Judul tulisan ini, oleh para seniman perupa,
biasanya langsung disambar dengan jawaban macam-macam. Biasanya jawaban
penuh plesetan dan lucu-lucu. Dunia senirupa kita memang dunia yang
riang gembira, sebagaimana akun fesbuk dan twitter para perupa kita yang 'sela' dan 'lunyu'.
Tapi, ini tulisan bukan untuk para perupa, melainkan untuk rakyat
jelata semata, yang sudah lebih dari satu dekade ini seolah tak pernah
terlibat dengan dunia seni rupa itu. Kini jarang sekali ada
pameran-pameran seni rupa yang bertujuan untuk apresiasi masyarakat.
Pameran lukisan kini lebih sering hanya urusan artisnya, kurator,
pemilik gallery, dan "satu pihak lagi" yang sering di belakang layar
sebagai konseptor. Di media massa, juga tak ada lagi kritik apresiatif,
karena sudah berubah menjadi tulisan endoorsment kurator dalam katalog
yang mewah dan honor yang jauh lebih tinggi di banding nulis di koran.
Selebihnya, dalam setiap opening pameran, tentu adalah reriungan para
handai-taulan yang lagi pameran. Lumayan, ada makan-makan, minum-minum,
untuk perbaikan gizi.
Tapi, setelahnya, karya-karya mereka kemudian
lenyap. Masuk ke ruang-ruang pribadi, entah ke kolektor atau kolekdol.
Nah, celakanya, kolektor dan kolekdol ini juga tak sudi mengadakan
pameran koleksinya untuk umum (dan gratis. Coba saja di Museum OHD di
Magelang, untuk masuk harus bayar Rp 100.000, itu pun ternyata bercampur
lukisan palsu,...). Sampai-sampai, ada sebuah museum lukisan yang
isinya dirampok, bukan oleh pencuri, tapi oleh "pihak internal" karena
isyu ekonomi di baliknya.
Nama-nama perupa kita pun, kini tak banyak
dikenali secara umum (dan agaknya itu tak penting, karena "yang penting
duitnya lebih gede sekarang"). Tak sebagaimana dulu rakyat jelata kenal
Afandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Dullah, dan sebagainya itu ("buat
apa terkenal, kalau nyatanya kere?").
Kapan ada pameran besar (dan
lengkap dan komprehensif) 100 Tahun Seni Rupa Indonesia untuk masyarakat
umum, keliling Indonesia, misalnya? Agak tidak mudah menjawabnya.
Karena kesenian yang satu ini, lebih asyik-masuk dalam
komunikasi-komunikasi yang eksklusif sifatnya.
Sementara mural-mural
karya Samuel Endratma dan kawan-kawan di Yogya misalnya, kini terpaksa
bersaing dan tergusur oleh iklan sinyal kuat atau bisa ngomong sampe
ndoweeeerr!
Senirupa, agaknya hampir sama dengan kesenian klangenan lainnya, hanya menjadi urusan antara yang menjual dan membeli, dalam pengertian yang paling dasar.
Ah, saya jadi ingat seorang teman yang ingin pameran
lukisan di Papua, moga beliau masih semangat!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar