Pagi-pagi,
sudah pecah keributan antara suami dan isteri. “Bagaimana aku tidak percaya,”
sang isteri berteriak-teriak histeris, “ini data intelijen, A-1, akurat, bukan
informasi sembarangan, dari lembaga yang terpecaya, mereka bersumpah pada
Tuhan, demi Allah!”
“Bagaimana
mungkin, dan apa hubungannya, Ma?” sang suami mencoba berkilah.
“Oke, jika
kau tidak percaya dengan data intelijen ini, maka kamu bisa digolongkan sebagai
orang yang menghina lembaga negara! Terserah, kamu tinggal pilih. Kita cerai,
atas nama perselingkuhan, atau karena tudingan menghina lembaga negara!”
“Oke,”
sang suami tak mampu menahan geram. “Kita cerai atas nama data intelijen itu!”
“Yang
mana, perselingkuhan atau menghina lembaga negara?”
“Menghina
lembaga negara!”
Dan, suami
isteri itu pun kemudian mengurus segala-sesuatunya, mengesahkan perceraian
mereka.
Sesampai
di Pengadilan Perceraian (dulu namanya Pengadilan Agama, tapi karena tidak
pernah mengadili agama, dan hanya ngurusi orang cerai, namanya kemudian diganti
seperti itu), pecah lagi perang mulut, ketika panitera pengadilan menanyai
maksud dan tujuan suami-isteri itu.
“Alasan
kami cerai, karena suami saya ini selingkuh!” sang isteri masih berapi-api.
“Lho,
gimana sih?’ sang suami menyela, “Tadi sudah kita sepakati, ini karena
penghinaan atas lembaga negara!”
“Penghinaan
lembaga negara? Apa-apaan ini?” sang panitera heran.
“Hah? Anda
juga tidak percaya pada lembaga intelijen negara? Anda bersekongkol dan menghina
lembaga negara,...!”
Belum usai
soal perceraian, panitera pengadilan agama diseret ke kepolisian, dengan
tudingan menghina lembaga negara yang terhormat.
“Bagaimana
mungkin, Pak,” kata Isteri pada Pak Polisi sambil menuding panitera pengadilan
agama, “orang ini, tidak mempercayai lembaga intelijen negara. Coba, cari pasal
berapa pelanggaran yang dia buat, Pak. Ini penghinaan negara, bukan?”
Sang
Polisi garuk-garuk kepala, soalnya kalau mau garuk-garuk dengkul takut dikira
tidak sopan.
“Bapak ini
mudeng enggak sih? Paham enggak sih,” giliran Suami tak sabar melihat reaksi
Polisi yang agak jadul. “Emangnya, bapak juga mau dikategorikan menghina
simbol-simbol kenegaraan?”
“Waduh,
ini pasalnya apa?” Pak Polisi terlongong-longong.
“Lho,
sampeyan sing polisi, sampeyan malah balik nanya!” Suami tambah marah.
“Sampeyan ini tidak loyal pada negara! Dari dulu polisi kok Cuma bisa nanya! Giliran diserbu tentara baru nyaho!”
Keributan
demi keributan, seolah beranak pinak. Semua karena data intelijen. Hingga
akhirnya, data intelijen ini, sampai juga ke telinga petinggi lembaga intelijen
negara.
“Lho,
apa-apaan ini? Kita tidak pernah memproduksi data itu!” kata sang pejabat
intelijen.
“Sampeyan
jangan kura-kura dalam perahu,” sang Isteri mulai kalap. “Presiden sendiri yang bilang. Mau diapakan negara ini, jika soal
perselingkuhan saja tidak bisa memecahkan akar persoalannya!”
“Ibu,
maaf,” pejabat intelijen menyela, “jangan bawa kura-kura, apalagi dengan
perahunya segala. Swear, kantor kecil sempit. Lagi pula, mengapa soal
perselingkuhan Ibu membawanya pada kami? Kami ini lembaga negara yang tidak
peduli orang mau kawin atau mau cerai, apalagi soal gossip selingkuh!”
“Alah,
jelas sudah,” kini Suami yang tak sabar. “sampeyan sudah berkhianat pada sumpah
setia jabatan. Ingat, dulu pakai angkat Quran apa Injil?”
“Oh, my
Godness! SARA tauk!” Pak Intelijen yang agak religius mulai pening. “Please,
jelaskan, ini perkara apa? Anda mungkin salah melapor,...”
“Melapor?
Melapor ke lembaga intelijen?” Isteri kini makin meradang. “Anda ini gila, dianggapnya
data intelijen mau dilaporkan? Ini negara gila!”
Persoalan
Suami dan Isteri, yang mau cerai itu, makin tak jelas. Mereka berdua kemudian
ke Komnas HAM, membawa spanduk ke mana-mana. Teriak-teriak. Beberapa orang yang
sedang demo, membelokkan arah dan mengikut di belakang dua orang yang mau bercerai
itu. Seorang menteri yang suka berpantun, makin menjadi-jadi, “Jika pergi ke
Medan Abang, jangan lupa makan durian. Jika ingin edan, Abang, jangan lupa
makan durian runtuh,...” demikian pantunnya yang nggak nyambung, gara-gara soal
RPP dibelokkan menjadi Rupiah Pun Pergi.
Beberapa
orang yang sedang makan di warung kaki lima, di cafe, di resto, meninggalkan
santapan mereka dan bergabung. Beberapa mahasiswa S2, yang sedang ujian,
meninggalkan kursinya dan keluar ruangan (Mau ikut demo nggak?
“Nggak, lagi pusing, nggak
bisa jawab soal nih,” kata mereka).
Hingga
akhirnya, para pendemo sampai di depan Istana Presiden. Ada poster MKRI dibentangkan di sana (MKRI, Masyarakat Kuliner Republik
Indonesia, mereka ikut karena dikiranya ada demo masak).
Tapi,
sial, presiden tak ada. Pembantunya tak ada. Para tim suksesnya juga tak ada.
Para produsen citra, juga tak ada. Kemana semua orang itu?
Seorang
gelandangan, yang baru saja terjaga dari lelap tidurnya di depan pintu istana,
menoleh ke arah kerumunan, “Mau pada demo, secara pagi-pagi begini?” tanyanya.
Tak ada
yang menjawab. Tetapi semua diam. Tetapi semua bisu. Tetapi, jangan tanya pada
Ebiet, yang lagi pusing, karena
rekamannya lebih banyak dibajak produsernya sendiri.
“Hmmm, aku
tahu,” kata gelandangan itu akhirnya. “kalian semua ini mempersoalkan data
intelijen bukan?”
Orang-orang
pun saling pandang, karena tidak logis kalau saling tendang.
“Hahaha,
kalian heran? Tidak percaya?” gelandangan itu akhirnya mengeluarkan gulungan
kertas dari karung plastik yang selalu dibawanya ke mana-mana. “Ini data
intelijen yang kemarin aku temukan,...”
Sang
gelandangan menggelar gulungan kertas yang disebutnya data intelijen. “Nah,
baca sendiri, ini ribuan data intelijen yang kudapatkan itu. 1. Besok,
anak-anakku akan diangkat jadi menteri. 2. Tiga bulan lagi, isteriku bakal jadi
ketua umum partai. 3....” gelandangan terus membaca data.
Orang-orang
pada heran, “Kalau data soal Ruhut Sitompul, Anas Urbaningrum, ada nggak?” bertanya seseorang.
“Hah?
Siapa itu?” gelandangan kelihatan bingung, “nggak dikenal nama itu. Ini data
akurat! Bukan lagi A Satu. Kalau ada bilangan sebelum satu, ini A sebelum satu!
Very-very akurat! Siapa yang tidak mempercayai data ini, bisa dikenakan pasal
penghinaan atas lembaga negara! PKI, Para Kurangpercaya Indonesia!”
Orang-orang
pada mengkeret. Mereka kemudian beramai-ramai bikin poster, spanduk, pidato,
puisi, traktat, novel, mural (bareng Samuel Indratma), sinetron, exposign, dan
lain sebagainya, dan semuanya memuja serta menyembah-nyembah data intelijen.
Intinya, “Data intelijen, I love U full!”
Sialnya,
Mbah Surip, ditemani Mbah Maridjan, bak zombie muncul
dari bawah aspal jalan. Ia kini tidak sedang menggendong gitar. Ia menggendong
deritanya yang lara. Kenapa popularitas ‘gitu cepat sirna, sementara ia belum
jua bisa mendepositokan kekayaan ke Bank-bank Swiss yang teraman di dunia, atau
pada the other century bank in the world.
Iya, iya,
iya. Tapi, bagaimana soal perceraian suami-isteri di awal cerita tadi, begitu
tanya kalian bukan? Okey, jadi kalian pun hendak menyepelekan soal data
intelijen itu? Kalian mau menjatuhkan presiden? Mau menjatuhkan citra? Citra
Mulyasari, Citra Minah, Citra BBM, Citra kucing garong?
“Garage
sale! Garage sale!” teriak seorang ibu (sepertinya, beliau pernah demo
menduduki kursi direksi Bank Century di Surabaya), yang mau jual garasinya,
karena mobilnya juga sudah dijual, “harga edan-edanan, 800% off! Ayo, dipilih,
dipilih dipilih,...!”
Stop! Harap
kalian tahu. Pilih salah satu, menjadi goblog atau cuci otak? Angkat tangan (atau,
angkat kaki)! Dor! Dor! Dor! Tigapuluh selongsong peluru muntah,
menghancurkan nyawa empat napi titipan polisi, gara-gara polisinya takut
diserbu tentara.
Mari-mari menari di 2014, hopla!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar