, dan apalagi merasa paling benar dengan segala asumsi).
Sastra di Indonesia di jaman kapital ini, memang bisa tidak berada dalam ranah yang terhormat. Ia bisa hanya menjadi alat atau sekedar media, bagi siapa saja yang memperalatnya. Tentu saja orang bisa menyebut beda semangat jaman. Tetapi alangkah susahnya saya mendapati rekam jejak 'nilai sastrawi' di dunia maya yang idiom-idiomnya sangat elektronik itu. Sangat susah saya mendapati tokoh independen dalam dunia kepenulisan (sastra) sebagaimana (9) Chairil Anwar dan (10) Pramoedya Ananta Toer. Bagi mereka, bersastra atau tidak, menulis adalah sebuah totalitas. Mau puisi atau novel. Totalitas itu pengertiannya menyertakan bukan hanya pengetahuannya, melainkan juga hati nurani dan sikap-sikap kemanusiaannya, keberpihakannya.
Yang mengaku sastrawan sekarang ini sering mengatakan dia independen, netral, tidak berpihak, dengan harapan orang menilainya sebagai orang benar dan mulia. Padahal, nyata-nyata bukan hanya pernyataannya, posisinya pun berpihak. Namun bagaimana kalau keberpihakan yang dimaksudkan hanyalah karena posisioning kepentingannya saja? Bukan sikap berpihak pada hati nurani, kejujuran, dan sikap kemanusiaannya?
Penyesalan (11) Ahmadun Yosy Herfanda, dengan mengembalikan honor puisi esai dalam proyek buku 23 Penyair, menjelaskan itu. Kalau tidak ada kasus buku 33 TSIPB, pegimane? Celakanya, bagi kaum yang menolak cara AYH, juga menjelaskan hal yang sama. Bahwa uang honorarium, adalah sesuatu yang sah, bayaran profesionalisme atau sikap profesional mereka,...
Hingga kemudian kita membaca marah-marahnya (12) Agus Noor, yang selama ini lebih dikenal sebagai cerpenis (daripada penyair), karena sikapnya menerima bayaran satu puisi esai Rp 3 juta (kalah besar dibanding yang diterima AYH, Rp 10 juta) untuk proyek buku 23 Penyair itu. Bagi Agus Noor, honorarium adalah hal yang wajar, sebagaimana ia menulis (atau telah bekerja) untuk Kompas, Butet, Metro TV, advertising, dan mungkin dari berbagai sumber lain?
Tentu saja semua alasan yang dikemukakan masing-masing individu itu benar. Sebenar dari kacamata mereka, dan sebetul dari sisi kepentingan mereka. Namun bagi mereka yang bertaklim pada kepentingan publik, mau tak mau harus mempertimbangkan keadaban publik juga.
Persoalan publik sesungguhnya bukan kalian kaum bayaran atau kaum gratisan. Publik (ini kata ganti oknum, untuk subyek yang tidak tunggal) bukanlah sekumpulan tolol. Naluri kepublikan mereka adalah radar yang secara instinktif muncul dengan sendirinya. Ini mesti diingat, supaya para mereka yang mengklaim ahli sastra tidak sombong, mengklaim paling tahu sastra, dan melarang orang lain tidak perlu bicara.
Denny JA punya ambisi tersendiri, entah itu mulia atau tidak, dan apalagi dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Dunia digenggamnya, termasuk akhirnya mampu menggenggam orang-orang JIL, Ahmad Gaus, Jamal D. Rahman, Fatin Hamama, (13) Acep Zamzam Noor, dan lain sebagainya.
Ahmad Gaus, seorang yang sangat 'idealis' dalam dunia sastra yang difahami dan diyakininya, mungkin. Jangan salah baca, dan buru-buru mendebat. Saya tidak kenal dan tak punya kepentingan pribadi atasnya. Tetapi menurut saya (kira-kira dalam gelar perkara itu), dalam kacamata Denny JA, karakter seperti ini, menurut istilah orang Surabaya, mudah 'dibijuki". Coba baca dengan teliti bahasannya tentang puisi esai Denny JA dalam buku 33 TSIPB, betapa kacau logikanya.
Hal yang sama berlaku pada Jamal D. Rahman. Meski unsur pada orang ini lebih terdidik dalam tradisi majalah Horison, khususnya setelah lebih banyak diurus oleh (14) Taufiq Ismail. Sastra Pragmatisme dipraktikkan oleh Horison dibawah rejim TI. Banyak menerima sumbangan dana dari sana-sini, menerbitkan 'Kakilangit' dan apresiasi sastra keliling Indonesia. Mempunyai 9.000 eksemplar oplah yang disebar gratis ke SMA-SMA di Indonesia dengan dana dari Kemendiknas, tetapi anehnya tetap mengaku tekor dan mau collaps (menurut saya, ini sampah). Tahun ini menseskab Dipo Alam yang direngeki 'kebangkrutan Horison oleh TI, berjanji akan membantu. Pada sisi ini, Pramoedya memang tampak begitu anggun dibanding Taufiq Ismail, apapun pilihan politik mereka. Dan jangan gampang mengira saya gampang tertipu pilihan politikmu apa. Dengan ngotot memasukkan (15) Fadli Zon, keponakannya, untuk masuk ke jajaran redaksi Horison pada waktu itu, kita tahu siapa TI.
Jika mau mundur dari Horison, mestinya (16) Cecep Syamsul Hari mundur mulai pada waktu itu. Tapi saya sungguh tak tahu, apakah beliau sudah di sana jaman itu, karena saya tak lagi membaca Horison sejak TI berkuasa. Jadi, yang tidak tahu masih boleh komentar? Meski pun banyak orang berkomentar justeru karena tidak tahu, makanya melarang orang lain berkomentar supaya ketidaktahuannya tidak ketahuan.
Nah, di situ kita bisa melihat apa perbedaan Jamal D. Rahman dengan Cecep Syamsul Hari. Tapi kita tak perlu risau dan bertanya, apa hubungan Cecep dengan Acep dalam dunia sastra Indonesia? Kita hanya tahu Acep masuk ke Jurnal Sajak, sebuah jurnal yang dibiayai oleh Denny JA. Tetapi, kenapa orang tidak menelisik mengenai apa ideologi Acep ini dalam sastra? Ketauhidan? Kebaikan personal? Atau karena itu cara khas penyair yang pelukis, sebagaimana (17) Gus Mus juga menyair dan melukis, semua berangkat dari niat baik?
Ada orang baik macam Ahmadun Y. Herfanda, yang katanya begitu bersahaja, sebagaimana sembahyang rumput, dan akhirnya mengembalikan honorarium, sebagaimana Maman S. Mahayana juga mengaku demikian, mengembalikan honor 5 esei (jika AYH mengembalikan Rp 10 juta, MSM mengembalikan Rp 25 juta). Keduanya adalah orang baik dengan prasangka baik, dan tertipu dengan baik. Bagi saya, sikap keduanya mewakili pandangan lama kaum sastrawan baik. Yakni khas perkawanan sastra. Tapi tidak terjadi perkawinan sastra di situ. Hanya karena tidak enak menolak karena kawan. Sementara dalam puisi 'Kawin", tulis Remy Sylado; kalau kawan kawin yang jangan ngintip. Padahal, apakah yang berumahtangga itu pada kawin? Belum tentu. Banyak rumahtangga sastra dibangun, tetapi apakah terjadi perkawinan sastra di dalamnya? Belum tentu. Karena yang tentu adalah perkawanan sastra. Belum tentu pula ada peratutan ideologi, selain kepentingan.
Maka ideologinya adalah kepentingan, sebagaimana filsafat pragmatisme itu punya maksud. Perkawanan sastra ini yang menyebabkan tulisan seseorang bisa masuk dan ditolak oleh redaktur koran atau majalah, yang mengaku-aku beradab dan pintar Dan tanyakan pada (18) Joni Ariadinata, bagaimana ketika cerpennya tidak diterima lagi di Kompas. Perkawanan sastra bisa meembuat nama ini dan itu bisa mendapatkan biaya studi di luar negeri. Mendapat hadiah sastra, dipuja-puja atau dicaci-maki. Kita tidak pernah jujur dalam hal ini. Tidak pernah menempatkan sastrawan di dalam karya sastra atau tulisannya. Maka mereka pun bergerombollah dalam komunitas-komunitas, grup-grup, tetapi dengan struktur logika dan filsafat yang sama juga akhirnya.
Ketika Ahmadun merasa sangat berdosa, dan merasa telah menjadi pelacur, bisa berbeda dengan Agus Noor yang merasa itu haknya sebagai profesional. Mana yang lebih baik? Sama seperti ketika Gading Martin ditanya; Deni Cagur itu cakep enggak? Jawabnya; ".... lucu sih!"
Ternyata, diskusi sastra kita mengenal istilah "berapa kamu dibayar atas tulisanmu?" Pertanyaan yang menyedihkan. Apalagi jika pertanyaan itu pun juga dijawab; "Dibayar tiga juta rupiah untuk satu puisi esai. Dan itu hakku!" Ketika menyebut 'hakku!" itu, sulit saya membayangkan ada wajah Leo Imam Soekarno dalam lagu Leo Kristi yang bicara tentang sejarah nan palsu.
Apakah tidak boleh membicarakan bayaran di dunia sastra? Karya kesenian adiluhung nan profesional? Boleh. Tentu saja bolah-boleh saja. Jika tidak, bagaimana? Apa mesti hidup bohemian bak Ahas Veros macam Chairil? Tapi itu menunjukkan betapa fatalnya dunia sastra kita. Ternyata ada yang menganggap "hanya segitu?" tapi dalam waktu bersamaan ada yang berkomentar "wah, sampai segitu yah?" Dan tiba-tiba, ada pengakuan (atau penilaian) bahwa itu pelacuran. Tapi ada juga yang berpendapat, pelacur berhak atas apa yang sudah digoyangnya, digorengnya, dikerjakannya, secara piawai (maka istilah bahasa Indonesia ada Pekerja Seks Komersial, tetapi tidak ada Pekerja Seks Amatiran, shit!). Kalau begitu, saya bertanya, kenapa tidak semua perempuan mau menjadi pelacur? Menjadi pekerja seks komersial? Apa jawaban mereka? Dengarkan, hei sastrawan dan sastrawati, jangan hanya mau ngomong benernya sendiri.
Lagi-lagi, maka dalam berkarya cipta sastra, betapa anggunnya Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Totalitas. Bersastra bukan hanya soal teknis, keahlian bertutur kata, menggoreng kata-kata di mana tiap lekuk huruf telah bertekuk-lutut padanya, menguasai teori, fasih dengan dalil filsafat, lancar menulis dalam 15 menit jadi cerpen. Tetapi totalitas sebagaimana digambarkan penyair dan novelis Indonesia bernama CA dan PAT itu?
Itulah sebabnya, bagi saya Pram lebih mempesona dibandingkan (19) Sutan Takdir Alisyahbana, yang juga mempesona dengan Groota Azzura. Lebih mengesankan dibanding (20) Iwan Simatupang, yang meski dalam novelnya begitu absurd, tapi dalam surat-surat politiknya pada (21) B. Soelarto, sangat kentara orientasi dan permainannya. Maka itu pula kenapa Chairil Anwar jauh lebih mempesona dibandingkan (22) Goenawan Mohamad, yang imajis dan manikebuis itu. Apalagi dibanding (23) Wowok H. Prabowo, yang menerima saja anugerah sebagai tokoh sastra paling berpengaruh, dengan alasan kalau penghargaan itu dikembalikan toh tidak mempengaruhi penilaian juri. Mari ketawa ala fesbuker, wkwkwkwk,... disertai doa semoga Wiji Thukul tak mendengarnya.
Dan totalitas itu beresiko, sebagaimana ketidaktotalitasan juga beresiko. Tetapi resiko totalitas tentu berbeda dengan resiko ketidaktotalitasan. Kita tahu itu, tapi sering pura-pura, karena kompromisme yang membuat kita bersikap konformis (bukan kompromis). Konformime itulah jebakan dan sekaligus alasan, dalam pikatan rezim kapital. Pram sebenarnya punya kutipan bagus soal ini, tentang apa yang disebut profesionalisme dan melacur itu.
Jangan-jangan persoalan sastra kita hanya masalah yang ringan-ringan saja, sebagaimana sikap Agus Noor, bahwa semua orang berhak atas jasa profesionalitasnya? Atau, benarkah sastra kita hari ini hanya persoalan teknis semata, menggoreng kata-kata dan trend sastra gorengan?
Jika jawabnya ya, pantes saja tak ada penyair dan novelis sedahsyat Chairil dan Pram. Meski pun tentu saja klaim ini bisa dituding sinis. Tetapi memang sinis kok. Lha siapa yang tidak sinis coba, wong berdebat sastra kok cuma memperkarakan tokoh-tokoh, orang-orangnya. Mana soal karyanya? Mana soal kritiknya? Si anu ngomong si itu puisinya jelek. Jeleknya di mana? Pokoknya jelek! Kritik sastra model Soehartois. Si ini konsep kreatifnya keren, mempengaruhi orang lain, sampai mendapat 8 juta netter yang like this! Apa bagusnya?
Lagi-lagi kita menyalahkan orang. Salahnya melihat sastra dengan orangnya. Lihatlah sastra tanpa orangnya. Bagaimana cara melihat karya sastra tanpa melihat penulis karyanya?
Waduh, jadi harus dijelaskan sejak awal ya?
Itu sebabnya, saya sangat tercengang dengan sahabat saya, Saut.
Dia yang kemudian tewas dalam usia mudanya. Dia, ialah (24) Saut Sitompul!
Saut Sitompul bukan orang yang menumpang. Kalau pun menumpang, pasti cuma menumpang bus kota. Itu pun ia lakukan untuk mengamen puisi. Mengamen puisi di bus kota yang menyibak kesemrawutan Jakarta!
| Dalam tulisan ini, tersebut 24 nama (masih butuh 9 lagi). Cari dan pelajari sejarah hidup serta karya-karyanya, baru kita lanjutkan diskusi ini. Kalau saya tidak menyebut nama-nama di luar nama-nama itu, minta maaf, baca lagi fokus masalahnya. Tapi kalau ingin namanya disebut, tolong usulkan pada saya, biar tersebut.
Yogyakarta, subuh hari 11 Januari 2014
Bahwa buku ini tak lebih dari buku pemeringkatan kandidat atau caleg, yang banyak ditulis menjelang cabup, cagub, atau capres dan caleg. Persis seperti jika Lingkaran Survey Indonesia (LSI) melayani client-nya untuk mendongkrak nama. Misalnya, LSI tahun 2012 dengan client bernama Fauzi Bowo menyodorkan hasil survey bahwa Foke berada di posisi teratas, dan meyakini menang dalam satu putaran dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Dan kita tahu hasilnya apa. Hanya bedanya, justeru kali ini soal berganti peran dan metode. Pelakunya mungkin sama-sama dari LSI, yakni Lingkaran Sastra Indonesia.
Kesimpulan saya atas hal itu sederhana saja. Bahwa (1) Denny JA bukanlah pembawa pengaruh sastra. Tapi dia orang yang sangat terpengaruh oleh sastra. Bahwa apakah keterpengaruhannya kemudian menjadikannya mengenal adab atau tidak, itu soal lain lagi. Karena (saya mengutip berdasar ingatan saja apa yang ditulis di blognya dalam menjawab polemik tentangnya), ia ingin sebagai manusia yang dikenang. Dan untuk itu, ia tidak melihat di jalur (survey) politik, melainkan di jalur kebudayaan. Sebagaimana ia mengutip omongan (2) John F. Kennedy yang sohor soal; jika politik kotor maka sastra yang membersihkan. Meski pun boleh saja saya tidak mempercayai kata itu. Karena juga bisa saja hal itu khas omongan kaum sombong yang pura-pura rendah hati. Padahal itu khas kepribadian rendah diri. Sudi kiranya puan dan tuan nanti melanjutkan dengan membaca postingan saya ini: http://sunardian.blogspot.com/2014/02/puisi-esai-dan-taik-kucing-teori-sastra_12.html
Karena itulah, yang dilakukan oleh Denny JA adalah politikisasi sastra (literacy politicking). Bantahan (3) Fatin Hamama yang mengatakan tak ada logika buku 23 merupakan rangkaian buku 33, ("karena buku 23 dirancang lebih dulu"), hanyalah sebuah bantahan yang lemah logika. Secara tak sadar, ia mengajak kita dengan alasan bodoh. Dalam sebuah politicking, cara membaca model Fatin Hamama itu cara yang culun. Orang culun pastilah korban paling empuk bagi politikus semacam Denny JA. Maka kalau ada ajakan para calon sastrawan harus belajar; rajinlah membaca, mengerti masalah filsafat, politik, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Bukan untuk sok-sokan, tetapi untuk mempertajam indera ke 6, 7, 8, dan seterusnya. Perkara mau belajar ke Amerika, Afrika, Eropa, China, Pacitan, terserah saja. Itu pilihan, dan katakanlah itu bentuk kebebasan, pada mereka yang tidak bersetuju soal pilihan itu. Katanya ngomong kebudayaan, tetapi kok berfikirnya juga sama diktatornya dengan yang dikatakan diktator? Heil, sastra!
Akan halnya 33 TSIPB, kita tinggal menanyai beberapa saksi atau pihak-pihak yang terlibat di dalamya. Setelah ada pengakuan dari (4) Maman S. Mahayana, juga sebelumnya pernyataan (5) Mbak Rini dari PDS HB Jassin, kini tinggal bertanya pada Manager Penerbitan Gramedia atau Redaktur Pustakanya. Siapa yang mesti bertanggungjawab soal buku 33 TSIPB itu? Setelah semua informasi terkumpul, gelar perkara bisa dimulai, dan dari sana konstruks buku 33 TSIPB akan kita dapatkan. Dan bisa memposisikan kepantasan buku ini di kelas mana, sesuai adab kepublikan yang mau dipantas-pantaskan dengan logika relativitas dan superlativitas itu. Setelahnya, dari sana kita akan tahu, siapa yang lebih penjahat sastra, apakah Denny JA atau (6) Jamal D. Rahman, atau (7) Ahmad Gaus? (Maaf, jika salah menyebut nama-nama, karena ini saya tulis pagi-pagi berdasar ingatan semata, tanpa mau melihat sederetan buku dan catatan, atau pun copast sana-sini).
Jika sudah ketemu, nanti toh juga akan kita dapatkan fakta lain. Kelas kejahatan Denny JA dan kelas kejahatan Jamal dan Gaus, dilihat dari sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Namun yang pasti, akhirnya saya bersedih hati, ketika tak bisa berharap sebuah diskursus yang matang mengenai perdebatan buku 33 TSIPB (dan buku 23 Penyair yang bakal menyertainya), jika kita bandingkan dengan "Pengadilan Puisi" (dekade70-an) dan apalagi "Polemik Kebudayaan" (dekade 50-an).
Perdebatan di dunia maya, lebih sering ditebari dengan kata-kata mulia, dan sejumlah klaim-klaim dan dukungan para supporter serta munculnya para thuyul dunia maya. Satu-satunya diskusi yang cukup menukik ke inti persoalannya adalah diskusi yang dilakukan di Yogyakarta pada bulan Januari 2014 (saya lupa tanggal berapa) yang menghadirkan (8) Halim Hade dengan tema pokok membedah kapitalisme dalam rejim sastra (demikian kalau tak salah, meski ini diskusi aneh, siapa yang menyelenggarakan dengan tujuan untuk apa. Untung saja temanya cukup cerdas, bukan mempersoalkan mana lebih baik dan mana lebih benar. Tak usah ngotot dan mengajari orang lain untuk hal itu, dan apalagi merasa paling benar dengan segala asumsi).
Sastra di Indonesia di jaman kapital ini, memang bisa tidak berada dalam ranah yang terhormat. Ia bisa hanya menjadi alat atau sekedar media, bagi siapa saja yang memperalatnya. Tentu saja orang bisa menyebut beda semangat jaman. Tetapi alangkah susahnya saya mendapati rekam jejak 'nilai sastrawi' di dunia maya yang idiom-idiomnya sangat elektronik itu. Sangat susah saya mendapati tokoh independen dalam dunia kepenulisan (sastra) sebagaimana (9) Chairil Anwar dan (10) Pramoedya Ananta Toer. Bagi mereka, bersastra atau tidak, menulis adalah sebuah totalitas. Mau puisi atau novel. Totalitas itu pengertiannya menyertakan bukan hanya pengetahuannya, melainkan juga hati nurani dan sikap-sikap kemanusiaannya, keberpihakannya.
Yang mengaku sastrawan sekarang ini sering mengatakan dia independen, netral, tidak berpihak, dengan harapan orang menilainya sebagai orang benar dan mulia. Padahal, nyata-nyata bukan hanya pernyataannya, posisinya pun berpihak. Namun bagaimana kalau keberpihakan yang dimaksudkan hanyalah karena posisioning kepentingannya saja? Bukan sikap berpihak pada hati nurani, kejujuran, dan sikap kemanusiaannya?
Penyesalan (11) Ahmadun Yosy Herfanda, dengan mengembalikan honor puisi esai dalam proyek buku 23 Penyair, menjelaskan itu. Kalau tidak ada kasus buku 33 TSIPB, pegimane? Celakanya, bagi kaum yang menolak cara AYH, juga menjelaskan hal yang sama. Bahwa uang honorarium, adalah sesuatu yang sah, bayaran profesionalisme atau sikap profesional mereka,...
Hingga kemudian kita membaca marah-marahnya (12) Agus Noor, yang selama ini lebih dikenal sebagai cerpenis (daripada penyair), karena sikapnya menerima bayaran satu puisi esai Rp 3 juta (kalah besar dibanding yang diterima AYH, Rp 10 juta) untuk proyek buku 23 Penyair itu. Bagi Agus Noor, honorarium adalah hal yang wajar, sebagaimana ia menulis (atau telah bekerja) untuk Kompas, Butet, Metro TV, advertising, dan mungkin dari berbagai sumber lain?
Tentu saja semua alasan yang dikemukakan masing-masing individu itu benar. Sebenar dari kacamata mereka, dan sebetul dari sisi kepentingan mereka. Namun bagi mereka yang bertaklim pada kepentingan publik, mau tak mau harus mempertimbangkan keadaban publik juga.
Persoalan publik sesungguhnya bukan kalian kaum bayaran atau kaum gratisan. Publik (ini kata ganti oknum, untuk subyek yang tidak tunggal) bukanlah sekumpulan tolol. Naluri kepublikan mereka adalah radar yang secara instinktif muncul dengan sendirinya. Ini mesti diingat, supaya para mereka yang mengklaim ahli sastra tidak sombong, mengklaim paling tahu sastra, dan melarang orang lain tidak perlu bicara.
Denny JA punya ambisi tersendiri, entah itu mulia atau tidak, dan apalagi dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Dunia digenggamnya, termasuk akhirnya mampu menggenggam orang-orang JIL, Ahmad Gaus, Jamal D. Rahman, Fatin Hamama, (13) Acep Zamzam Noor, dan lain sebagainya.
Ahmad Gaus, seorang yang sangat 'idealis' dalam dunia sastra yang difahami dan diyakininya, mungkin. Jangan salah baca, dan buru-buru mendebat. Saya tidak kenal dan tak punya kepentingan pribadi atasnya. Tetapi menurut saya (kira-kira dalam gelar perkara itu), dalam kacamata Denny JA, karakter seperti ini, menurut istilah orang Surabaya, mudah 'dibijuki". Coba baca dengan teliti bahasannya tentang puisi esai Denny JA dalam buku 33 TSIPB, betapa kacau logikanya.
Hal yang sama berlaku pada Jamal D. Rahman. Meski unsur pada orang ini lebih terdidik dalam tradisi majalah Horison, khususnya setelah lebih banyak diurus oleh (14) Taufiq Ismail. Sastra Pragmatisme dipraktikkan oleh Horison dibawah rejim TI. Banyak menerima sumbangan dana dari sana-sini, menerbitkan 'Kakilangit' dan apresiasi sastra keliling Indonesia. Mempunyai 9.000 eksemplar oplah yang disebar gratis ke SMA-SMA di Indonesia dengan dana dari Kemendiknas, tetapi anehnya tetap mengaku tekor dan mau collaps (menurut saya, ini sampah). Tahun ini menseskab Dipo Alam yang direngeki 'kebangkrutan Horison oleh TI, berjanji akan membantu. Pada sisi ini, Pramoedya memang tampak begitu anggun dibanding Taufiq Ismail, apapun pilihan politik mereka. Dan jangan gampang mengira saya gampang tertipu pilihan politikmu apa. Dengan ngotot memasukkan (15) Fadli Zon, keponakannya, untuk masuk ke jajaran redaksi Horison pada waktu itu, kita tahu siapa TI.
Jika mau mundur dari Horison, mestinya (16) Cecep Syamsul Hari mundur mulai pada waktu itu. Tapi saya sungguh tak tahu, apakah beliau sudah di sana jaman itu, karena saya tak lagi membaca Horison sejak TI berkuasa. Jadi, yang tidak tahu masih boleh komentar? Meski pun banyak orang berkomentar justeru karena tidak tahu, makanya melarang orang lain berkomentar supaya ketidaktahuannya tidak ketahuan.
Nah, di situ kita bisa melihat apa perbedaan Jamal D. Rahman dengan Cecep Syamsul Hari. Tapi kita tak perlu risau dan bertanya, apa hubungan Cecep dengan Acep dalam dunia sastra Indonesia? Kita hanya tahu Acep masuk ke Jurnal Sajak, sebuah jurnal yang dibiayai oleh Denny JA. Tetapi, kenapa orang tidak menelisik mengenai apa ideologi Acep ini dalam sastra? Ketauhidan? Kebaikan personal? Atau karena itu cara khas penyair yang pelukis, sebagaimana (17) Gus Mus juga menyair dan melukis, semua berangkat dari niat baik?
Ada orang baik macam Ahmadun Y. Herfanda, yang katanya begitu bersahaja, sebagaimana sembahyang rumput, dan akhirnya mengembalikan honorarium, sebagaimana Maman S. Mahayana juga mengaku demikian, mengembalikan honor 5 esei (jika AYH mengembalikan Rp 10 juta, MSM mengembalikan Rp 25 juta). Keduanya adalah orang baik dengan prasangka baik, dan tertipu dengan baik. Bagi saya, sikap keduanya mewakili pandangan lama kaum sastrawan baik. Yakni khas perkawanan sastra. Tapi tidak terjadi perkawinan sastra di situ. Hanya karena tidak enak menolak karena kawan. Sementara dalam puisi 'Kawin", tulis Remy Sylado; kalau kawan kawin yang jangan ngintip. Padahal, apakah yang berumahtangga itu pada kawin? Belum tentu. Banyak rumahtangga sastra dibangun, tetapi apakah terjadi perkawinan sastra di dalamnya? Belum tentu. Karena yang tentu adalah perkawanan sastra. Belum tentu pula ada peratutan ideologi, selain kepentingan.
Maka ideologinya adalah kepentingan, sebagaimana filsafat pragmatisme itu punya maksud. Perkawanan sastra ini yang menyebabkan tulisan seseorang bisa masuk dan ditolak oleh redaktur koran atau majalah, yang mengaku-aku beradab dan pintar Dan tanyakan pada (18) Joni Ariadinata, bagaimana ketika cerpennya tidak diterima lagi di Kompas. Perkawanan sastra bisa meembuat nama ini dan itu bisa mendapatkan biaya studi di luar negeri. Mendapat hadiah sastra, dipuja-puja atau dicaci-maki. Kita tidak pernah jujur dalam hal ini. Tidak pernah menempatkan sastrawan di dalam karya sastra atau tulisannya. Maka mereka pun bergerombollah dalam komunitas-komunitas, grup-grup, tetapi dengan struktur logika dan filsafat yang sama juga akhirnya.
Ketika Ahmadun merasa sangat berdosa, dan merasa telah menjadi pelacur, bisa berbeda dengan Agus Noor yang merasa itu haknya sebagai profesional. Mana yang lebih baik? Sama seperti ketika Gading Martin ditanya; Deni Cagur itu cakep enggak? Jawabnya; ".... lucu sih!"
Ternyata, diskusi sastra kita mengenal istilah "berapa kamu dibayar atas tulisanmu?" Pertanyaan yang menyedihkan. Apalagi jika pertanyaan itu pun juga dijawab; "Dibayar tiga juta rupiah untuk satu puisi esai. Dan itu hakku!" Ketika menyebut 'hakku!" itu, sulit saya membayangkan ada wajah Leo Imam Soekarno dalam lagu Leo Kristi yang bicara tentang sejarah nan palsu.
Apakah tidak boleh membicarakan bayaran di dunia sastra? Karya kesenian adiluhung nan profesional? Boleh. Tentu saja bolah-boleh saja. Jika tidak, bagaimana? Apa mesti hidup bohemian bak Ahas Veros macam Chairil? Tapi itu menunjukkan betapa fatalnya dunia sastra kita. Ternyata ada yang menganggap "hanya segitu?" tapi dalam waktu bersamaan ada yang berkomentar "wah, sampai segitu yah?" Dan tiba-tiba, ada pengakuan (atau penilaian) bahwa itu pelacuran. Tapi ada juga yang berpendapat, pelacur berhak atas apa yang sudah digoyangnya, digorengnya, dikerjakannya, secara piawai (maka istilah bahasa Indonesia ada Pekerja Seks Komersial, tetapi tidak ada Pekerja Seks Amatiran, shit!). Kalau begitu, saya bertanya, kenapa tidak semua perempuan mau menjadi pelacur? Menjadi pekerja seks komersial? Apa jawaban mereka? Dengarkan, hei sastrawan dan sastrawati, jangan hanya mau ngomong benernya sendiri.
Lagi-lagi, maka dalam berkarya cipta sastra, betapa anggunnya Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Totalitas. Bersastra bukan hanya soal teknis, keahlian bertutur kata, menggoreng kata-kata di mana tiap lekuk huruf telah bertekuk-lutut padanya, menguasai teori, fasih dengan dalil filsafat, lancar menulis dalam 15 menit jadi cerpen. Tetapi totalitas sebagaimana digambarkan penyair dan novelis Indonesia bernama CA dan PAT itu?
Itulah sebabnya, bagi saya Pram lebih mempesona dibandingkan (19) Sutan Takdir Alisyahbana, yang juga mempesona dengan Groota Azzura. Lebih mengesankan dibanding (20) Iwan Simatupang, yang meski dalam novelnya begitu absurd, tapi dalam surat-surat politiknya pada (21) B. Soelarto, sangat kentara orientasi dan permainannya. Maka itu pula kenapa Chairil Anwar jauh lebih mempesona dibandingkan (22) Goenawan Mohamad, yang imajis dan manikebuis itu. Apalagi dibanding (23) Wowok H. Prabowo, yang menerima saja anugerah sebagai tokoh sastra paling berpengaruh, dengan alasan kalau penghargaan itu dikembalikan toh tidak mempengaruhi penilaian juri. Mari ketawa ala fesbuker, wkwkwkwk,... disertai doa semoga Wiji Thukul tak mendengarnya.
Dan totalitas itu beresiko, sebagaimana ketidaktotalitasan juga beresiko. Tetapi resiko totalitas tentu berbeda dengan resiko ketidaktotalitasan. Kita tahu itu, tapi sering pura-pura, karena kompromisme yang membuat kita bersikap konformis (bukan kompromis). Konformime itulah jebakan dan sekaligus alasan, dalam pikatan rezim kapital. Pram sebenarnya punya kutipan bagus soal ini, tentang apa yang disebut profesionalisme dan melacur itu.
Jangan-jangan persoalan sastra kita hanya masalah yang ringan-ringan saja, sebagaimana sikap Agus Noor, bahwa semua orang berhak atas jasa profesionalitasnya? Atau, benarkah sastra kita hari ini hanya persoalan teknis semata, menggoreng kata-kata dan trend sastra gorengan?
Jika jawabnya ya, pantes saja tak ada penyair dan novelis sedahsyat Chairil dan Pram. Meski pun tentu saja klaim ini bisa dituding sinis. Tetapi memang sinis kok. Lha siapa yang tidak sinis coba, wong berdebat sastra kok cuma memperkarakan tokoh-tokoh, orang-orangnya. Mana soal karyanya? Mana soal kritiknya? Si anu ngomong si itu puisinya jelek. Jeleknya di mana? Pokoknya jelek! Kritik sastra model Soehartois. Si ini konsep kreatifnya keren, mempengaruhi orang lain, sampai mendapat 8 juta netter yang like this! Apa bagusnya?
Lagi-lagi kita menyalahkan orang. Salahnya melihat sastra dengan orangnya. Lihatlah sastra tanpa orangnya. Bagaimana cara melihat karya sastra tanpa melihat penulis karyanya?
Waduh, jadi harus dijelaskan sejak awal ya?
Itu sebabnya, saya sangat tercengang dengan sahabat saya, Saut.
Dia yang kemudian tewas dalam usia mudanya. Dia, ialah (24) Saut Sitompul!
Saut Sitompul bukan orang yang menumpang. Kalau pun menumpang, pasti cuma menumpang bus kota. Itu pun ia lakukan untuk mengamen puisi. Mengamen puisi di bus kota yang menyibak kesemrawutan Jakarta!
| Dalam tulisan ini, tersebut 24 nama (masih butuh 9 lagi). Cari dan pelajari sejarah hidup serta karya-karyanya, baru kita lanjutkan diskusi ini. Kalau saya tidak menyebut nama-nama di luar nama-nama itu, minta maaf, baca lagi fokus masalahnya. Tapi kalau ingin namanya disebut, tolong usulkan pada saya, biar tersebut.
Yogyakarta, subuh hari 11 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar