Ketika jalan masih bebatuan dan belum
mulus, kita menginginkan jalan mulus dan beraspal. Ketika jalan mulus dan
beraspal, muncul barisan polisi tidur, berderet amat banyaknya di sepanjang
jalan. Apa maunya kita ini sesungguhnya?
Bagaimana sejarah polisi yang satu ini, dan apa
tujuannya? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga 2001),
polisi tidur adalah “bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang
untuk menghambat laju kendaraan”. Dalam
Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984) maknanya kurang lebih sama dengan yang ada
dalam KBBI. Dari sini bisa disimpulkan, istilah polisi tidur sudah ada sebelum
tahun 1984, meski ada juga kemungkinan istilah ini berasal dari bahasa Inggris
Britania: sleeping policeman.
Yang pasti, polisi tidur ini diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Th 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan; dengan sudut kemiringan 15%, dan tinggi maksimum tidak lebih dari 150mm. Jadi, jika kita menemukan polisi tidur yang tak sesuai aturan, bangunin dia (dengan cara dihancurkan) atau yang sedikit lebih sopan, laporkan polisi tidur itu ke kantor polisi (meski kita juga tahu jalan di depan kantor polisi juga sering dibangun polisi tidur oleh para polisi itu.
Tapi kenapa dengan polisi tidur? Polisi tidur adalah bukti paling nyata, betapa tidak operated (operasionalnya) norma-norma kemasyarakatan kita. Nilai-nilai moral macet, tak mampu dikomunikasikan, apalagi ditransformasikan.
Bayangkan, gara-gara 1-2 orang yang suka ngebut di jalan, puluhan dan ratusan pengguna jalan yang lainnya (yang mereka tidak ngebut), mendapatkan hukuman atas adanya polisi tidur itu. Kenapa tidak ditegur saja 1-2 orang, yang dianggap salah dan meresahkan itu, dan diberitahu bagaimana berkendaraan yang baik dan benar sesuai kaidah?
Membangun polisi tidur, adalah jalan paling praktis. Tapi akibatnya? Lebih banyak orang terhukum padahal mereka tidak melakukan pelanggaran. Maka, kalau mereka (para pembangun polisi tidur itu) tak peduli akibatnya, itulah ciri khas komunikasi Orde "Soeharto" Baru. Tak mampu dan tak berani (bukan hanya tak bisa) berkomunikasi, apalagi berdiskusi, dan bernegosiasi. Soeharto telah mendidik bangsa ini dengan kebenaran mutlak, kekuasaan mutlak, nilai mutlak, dan lahirlah kemudian generasi mutlak-mutlakan tanpa kompromi.
Yang pasti, polisi tidur ini diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Th 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan; dengan sudut kemiringan 15%, dan tinggi maksimum tidak lebih dari 150mm. Jadi, jika kita menemukan polisi tidur yang tak sesuai aturan, bangunin dia (dengan cara dihancurkan) atau yang sedikit lebih sopan, laporkan polisi tidur itu ke kantor polisi (meski kita juga tahu jalan di depan kantor polisi juga sering dibangun polisi tidur oleh para polisi itu.
Tapi kenapa dengan polisi tidur? Polisi tidur adalah bukti paling nyata, betapa tidak operated (operasionalnya) norma-norma kemasyarakatan kita. Nilai-nilai moral macet, tak mampu dikomunikasikan, apalagi ditransformasikan.
Bayangkan, gara-gara 1-2 orang yang suka ngebut di jalan, puluhan dan ratusan pengguna jalan yang lainnya (yang mereka tidak ngebut), mendapatkan hukuman atas adanya polisi tidur itu. Kenapa tidak ditegur saja 1-2 orang, yang dianggap salah dan meresahkan itu, dan diberitahu bagaimana berkendaraan yang baik dan benar sesuai kaidah?
Membangun polisi tidur, adalah jalan paling praktis. Tapi akibatnya? Lebih banyak orang terhukum padahal mereka tidak melakukan pelanggaran. Maka, kalau mereka (para pembangun polisi tidur itu) tak peduli akibatnya, itulah ciri khas komunikasi Orde "Soeharto" Baru. Tak mampu dan tak berani (bukan hanya tak bisa) berkomunikasi, apalagi berdiskusi, dan bernegosiasi. Soeharto telah mendidik bangsa ini dengan kebenaran mutlak, kekuasaan mutlak, nilai mutlak, dan lahirlah kemudian generasi mutlak-mutlakan tanpa kompromi.
Bangsa ini, sejak Demokrasi
Terpimpin (1957, ketika Sukarno tak sabar dengan partai-partai politik) tidak
terdidik untuk berbeda pendapat. Dan sejak 1971, Soeharto makin menguatkannya
dalam praksis politik Orde Barunya yang otoritarian itu.
Para Pastor, Pidada, Ulama, Pendeta, Kyai, dan siapapun pemegang otoritas keagamaan dan pendidikan, akhirnya juga tidak memberi ruang alternatif yang operated. Mereka turut pula membangun polisi tidur di mana-mana. Kalau ada pendosa, langsung dimasukkan ke neraka. Bikin rambu-rambu yang tak boleh dilanggar. Tapi kalau ada pertarungan antarumat beragama, mereka kebingungan dan kelihatan tolol, kok bisa? Kalau ada Tentara dan Polisi tawuran, tempat suci dipakai untuk transaksi mesum, siswa-siswi SMA bikin video porno, semua kalang-kabut ngomong moral dan norma, kemudian bikin polisi tidur, dan kemudian ditinggal tidur.
Penjajahan Orde Baru selama 32 tahun, makin meneguhkan Indonesia sebagai bangsa yang inferior, sering menganggap bangsa luhur, tapi tak tahu yang mana yang luhur, dan tak mampu mendiskusikannya. Pokoknya luhur ya luhur. Bangsa pokoknya. Buktinya, begitu Soeharto longsor, reformasi tidak menghasilkan apa-apa, kecuali pergantian penguasa, dan selalu hasilnya lebih buruk.
Para Pastor, Pidada, Ulama, Pendeta, Kyai, dan siapapun pemegang otoritas keagamaan dan pendidikan, akhirnya juga tidak memberi ruang alternatif yang operated. Mereka turut pula membangun polisi tidur di mana-mana. Kalau ada pendosa, langsung dimasukkan ke neraka. Bikin rambu-rambu yang tak boleh dilanggar. Tapi kalau ada pertarungan antarumat beragama, mereka kebingungan dan kelihatan tolol, kok bisa? Kalau ada Tentara dan Polisi tawuran, tempat suci dipakai untuk transaksi mesum, siswa-siswi SMA bikin video porno, semua kalang-kabut ngomong moral dan norma, kemudian bikin polisi tidur, dan kemudian ditinggal tidur.
Penjajahan Orde Baru selama 32 tahun, makin meneguhkan Indonesia sebagai bangsa yang inferior, sering menganggap bangsa luhur, tapi tak tahu yang mana yang luhur, dan tak mampu mendiskusikannya. Pokoknya luhur ya luhur. Bangsa pokoknya. Buktinya, begitu Soeharto longsor, reformasi tidak menghasilkan apa-apa, kecuali pergantian penguasa, dan selalu hasilnya lebih buruk.
Jika ada yang mengatakan bahwa
jaman Soeharto lebih baik dari yang sekarang (dengan memajang poster wajah ‘the
smilling general’ itu, “Piye, luwih enak jamanku, to?”), ini pandangan
menyesatkan. Karena semua tatanan sudah dirusak olehnya, dan kini kita tinggal
mewarisi kerusakan-kerusakan di berbagai bidang yang butuh waktu lama untuk
memperbaikinya. Karena Soeharto pula, lahir generasi seperti SBY, yang kelihatan
pintar secara formal, namun tidak esensinya.
Orang disuruh menjadi baik,
tetapi bagaimana cara menjadi baik itu? Entah, tidak tahu, terserah saja, atau
harusnya kalian tiba-tiba menjadi baik begitu saja, tanpa ba-bi-bu. Hidup
seolah sulapan, seperti banyak terjadi di negeri ini. Hanya karena dia kaya,
cantik, tampan, beragama, tiba-tiba bisa menjadi caleg, bupati, gubernur,
presiden, dan tahu-tahu korupsi. Dan kita terkaget-kaget, tidak percaya, dan
balik mengatakan “itu fitnah”.
Tiap pagi ada acara agama di televisi,
tapi moral bangsa makin hancur, kenapa? Ya tentu saja, acara itu tiap pagi ada
karena menguntungkan secara bisnis program, yang pasang iklan bayar dengan
duit, dan para penceramahnya juga dapat honor duit. Tak ada urusan dengan sorga
neraka, tapi itu profesi, sama seperti profesi tukang becak, atau konsultan
bisnis. Tak ada pengisi program agama yang miskin, mereka kebanyakan kaya-raya
dan hidup bak selebritas juga.
Ada kementerian pendidikan
nasional dan ada kementerian agama, tapi apakah kita menjadi bangsa yang makin
terdidik dan beragama? Itu semua hanyalah bukti-bukti, bagaimana kita lebih
sibuk dengan pandangan normatif sebagai mantra. Bukan sebagai kata kerja yang
bisa dijabarkan, menjadi cara atau jalan menuju ke kebaikan dan kebenaran.
Dengan membangun polisi tidur, kita sudah merasa benar, karena orang yang
ngebut tidak akan ngebut. Lha, yang tidak ngebut?
Hancurkan polisi tidur itu, bangunkan kesadaran untuk berdialog, berdiskusi, bernegosiasi, berdebat, bahkan pada akhirnya menghargai perbedaan pendapat. Itu kalau kita ingin 10-20 tahun lagi kita bisa menghasilkan presiden yang jauh lebih baik, dari presiden yang sekarang, maupun para capres 2014!
Hancurkan polisi tidur itu, bangunkan kesadaran untuk berdialog, berdiskusi, bernegosiasi, berdebat, bahkan pada akhirnya menghargai perbedaan pendapat. Itu kalau kita ingin 10-20 tahun lagi kita bisa menghasilkan presiden yang jauh lebih baik, dari presiden yang sekarang, maupun para capres 2014!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar