Di
Indonesia, yang disangkakan penjahat tiba-tiba bisa dibela seolah-olah
pahlawan. Dan media, sebagai pihak yang mengaku selalu netral, selalu
juga menampilkan bakat oportunistiknya, memanfaatkan situasi demi keuntungan kepentingan mereka sendiri.
Contoh paling mudah, setelah dijadikan
tersangka oleh KPK, Arnas Urbaningrum tiba-tiba dibela yang lainnya
seolah pahlawan pembela kebenaran. Dan media mau saja menjadi media gratisan, karena mendapat durian runtuh.
Setelah dicokok oleh BNN dan hendak direhabilitasi, Raffi Ahmad
tiba-tiba (setelah munculnya Hotma Sitompul), didukung puluhan
pemujanya, dan menuding BNN melakukan konspirasi (tapi apa mereka mengenai hal ini?). Mereka menuntut Raffy
Ahmad dibebaskan dari rehabilitasi. Hotma menyeret-nyeret Amy Qanita,
ibu Raffi memamerkan tangisnya di depan anggota DPR. Dan Hotma menuding
BNN tidak tahu hukum karena menolak menghadirkan Raffi dalam persidangan
praperadilan. Bahkan Luna Maya pun ikut berdemo membela Raffi Ahmad. Wah, sudah jadi pejuang pembela HAM nih!
Tiba-tiba, muncul salinan percakapan antara Yuni Shara dengan seorang
anggota BNN di Malang, soal rencana penggerebekan pesta narkoba di rumah
Raffi. Tapi, persis omongan Anas, semua hal itu khas masyarakat gossip,
tak ada referensi, tak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bagaimana Yuni Shara bisa terseret dalam kasus ini? Selalu ada kambing
hitam untuk blufing dan teater hukum bagi mereka yang punya dan
menghamba pada duit. Masyarakat percaya teater informasi ini, tanpa harus bertanya, otentisitas rekaman percakapan itu dan apa bukti yang valid dipertanggungajawabkan? Hotma dengan pinter langsung memuter taktik, "Saya tidak tertarik menanggapi gossip itu,..." Lempar batu sembunyi tangan. Bangun opini dan kemudian tusuk dari depan.
Di kalangan artis, semua orang sudah tahu siapa
Raffi Ahmad. Tapi di depan media, semua mereka ngomong tak tahu-menahu
dan membela-bela Raffi sebagai anak baik. BNN sendiri, menurut laporan masyarakat, sudah memburu Raffi Ahmad dalam waktu yang cukup lama.
Raffi Ahmad dan narkoba,
adalah satu kesatuan yang sederhana saja. Logis. Pembelaan dan
pembebasan pada Raffi, bahwa ia tidak terkena dan tidak pesta narkoba,
dengan segala upaya hukum dan paranormal, lebih karena melihat Raffi
sebagai mesin uang bagi mereka yang berkepentingan. Siapa yang berkepentingan? Tentu saja yang diuntungkan.
Sebelum dicokok
BNN, setiap hari syuting program televisi, Raffi bisa menghasilkan uang
ratusan juta rupiah. Sebuah program acara daily, Raffi bisa mendapat
honor antara Rp 20 juta hingga Rp 50 juta. Belum jika ada acara off-air
di luar televisi. Raffi adalah mesin uang yang tiap hari bekerja mungkin
lebih dari 24 jam. Tidak lebih mulia dari buruh yang bekerja maksimal
dalam sehari tak lebih dari delapan jam.
Ibu Raffi, Amy Qanita
selalu mengatakan, ia mengontrol terus Raffi tiap jam. Sementara 24 jam Raffi bekerja penuh dan berada di lapangan. Dan ibunya, lebih sering
berada di tempat lain, terlihat muda, cantik, dengan pakaian yang menunjukkan kelas sosialita sebagai ibu-ibu dari para selebritas remaja. Bagaimana bisa mengontrol Raffi tiap saat? Nonsens banget. Raffi di sana, ibunya di sono.
Pola kerja Raffi
dan juga para artis populer dalam industri hiburan kita, sangat tidak
manusiawi. Hukum eksploitasi, membuat artis terkondisikan begitu rupa.
Kedekatan Raffi dengan narkoba, adalah kausalitas wajar. Bekerja tak
kenal jadwal, honor gede, dan lingkaran hedonistik yang melingkunginya
dengan berbagai previlege. Karena ia harus kerja keras tak kenal waktu,
maka dia harus dikondisikan bugar terus. Tubuh adalah mesin, karena itu
sebagai mesin butuh bensin, olie dan tetek-mbengek asupan lainnya. Untuk
apa? Untuk perputaran duit itu sendiri. Penikmatnya, dalam hal ini,
sering bukan artis pelaku, tetapi orang di sekitar yang mengeksploitasi
atau memanfaatkannya. Sementara, sang artis bisa menjadi boneka atau mesin uang yang diletakkan dalam kehidupan yang semu, dunia bawah tanah dan penuh halusinasi. Sampai di sini, mereka pahlawan atau sapi perah?
Tergantung cara kita memandang.
Raffi direhabilitasi, atau
dikarantina, artinya hilang waktunya untuk syuting atau bekerja. Artinya
apa? Seperti pabrik libur produksi, maka pasti akan mengalami kerugian. Siapa yang dirugikan? Mereka yang berteriak paling
keras, mesti didengar cermat, apa alasan sesungguhnya. Kenapa Raffi harus segera syuting dan bekerja lagi? Pentingkah syuting Raffi? Begitu mendesakkah, atau apakah remaja Indonesia akan menjadi tidak produktif kalau Raffi tidak syuting?
Dunia bintang adalah dunia yang datang dan pergi. Semua orang akan dieksploitasi. Raffi juga akan disingkirkan begitu masyarakat telah mencapnya jelek. Itu sebabnya, para yang berkepentingan atas rapi membangun opini, bahwa Raffi korban konspirasi BNN. Soal dia menggunakan narkoba? Itu fitnah katanya.
Di Indonesia,
sebagai penganut filsafat pragmatisme yang paling akut, kepentingan
adalah tema utamanya. Mau pahlawan atau sapi perah, itu sudut pandang
yang akan menentukan. Dan sudut pandang, selalu karena kepentingan.
Sebagaimana pepatah sesama muslim bersaudara, maka ada juga istilah
sesama Batak pun bersaudara, kecuali klien-nya berbeda.
Selamat pagi dan malam selalu, Indonesia Raya!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar