Tri Rismaharini dan Ada Apa dengan Megawati | Ketika hampir semua orang ribut, kita sama sekali tidak mendengar apa omongan Megawati Soekarnoputri tentang Tri Rismaharini. Mungkin pengertiannya, diam itu emas. Tapi apalah artinya emas, jika ternyata diamnya adalah perwujudan kelemahan dalam menguasai masalah? Megawati dalam banyak hal, adalah tipikal pemimpin peragu, tak jauh beda dengan Soesilo Bambang Yudhoyono. Mereka tentu berbeda dengan Habibie, dan apalagi Gus Dur. Sekali pun Soeharto dan Sukarno (lepas dari apapun pilihan politiknya) bukan pemimpin sempurna, tetaplah mereka pemimpin yang paling teguh dalam kepemimpinan di Indonesia.
Dalam kasus Tri Rismaharini akhir-akhir ini, PDI Perjuangan berhadapan dengan suatu dilema. Apalagi gegeran mengenai permasalahan diangkatnya Wisnu Sakti Buana sebagai Wakil Walikota Surabaya. Tri Rismaharini menengarai ada kesalahan prosedural, dan bola panas ia lempar hingga ke DPR-RI, Mendagri, dan bahkan ke Presiden. PDI Perjuangan sebagai partai yang mengusung Risma sebagai Walikota Surabaya, di tingkat DPC, DPD, dan DPP pun kebakaran janggut (karena ada yang janggutnya tak punya jenggot, termasuk Megawati).
Politik umumnya dideskripsikan sebagai upaya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan semata. Tipu muslihat, saling menyikut, saling menjegal, seolah sebuah kemestian, bahkan kepada teman sendiri. Dalam politik semacam ini, tak ada pertemanan dan musuh abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan, begitu adagiumnya. Ungkapan Lord Acton, bahwa power tends to corrupt, memberi gambaran bagaimana kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, diselewengkan, atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.
Dalam kasus Risma, terlihat PDIP kecipuhan, ambivalen, kebingungan hendak bersikap bagaimana. Pernyataan antara satu dan lain elitenya, bisa berbeda-beda. Dari Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Budiman Sudjatmiko, Arief Wibowo, Maruarar Sirait, dan apalagi para petinggi di tingkat DPD dan DPC. Meski semuanya kemudian dibungkus dengan pernyataan normatif; Bahwa tak ada konflik di internal partai. Ini dinamika politik biasa. Situasi ini dipakai pihak lain untuk memancing di air keruh. Tapi fakta pada internal mereka, dengan jelas menunjukkan konflik kepentingan, dan betapa keruhnya air di kolam PDIP.
Pernyataan Risma yang ingin mengundurkan diri, adalah inti persoalan yang selama ini ditutup-tutupi oleh mereka yang hendak menggusur Risma, dan bahkan oleh konflik kepentingan PDIP sendiri. “Saya sudah berikan semuanya,” kata Risma pada pers. “Capek saya ngurus mereka, yang hanya memikirkan fitnah, menang-menangan, sikut-sikutan.” Ketika ditanya siapa yang dimaksud dengan ‘mereka’, Risma tak menjawab. Bukan karena takut secara politik, tapi itu menunjukkan psikologisme “ketakutannya” sebagai manusia biasa, bukan manusia politik. Dalam instink politik, Risma menunjukkan keberanian luar biasa. Tapi politik formal dalam pengertian sistem dan mekanisme (yang indikasinya oleh Risma ditengarai “yang hanya memikirkan fitnah, menang-menangan, dan sikut-sikutan”), ia tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.
Berbagai tindakan Risma, yang melaporkan kasus Kebun Binatang Surabaya ke KPK, dan kemudian soal pengangkatan wakil walikota ke DPR-RI, menunjukkan bahwa dia berani, sekali pun orang mengatakan tindakannya naif. Namun, hanya orang tanpa pretensi dan tendensi yang mempunyai keberanian untuk naif, dan lugu. Karena hanya dia yang seperti itu bisa mengatakan ‘nothing to loose’. Makanya dia bisa cenderung menjadi buldozer, tanpa kompromi, dan itu yang sering tak dipunyai politikus kekuasaan. Risma dengan politik hati nurani, hanya mengabdikan kekuasaannya untuk mensejahteraan rakyat (yang memberinya amanah).
“Begitu jadi walikota, itu berarti jadi orangtua, jadi pimpinan semua warga. Ibu Mega juga pernah bilang begitu. Sudah, Mbak Risma nggak perlu ngurus politik. Mbak Risma ngurusi rakyatnya saja. Karena mungkin saya juga nggak ngerti, ya sudah toh, aku ngurusi itu saja. Lain-lainnya aku nggak ngerti. Kalau menurut aku salah, ya salah. Benar ya benar. Saya ya begitu itu,...” kata Risma kepada pers.
Dari pernyataan itu, sesungguhnya segera tampak, ada dua pengertian mengenai “politik” di sini. Mengutip pernyataan Megawati, “Risma tidak perlu mengurus politik tetapi ngurusi rakyat saja”. Pernyataan ini seolah mendikotomi bahwa politik dan rakyat itu sesuatu yang berbeda. Tetapi kita bisa lebih jauh mengungkapnya; Politik yang dimaksud Megawati di situ adalah “politik kekuasaan”, “politik formal-prosedural”, alias “politik ecek-ecek”, yang oleh Risma sendiri disebutnya; Hanya memikirkan fitnah, menang-menangan, dan sikut-sikutan.
Hal itu lebih sebagai petunjuk, bahwa demokrasi kita masih demokrasi kepentingan kekuasaan dalam pengertian sempit. Tidak ada yang mau menanggalkan bendera atau kepentingan partai ketika mendapatkan jabatan publik. Tetapi justeru cenderung dipakai untuk memperkuat dan memperuntung partainya sendiri.
Hal itu berbeda dengan “politik” (tanda petik namun substansial) yang dianut Risma. Yakni politik hati-nurani, yang pada hakikatnya hanyalah alat untuk mengaktualisasikan tujuan-tujuan pemuliaan dan kesejahteraan rakyat. Sementara politik kekuasaan, cenderung berpikir dan orientasi pada diri dan kelompok kepentingan sendiri.
Namun sebelum mengurainya lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui latar belakang persoalannya. Agar kita bisa memahami masalah dengan lebih baik. Selama ini kita berkecendrungan tidak mau membaca, apalagi untuk mengetahui latar belakangnya. Kita cenderung keburu berkomentar, yang hanya menunjukkan kita sebagai orang yang mudah tertipu karena emosionalitas kita.
Tri Rismaharini Walikota Terbaik Dunia. Belum lama ini, Tri Rismaharini dinobatkan sebagai Walikota Terbaik Dunia 2014 oleh CityMajors. Ir. Tri Rismaharini, M.T. atau terkadang ditulis Tri Risma Harini (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Oktober 1961), adalah Walikota Surabaya yang menjabat sejak 28 September 2010. Ia perempuan pertama yang terpilih sebagai Walikota Surabaya sepanjang sejarahnya.
Insinyur lulusan Arsitektur dan paskasarjana Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini, tercatat sebagai perempuan pertama di Indonesia, yang dipilih langsung menjadi walikota melalui pemilihan kepala daerah sepanjang sejarah demokrasi di Indonesa paska Refromasi 98. Melalui pemilihan langsung, ia menggantikan Bambang Dwi Hartono, yang kemudian (lucunya menjadi pasangan Risma sebagai wakil, dan kemudian mengundurkan diri pada 14 Juni 2013 karena maju sebagai calon gubernur dari PDIP. Jagoan cagub PDIP ini dikalahkan oleh Soekarwo).
Dalam pemilihan walikota, pasangan Risma dan Bambang DH diusung oleh partai PDI-P. Memenangi pilkada dengan 358.187 suara, atau sebesar 38,53 persen. Pasangan ini dilantik pada tanggal 28 September 2010.
Sebelum terpilih menjadi wali kota, Risma pernah menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya hingga tahun 2010. Di masa kepemimpinannya di DKP, bahkan hingga kini menjadi Walikota Surabaya, Kota Surabaya menjadi lebih asri dibandingkan sebelumnya, lebih hijau dan lebih segar.
Sederet taman kota yang dibangun di era Risma adalah pemugaran taman Bungkul di jalan Raya Darmo dengan konsep all-in-one entertainment park, taman di Bundaran Dolog, taman Undaan, serta taman di Bawean, dan di beberapa tempat lainnya yang dulunya mati sekarang tiap malam dipenuhi dengan warga Surabaya.
Selain itu Risma juga berjasa membangun jalur pedestrian dengan konsep modern, di sepanjang jalan Basuki Rahmat, yang kemudian dilanjutkan hingga jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman. Di bawah kepemimpinannya pula, Kota Surabaya meraih tiga kali piala adipura (2011 – 2013) kategori kota metropolitan. Selain itu, kepemimpinan Risma juga membawa Surabaya menjadi kota terbaik partisipasinya se-Asia Pasifik 2012 versi Citynet, atas keberhasilan pemerintah kota dan partisipasi rakyat dalam mengelola lingkungan. Oktober 2013, Kota Surabaya dibawah kepemimpinannya memperoleh penghargaan tingkat Asia-Pasifik, yaitu Future Government Awards 2013 di dua bidang sekaligus, yaitu data center dan inklusi digital, menyisihkan 800 kota di seluruh Asia-Pasifik.
Risma Dimakzulkan. Namun belum setahun menjabat, pada tanggal 31 Januari 2011, Ketua DPRD Surabaya Whisnu Wardhana menurunkan Risma dengan hak angketnya. Alasannya karena adanya Peraturan Walikota Surabaya (Perwali) Nomor 56 tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai sewa reklame dan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 57 tentang perhitungan nilai sewa reklame terbatas di kawasan khusus kota Surabaya, yang menaikkan pajak reklame menjadi 25%.
Risma dianggap telah melanggar undang-undang, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 16/2006 tentang prosedur penyusunan hukum daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Sebab Walikota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), terkait dalam membahas maupun menyusun Perwali.
Keputusan ini didukung oleh 6 dari 7 fraksi politik yang ada di dewan, termasuk PDI-P yang mengusungnya yang waktu itu diketuai oleh Wisnu Sakti Buana. Wisnu Sakti Buana adalah pelopor pemakzulan ini, karena konflik kepentingan. Dalam hal ini, hanya fraksi PKS yang menolak, dengan alasan tindakan pemberhentian dirasa "terlalu jauh", belum cukup bukti dan data.
Tentang Perwali nomor 57 yang diterbitkannya itu, Risma beralasan, pajak di kawasan khusus perlu dinaikkan agar pengusaha tidak seenaknya memasang iklan di jalan umum, dan agar kota tak menjadi belantara iklan. Dengan pajak yang tinggi itu, pemerintah berharap, pengusaha iklan beralih memasang iklan di media massa, ketimbang memasang baliho di jalan-jalan kota.
Akhirnya, Mendagri Gamawan Fauzi angkat bicara akan hal ini, dan menegaskan bahwa Risma tetap menjabat sebagai Walikota Surabaya. Alasan pemakzulan Risma dinilai hal yang mengada-ngada.
Belakangan kemudian beredar kabar, bahwa hal ini disebabkan banyaknya kalangan DPRD Kotamadya Surabaya yang 'tidak senang' dengan sepak terjang Risma, yang terkenal tidak 'kompromi' dan terus maju berjuang membangun Kota Surabaya, termasuk menolak keras pembangunan tol tengah Kota Surabaya, yang dinilai tidak akan bermanfaat untuk mengurai kemacetan, dan lebih memilih meneruskan proyek frontage road dan MERR-IIC (Middle East Ring Road, yang menghubungkan area industri Rungkut hingga ke Jembatan Suramadu via area timur Surabaya, yang juga akan bermanfaat untuk pemerataan pembangunan kota).
Pada sisi inilah, kita melihat sosok Tri Rismaharini dinilai bukan kader politis PDIP. Buktinya, Risma sukar untuk dikendalikan oleh partai, dan kerap berada di luar jalur kepartaian. Apalagi Risma sendiri sampai hari ini tidak memiliki kartu anggota PDIP. Itu membuktikan bahwa Risma bukan bagian penting dari partai, kecuali hanya ‘dicomot’ oleh partai untuk pelabelan. Di sini partai kembali membuktikan kegagalannya sebagai tempat perekrutan dan penggodogan pemimpin-pemimpin masyarakat.
Risma sendiri berlatar belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengutamakan profesionalitas. Risma sebagai seorang birokrat, ingin bekerja secara profesional. Dia tidak ingin ada yang mengintervensi dalam menjalankan tugasnya sebagai walikota. Karenanya tak pelak jika ada kelompok yang menekan Risma, maka kelompok itu akan berhadapan dengan publik. Surabaya saat ini, mau tak mau, sudah menjadi panggung politik Risma. Isu mundurnya Risma, menguntungkan dirinya secara politik. Pasalnya, ada kesan di masyarakat, bahwa yang menekan Risma saat ini adalah PDIP (entah itu DPC Surabaya, DPD Jawa Timur, atau DPP PDIP). Hal itu tak lepas dari upaya pemakzulan wali kota yang dilakukan Wisnu Sakti Buana akhir 2010 lalu.
Intervensi Politik Gerilya. Gagal memakzulkan Risma, maka dipilihnya Wisnu Sakti Buana sebagai Wakil Walikota Surabaya. Melihat mekanismenya, ditengarai hal itu sebagai gerilya politik, baik itu dari aktor-aktor politik DPRD, atau pun bahkan PDIP itu sendiri. Sekali pun untuk tudingan itu, semua membantahnya. Para elite PDIP seperti biasanya, menjawab mlungker-mlungker, tidak menunjukkan sama sekali omongan Megawati (yakni mengijinkan Risma tak mengurusi politik dan hanya ‘ngurusi’ rakyat saja). Semuanya seperti pepesan kosong. Nyatanya, PDIP justeru sama sekali terlihat tidak membentengi Risma. Risma dibiarkan kelimpungan sendirian.
Sementara kita tahu, dua hal yang mengemuka dari pemilihan wawalkot Wisnu Sakti Buana, adalah proses pemilihan dan politik uang di dalamnya. Itulah yang membuat Risma dikabarkan tak cocok dengan pengganti BH ini.
Ketua Panitia Pemilihan (Panlih) Wakil Walikota Surabaya, Eddie Budi Prabowo, mengatakan, proses penetapan Wisnu Sakti Buana tidak sesuai prosedur, dan diwarnai manipulasi. Penyimpangan tersebut disampaikan kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, di Gedung Parlemen Senayan (21/2/2014).
Pada 30 Oktober 2013, tim Panlih dipaksa untuk menggelar rapat klarifikasi dan verifikasi penetapan Wakil Walikota Surabaya. Tanpa persiapan yang cukup, tim Panlih dipaksa untuk segera melaporkan hasil rapat tersebut pada Badan Musyawarah DPRD Kota Surabaya. "Dan kami melaporkan, bahwa kami siap menggelar pemilihan pada 15 November 2013," kata Eddie. Namun, tanpa alasan yang ia ketahui, pada hari yang sama, Bamus langsung membuat keputusan agar waktu pemilihan digelar pada 6 Oktober 2013.
Perubahan waktu pemilihan tersebut dilakukan secara sepihak. Tanpa melibatkan dan mempertimbangkan argumentasi tim Panlih, yang memilih waktu pemilihan pada 15 November 2013, karena tak ingin terganggu dengan waktu pengesahan APBD Kota Surabaya pada 6 November 2013.
Selanjutnya, pada 4 November 2013, semua anggota Panlih menerima undangan untuk hadir, dalam rapat paripurna pemilihan Wakil Walikota Surabaya pada 6 November 2013. Dari tujuh tim Panlih, hanya tiga anggota hadir. Empat anggota lainnya tak hadir dengan alasan undangan yang diterima ditujukan untuk anggota DPRD, bukan tim Panlih.
Waktu pemilihan kemudian sempat ditunda selama dua hari, lantaran peserta rapat paripurna tak memenuhi kuorum. Rencana awal pemilihan pada 6 November 2013, mundur menjadi 8 November 2013, setelah Gubernur Jawa Timur Soekarwo memutuskan agar paripurna tetap digelar menggunakan mekanisme kuorum terendah, yaitu 50 persen 1.
Namun pada saat pemilihan, Panlih hanya membacakan tatib (tata tertib) pemilihan, bukan memimpin rapat. Yang mimpin rapat salah satu calon (Wisnu Sakti Buana). Pada saat rapat berjalan, sempat ada sejumlah interupsi pada pimpinan rapat. Seorang peserta rapat meminta posisi Wakil Walikota Surabaya langsung diaklamasikan kepada Wisnu. Interupsi itu akhirnya disetujui dalam rapat paripurna tersebut.
Proses pemilihan yang tak prosedural ini, telah disampaikan tim Panlih pada Kementerian Dalam Negeri. Tetapi respons dari kementerian tak pernah tiba, sampai akhirnya pada 17 Januari 2014, tim Panlih menerima surat keputusan bahwa pelantikan Wisnu yang semula dijadwalkan dilakukan pada 21 Januari 2014, ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.
Pelantikan tanggal 21 (Januari 2014) ditunda, dan baru tanggal 24 (Januari 2014) dilakukan pelantikan. Baru setelah pelantikan dilakukan, tim Panlih mendapat respons dari Kemendagri. Pada 7 Februari 2014, seluruh tim Panlih diminta hadir ke Jakarta untuk memberikan klarifikasinya kepada Kemendagri. Saat bertemu pihak Kemendagri, tim Panlih juga menyampaikan adanya manipulasi data dalam proses penetapan Wakil Walikota Surabaya. Manipulasi data itu terjadi dalam berkas persyaratan administrasi.
Awalnya, hanya ada dua anggota Panlih yang menandatangani berkas. Namun, berkas yang sampai ke Gubernur Jawa Timur itu ditandatangani oleh empat anggota Panlih. Padahal, berkas itu adalah syarat keluarnya SK (surat keputusan) bahwa syarat masing-masing calon telah terpenuhi.
Seperti diketahui, keabsahan penetapan Wisnu sebagai Wakil Walikota Surabaya juga dipermasalahkan oleh Walikota Surabaya. Risma sebelumnya telah mengadukan masalah tersebut kepada pimpinan DPR. Ia berharap dapat menyampaikan hal sama kepada Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri
Sementara itu Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, secara peraturan dan perundang-undangan, seharusnya Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang mengusulkan nama calon wakilnya kepada DPRD, pada saat proses pemilihan Wakil Walikota. Tidak mungkin dibahas di DPRD jika tidak ada usulan dari Walikota.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 35 Ayat 2 mengatur, penggantian wakil kepala daerah dilakukan melalui mekanisme pemilihan di DPRD berdasarkan usulan partai politik yang mengusung. Regulasi itu menetapkan, pemilihan dilakukan atas dua nama yang diusulkan oleh kepala daerah yang bersangkutan. Mekanismenya, walikota mengusulkan dua nama ke DPRD, kemudian dari DPRD ke Gubernur, lalu ke Mendagri.
Konflik dan Intrik Politik. Ketua Komisi D DPRD Surabaya, dari PDI-P, Baktiono mengatakan, pemilihan wakil wali kota sudah prosedural. Ia justru menduga ada kepentingan politik untuk menggagalkan pengangkatan Wisnu. “PDIP memiliki hak untuk mengusulkan calon, sementara secara struktural Wisnu sebagai Ketua DPC PDI-P Surabaya sangat layak diusulkan,” ujarnya.
Persoalannya, kenapa Risma tidak disertakan dalam pencalonan ini? Tanpa diatur undang-undang pun, hal itu melawan logika, mengangkat wakil tanpa pengetahuan yang sedang menjabat. Disini ketemu apa yang dimaksudkan Risma tentang menang-menangan dan sikut-sikutan itu.
Ketua DPP PDI-P Maruarar Sirait, mengatakan PDIP melihat Risma sebagai kader dan aset potensial, yang memberikan kontribusi penting bagi partai. Kontribusi Risma bagi PDI-P, tampak nyata saat ia menunjukkan integritas dan kualitasnya sebagai pejabat publik, yang melayani dan berorientasi kepada masyarakat.
Sementara itu, kita bagaimana partai politik pengusung Risma, PDIP makin kelimpungan. Apa yang dikatakan Budiman Sudjatmiko, menunjukkan hal itu. Budiman menyesalkan Risma tidak berkoordinasi partai pengusungnya. “Seharusnya Bu Risma melapor ke partai. Kita tak mau menyalahkan, tapi kenapa tidak lapor ke partai dulu,” kata Budiman yang agaknya menyesalkan kenapa Risma langsung pada ketua DPR Priyo Budi Santosa, yang notabene dari Golkar. Arief Wibowo kemudian menuding Priyo Budi mengobok-obok partainya, meski sebelumnya Tjajo Kumolo mengatakan tidak masalah, toh Risma ke kelembagaan DPR, dan Priyo adalah Ketua DPR. Terlihat bagaimana orang partai saling tuding, atau lempar batu sembunyi tangan. Sama sekali tak kita dengar inisiatif untuk segera mempertemukan Risma dengan jajaran partai PDIP, jika mereka bertanggungjawab.
PDI-P memang membantah tekanan itu berasal dari internal partainya. Namun ketidaktegasan dalam menyikapi masalah ini, menunjukkan PDIP mempunyai agenda tersendiri. Atau bisa jadi PDIP berada dalam situasi kebingungan, karena tabrakan kepentingan.
Sebelum ke DPR, Risma sesungguhnya berharap bisa menyampaikan persoalan tersebut pada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Namun Risma sendiri tampak kebingungan. “Ya ‘kan ndak semudah itu (ketemu Megawati). Ndak berani lah aku. Ya, aku ke Presiden saja juga ndak berani. Ditelepon, kok (sama presiden). Lah, mana berani aku,” ujarnya ketika ditanya pers waktu itu. Meskipun sangat ingin bertemu dengan Megawati, Risma mengaku sebagai orang yang tahu diri. Dengan kata lain Risma sangat mengharapkan dipanggil Ketua Umum PDIP itu untuk keperlian tersebut. Tapi turunnya Gamawan Fauzie, Presiden SBY, dan Priyo Budi Santosa, tak bisa dinafikan PDIP begitu saja. Di sini rakyat mendapat kesan, Megawati lamban untuk bertindak.
Sampai sekarang, Ketua Umum PDIP Megawati belum terdengar akan memanggil Risma untuk didengar persoalannya secara langsung. Demikian juga kita juga tak mendengar pemanggilan terhadap Wisnu Sakti Buana, dan segenap pengurus DPC PDIP Surabaya.
Sementara kedatangan Risma ke DPR, bertemu Priyo Budi Santoso saja, berdasarkan undangan dari Priyo. Demikian juga ketika sempat menyampaikan permasalahannya itu kepada Presiden SBY, SBY-lah yang memanggilnya untuk menanyakan persoalan tersebut. Menurut Risma, SBY mengatakan kepadanya supaya jangan mundur, karena SBY ingin melihat kota Surabaya menjadi kota yang semakin bagus.
Jadi, ada apa dengan Megawati, sampai hari ini?
Kepemimpinan yang Lamban. Entah mengapa sampai sekarang belum ada inisiatif Megawati memanggil Risma, untuk membicarakan sekaligus memecahkan permasalahan Walikota Surabaya itu dengan Wisnu Sakti Buana dan PDIP Surabaya. Atau jika tidak, sesuai pesannya untuk Risma agar hanya mengurus rakyatnya saja (sementara politik biar diurus oleh PDIP), semestinya Megawati memberikan perlindungan dan pembentengan, sebagaimana ketika 2010 Risma menghadapi gerakan para cross-boys politikus Surabaya itu.
Apa yang ditunggu Megawati? Ataukah DPP PDIP kali ini mau berpihak kepada Wisnu, mengingat Risma pernah menolak titipan nama-nama camat dan lurah yang dikehendaki PDIP, untuk dipromosikan di jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya? Atau, karena Risma selama ini menolak arahan PDIP dalam mengurus kota Surabaya?
Tekanan dan intrik politik yang kian hebat yang melanda Walikota Surabaya, sampai-sampai membuatnya nyaris tak tahan dan ingin mundur itu sebenarnya merupakan masalah lokal kota Surabaya. Lebih khusus lagi sebenarnya, merupakan masalah politik bercampur urusan proyek dan bisnis antara – ironisnya – PDIP Surabaya sendiri plus “rekan-rekan” mereka berhadapan dengan Risma.
Tetapi, karena tak kunjung diselesaikan oleh DPP PDIP, akhirnya melebar dan membesar, dan kini menjadi perhatian nasional. Tingkat kontaminasi pun meningkat menjadi konsumsi politik nasional. Apalagi Pemilu Legislatif hanya tinggal satu setengah bulan lagi.
Mulai dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Presiden SBY, sampai DPR pun ikut melibatkan diri dengan alasan untuk membantu menyelesaikan kasus ini. Sementara itu justru DPP PDIP masih berdiam diri hingga kini. Dalam keingintahuan politik masyarakat sekarang ini, tindakan Megawati adalah bodoh.
Sudah menjadi rahasia umum, para bajingan politik yang berada di lingkar kekuasan, akan memakai pembangunan sebagai proyek ekonomi. Tetapi seorang pemimpin tentu berbeda. Dan perbedaan itulah yang menjadikan benturan kepentingan.
Perbedaan Risma dan Musuh-musuhnya. Gejolak persoalan Risma, sebenarnya ada di sini. Dalam pengambilan kebijakan pembangunan misalnya, gaya kepemimpinan Risma dianggap tidak ramah lingkungan. Sudut pandangnya jelas.
Dalam pembangunan infrastruktur misalnya. Menurut Risma, jalan seharusnya dapat diakses publik secara gratis. Berbeda dengan jalan tol yang bisa dilalui publik dengan mengeluarkan sejumlah uang. “Prinsipnya, kalau masyarakat bisa memanfaatkan jalan secara gratis, kenapa harus bayar? Sedangkan jalan tol kan hanya dilalui orang-orang tertentu,” begitu keyakinan Risma.
Dalam teori kota, kata master Manajemen Pembangunan Kota ini, cara menambah panjang jalan di dalam kota adalah keliru. Karena mestinya membuat sistem transportasi massal yang bagus. Risma berpendapat jalan tol di dalam kota hanya akan mematikan bisnis di sekitarnya. Dampak lainnya, kaki-kaki jalan tol akan menyebabkan banjir di daerah sekitar. Karena berbagai alasan tersebut, Risma memutuskan untuk menolak pembangunan jalan tol Surabaya.
“Saya hanya tak mau suatu saat orang Surabaya mencaci-maki saya karena salah, meskipun saya sudah mati. Iki tak gowo sak turunanku (Ini saya bertanggung-jawab kepada keturunan saya),” kata Risma.
Sementara, berbeda dengan pandangan mereka yang memakai politik untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok kepentingannya. Tak ada hubungannya antara berbagai akibat pembangunan itu, karena yang terpenting adalah bisa ikut bermain dalam anggaran-anggaran pembangunan itu.
Ketidakharmonisan komunikasi antara Risma dan Wisnu, ini bukan sekedar soal orientasi kepentingan, tetapi mestinya PDIP sebagai partai pengusung berfikir jernih sejak awal, bukan hanya sekedar soal like and dislike. Rumor mengenai retaknya komunikasi dua pejabat daerah itu, sudah menjadi rahasia umum. Sementara berdasarkan berbagai informasi, keretakan hubungan yang baru itu, terjadi karena perbedaan pendekatan Risma ke masyarakat.
Risma yang mengusung konsep kerja citizen centred service, lebih mengedepankan pelayanan publik. Dirinya bahkan tak segan terjun langsung untuk melihat permasalahan lapangan yang sebenarnya terjadi.
Model pelayanan berbasis outside yang diambil Risma ini, dirasa tak sejalan dengan wakilnya, sehingga Risma sebagai manusia biasa pun merasa tertekan. Padahal, pola kerja Risma merupakan gambaran pemimpin yang didambakan rakyat saat ini. Risma dianggap sebagai penyegaran di tengah krisisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Selama ini banyak stakeholder menganggap Risma sebagai unsur partai belaka. Namun apa yang dilakukan Risma membuktikan, bahwa dia adalah pelaku reformasi pelayanan publik. PDIP yang mengusung Risma, bahkan sama sekali tidak mengetahui hal itu.
Persoalannya, apakah PDIP akan mempertahankan Risma, atau akan membawa Wisnu Sakti Buana, yang dianggap “lebih”berjasa pada partai. Sesungguhnya, jika Risma tetap bertahan, maka rakyat yang berterima kasih, dan nantinya justru akan memperkuat PDIP.
Pernyataan terakhir Tjahjo Kumolo (212) agak membingungkan. Karena pada satu sisi ia mengingatkan bahwa Risma merupakan walikota yang diusung partai pimpinan Megawati Soekarnoputri, tetapi bersamaan dengan itu ia menyatakan dirinya tidak ada niatan untuk menjatuhkan Wisnu sebagai wakil walikota. Padahal kita tahu, sumber masalahnya ada di situ.
“Risma direkomendasikan DPP dan menang. Pak Wisnu sebagai Ketua DPC Surabaya yang mengusulkan ke DPP. Selain Ketua DPC, dia Wakil Ketua DPRD. Setelah Wakil Pak Bambang DH mundur, akhirnya diusulkan oleh partai untuk mengisi jabatan lowong,” kata Tjahjo Kumolo. Ia, dan kebanyakan orang PDIP sama sekali tak pernah menyinggung, bagaimana dengan Wisnu Sakti Buana yang 2010 menjadi pelopor pemakzulan Risma, justeru ketika ia katanya adalah tim sukses Risma waktu itu? Politik adalah sesuatu yang un-linier, dan Wisnu akan menjadi persoalan serius bagi kepentingan pembangunan Surabaya.
Titik pangkal permasalahan ini sebenarnya terletak pada Wisnu Sakti Buana dan PDIP Surabaya, bukan pada Risma. Bukankah permasalahan ini mulai terpicu begitu secara kontroversial Wisnu Sakti Buana terpilih dan dilantik sebagai Wakil Walikota Surabaya mendampingi Risma? Padahal jelas, terang-benderang sejak lama boleh dikatakan Risma adalah “musuh politik” paling utama dari Wisnu.
Selain itu visi dan misi Risma dengan Wisnu dalam mengurus dan membangun kota Surabaya sangat saling bertolak belakang. Risma sangat tidak setuju pembangunan jalan tol tengah kota, sebaliknya, Wisnu sangat setuju, -- bahkan diduga karena faktor proyek inilah yang membuat Wisnu dan kawan-kawannya ingin memakzulkan Risma.
Ketika sudah menjabat sebagai Wakil Walikota pun Wisnu masih melontar pernyataan yang bertolak belakang dengan kebijakan Risma, dengan kata-kata sindiran yang cukup pedas. Kata dia, “Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada,” katanya. “Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja.” (Majalah Tempo, 17/02/2014).
Karakter Wisnu yang sangat tidak disukai Risma juga diperlihatkan Wisnu setelah dilantik sebagai Wakil Walikota. Sejak dilantik pada 24 Januari 2014, Wisnu tidak pernah bertemu dengan Risma sampai tanggal 5 Februari 2014. Mereka akhirnya bertemu di dalam sebuah acara jamuan makan siang di Balai Kota. Begitu bertemu dengan Risma, Wisnu malah langsung bicara tentang proyek. Yakni, mengenai tanah di Jalan Bogowonto, milik TNI Angkatan Laut, yang mau ditukarguling dengan pihak swasta. Pihak swasta hendak membangun hotel di tanah itu, sedangkan tanah itu termasuk jalur hijau kota Surabaya, tidak boleh ada bangunan di sana. Wisnu mau berunding dengan Risma, agar Risma mau mengubah peruntukan tanah itu, sehingga tanah itu boleh dibangun bangunan di atasnya. Dengan tegas Risma menolaknya.
Jelas sekali karakter Risma dengan Wisnu saling tidak cocok. Sangat janggal malah PDIP Surabaya memilih Wisnu sebagai pendamping Risma. Kejanggalan itu kian kentara, ketika dalam pemilihan Wisnu itu, Risma sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, di dalam PP Nomor 49 tahun 2008 disebutkan untuk mengganti wakil kepala daerah yang lama, kepala daerah mengajukan dua calon wakil wali kota berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah.
Dari mulai menjabat sebagai Walikota Surabaya, Risma sudah dijadikan lawan utama Wisnu dan kawan-kawannya di PDIP Surabaya. Baru sekitar empat bulan Risma dilantik sebagai Walikota Surabaya, atau pada Januari 2011, Wisnu adalah pelopor utama di DPRD Surabaya untuk memakzulkan Risma dengan alasan Risma telah melanggar hukum dengan menerbitkan Perda yang menaikkan pajak reklame secara drastis. Jika tidak dihentikan PDIP Pusat, Wisnu belum menyerah untuk terus melengserkan Risma.
Padahal diduga kuat alasan Perda Pajak Reklame itu untuk melengserkan Risma itu hanyalah kamuflase. Alasan sebenarnya adalah gaya kepimpinan Risma yang mulai kelihatan lurus, tegas. Menolak untuk dikendalikan, dan tanpa kompromi terhadap semua pihak pelanggar hukum, termasuk para pejabat dan politisinya, dinilai menjadi ancaman bagi mereka yang selama ini menikmati jabatannya itu untuk kepentingan politik dan bisnisnya. Proyek tol tengah kota, salah satu di dalamnya.
Karena ketegasan Risma, yang tanpa kompromi tidak setuju dengan proyek ini, telah menghilangkan impian keuntungan besar yang sudah di depan mata banyak pejabat dan investor/pengusaha.
Upaya pemakzulan yang dulu gagal, agaknya hendak dicoba dengan memasukkan musuh dalam selimut. Dan Wisnu pun menjadi wakil walikota Surabaya, mendampingi “musuh”-nya.
Disitulah pangkal soalnya.
Seandainya saja sekarang Wisnu cukup punya jiwa besar, menyatakan mundur sebagai wakil wali kota, agar DPRD Surabaya dapat memilih wakil walikota Surabaya baru dengan cara-cara yang prosedural, dan yang cocok dengan Risma, maka persoalan ini selesailah.
DPP PDIP juga punya adil dalam sengkarut masalah ini. Seandainya mereka mengulangi sikap tegas mereka, seperti pada kejadian tiga tahun yang lalu, kasus ini juga tak bakal membesar seperti sekarang. Sementara itu mereka bisa berbangga diri punya kader seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang diakui sebagai salah satu wali kota terbaik di dunia dan telah menerima berbagai penghargaan nasional, maupun dunia.
Politik Sebagai Penegakan Moralitas. Apa yang ditunggu Megawati? Ataukah DPP PDIP kali ini mau berpihak kepada Wisnu, mengingat Risma pernah menolak titipan nama-nama camat dan lurah yang dikehendaki PDIP untuk dipromosikan di jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya? Atau, karena Risma selama ini menolak arahan PDIP dalam mengurus kota Surabaya?
Kalau sampai DPP PDIP berpihak kepada Wisnu dan PDIP Surabaya,dan akhirnya berhasil membuat Risma mundur dari jabatannya, maka ini suatu blunder politik paling konyol bagi PDIP menjelang Pemilu Legislatif 2014 ini. Masyarakat Surabaya secara mayoritas lebih mendukung Risma. Menjadikan Risma sebagai “lawan” dan mendepaknya, akan berdampak buruk pada perolehan suara PDIP di Surabaya, dan bukan tak mungkin secara nasional pula.
Beranikah Megawati menjinakkan para crossboyz Surabaya? Kita lihat, apa kepentingan Megawati. Berpihak pada rakyat atau Wisnu Sakti Buana.
Dengan realitas politik semacam itu, membincang etika dalam konteks politik menjadi sangat relevan. Etika dan politik tidak mungkin dipertentangkan satu sama lain. Keduanya menjadi penentu kebahagiaan umat manusia. Politik, salah satunya berfungsi memelihara spiritualitas masyarakat. Mendorong kepekaan sosial, serta mendidik individu mencintai dan memperhatikan hak orang lain.
Oleh karena itu, tidak ada pemerintah yang boleh melakukan tindakan imoral dan mengklaim tindakan tersebut sebagai kebutuhan politik, serta merupakan bagian dari langkah-langkah politik. Dari perspektif ini, etika dapat dianggap sebagai dasar dan pintu gerbang politik. Sebaliknya, politik dapat menjadi alat untuk merealisasikan dan melembagakan nilai-nilai moral. Seperti itu pula pandangan Plato dan Aristoteles, bahwa tidak ada perbedaan antara etika dan politik.
Karenanya politik tanpa ketulusan, dan segala bentuk irasionalitas politik lainnya, jelas merupakan wujud penegasian etika. Politik tidak semestinya disamakan dengan kepentingan kelompok tertentu, dan ruang publik pun tidak semestinya direduksi menjadi pasar. Politik semacam ini hanya akan melahirkan pemerintahan yang pincang, karena orientasinya hanya kepada kelompok dan mengabaikan kompetensi, yang bisa berdampak menjerumuskan bangsa dalam krisis multidimensi.
Immanuel Kant berharap bahwa para elit politik dan pejabat, hendaknya bersikap sebagai politikus moralis, bukan moralis politis. Politikus moralis adalah politikus yang setiap sepak terjang politiknya berada dalam bingkai moral. Sedangkan, moralis politis adalah politikus yang selalu mencari-cari pembenaran moral, untuk disesuaikan dengan kepentingan politiknya.
Birokrasi yang semestinya profesional dan akuntabel telah dirusak oleh infiltrasi tangan-tangan politisi. Ini menjadikan praktik korupsi semakin marak, dari pusat sampai daerah. Birokrasi diperlakukan para politisi dan parpol tak ubahnya mesin ATM yang siap menggelontorkan uang sewaktu-waktu. Parpol pun telah menjelma menjadi kartel politik. Dan kita akan lihat, Risma versus Megawati ini akan memposisikan kemenangan PDIP sebagai realita atau utopia.