Syahdan menurut sahibul bokis, berlangsunglah musyawarah hewan, di suatu
tempat yang demi keamanan saya tak boleh menyebutkan (soalnya kalau
disebutkan, apalagi mau demo kok konperensi pers ngundang
wartawan tivi, nanti lagi-lagi justeru dibocorkan oleh presiden sebagai
kudeta, dan hasilnya kontra-produktif ‘kan? Zapatista, Bung)!
Begini rekaman dialog hasil penyadapan musyawarah hewan itu:
DOMBA : "Heran deh, kenapa nama saya sering diseret-seret jika manusia mengadu manusia,..."
KAMBING : "Itulah tidak berperikebinatangannya mereka. Nama saya juga
sering dipakai.Seolah bangsa yang berkulit item itu jahat, salah, nggak
baik. Mereka ‘kan mestinya bikin label sendiri, toh kami nggak pernah
ngomong kambing kami yang jelek sebagai manusia hitam. Kan ada istilah
lain, kelompok tidak dikenal, 'kan keren tuh! Kenapa nggak dikenal?
Karena nggak bikin konperensi pers di TV, xixixixi,...!"
BABI :
"Aaah, sudahlah, ngomongin manusia nggak ada habisnya. Bayangin coba,
kenapa mereka memakai namaku untuk memaki-maki? Rasis!"
CORO : "Hiks,...! Mereka suka ngomong Coro Lu, padahal gua nggak pernah ngomong Coro Gua!"
TIKUS : "Eit, nha, nha, kalian juga seret-seret sesama warga negara
binatang. Emang kami bisa milih nama bukan 'tikus'? Kalau bisa milih
ujud kayak Adele, kalian tetep namain aku tikus? Emang aku bisa milih
lahir bukan jadi tikus, Cina, dan Kristen, kayak dibilang engkong Ridwan
Saidi itu? Tikus ‘kan juga makhluk ciptaan Tuhan? Kenapa kalau GM atau
Jitet bikin kartun koruptor mesti ngambil karakter kami-kami coba?"
BURUNG HANTU : "Wah, nggak ngerti art for art nih,... kik-kuk!"
ULAR : "Saya juga mau protes, apa salahnya dengan lidah saya? Lidah
saya emang bercabang, tapi tidak semua ular tidak jujur. Kita semua
kalau 'a' ya ngomong 'a'. Jangan lihat dari bentuk fisik dong. Fisik
banget ih kalian! Bar-bar! Dasar Ular Lu, eh, Manusia ding!"
ANJING :
"Iya, idem! Namaku juga sering dipakai jadi makian. Kok nggak diganti
'Sutan Lu!', Poltak Lu!', 'Dasar politikus Lu!', Monyet Lu,..."
MONYET : “Heiii… the talks are not educated at all!"
ASU : “Lha, aku iki anjing Jawa je, piye jal?”
MONYET : “Luweh, Su!”
Senin, Maret 25, 2013
Minggu, Maret 24, 2013
Data Intelijen, Isyu Kudeta, dan Mari Menari di 2014
Pagi-pagi,
sudah pecah keributan antara suami dan isteri. “Bagaimana aku tidak percaya,”
sang isteri berteriak-teriak histeris, “ini data intelijen, A-1, akurat, bukan
informasi sembarangan, dari lembaga yang terpecaya, mereka bersumpah pada
Tuhan, demi Allah!”
“Bagaimana
mungkin, dan apa hubungannya, Ma?” sang suami mencoba berkilah.
“Oke, jika
kau tidak percaya dengan data intelijen ini, maka kamu bisa digolongkan sebagai
orang yang menghina lembaga negara! Terserah, kamu tinggal pilih. Kita cerai,
atas nama perselingkuhan, atau karena tudingan menghina lembaga negara!”
“Oke,”
sang suami tak mampu menahan geram. “Kita cerai atas nama data intelijen itu!”
“Yang
mana, perselingkuhan atau menghina lembaga negara?”
“Menghina
lembaga negara!”
Dan, suami
isteri itu pun kemudian mengurus segala-sesuatunya, mengesahkan perceraian
mereka.
Sesampai
di Pengadilan Perceraian (dulu namanya Pengadilan Agama, tapi karena tidak
pernah mengadili agama, dan hanya ngurusi orang cerai, namanya kemudian diganti
seperti itu), pecah lagi perang mulut, ketika panitera pengadilan menanyai
maksud dan tujuan suami-isteri itu.
“Alasan
kami cerai, karena suami saya ini selingkuh!” sang isteri masih berapi-api.
“Lho,
gimana sih?’ sang suami menyela, “Tadi sudah kita sepakati, ini karena
penghinaan atas lembaga negara!”
“Penghinaan
lembaga negara? Apa-apaan ini?” sang panitera heran.
“Hah? Anda
juga tidak percaya pada lembaga intelijen negara? Anda bersekongkol dan menghina
lembaga negara,...!”
Belum usai
soal perceraian, panitera pengadilan agama diseret ke kepolisian, dengan
tudingan menghina lembaga negara yang terhormat.
“Bagaimana
mungkin, Pak,” kata Isteri pada Pak Polisi sambil menuding panitera pengadilan
agama, “orang ini, tidak mempercayai lembaga intelijen negara. Coba, cari pasal
berapa pelanggaran yang dia buat, Pak. Ini penghinaan negara, bukan?”
Sang
Polisi garuk-garuk kepala, soalnya kalau mau garuk-garuk dengkul takut dikira
tidak sopan.
“Bapak ini
mudeng enggak sih? Paham enggak sih,” giliran Suami tak sabar melihat reaksi
Polisi yang agak jadul. “Emangnya, bapak juga mau dikategorikan menghina
simbol-simbol kenegaraan?”
“Waduh,
ini pasalnya apa?” Pak Polisi terlongong-longong.
“Lho,
sampeyan sing polisi, sampeyan malah balik nanya!” Suami tambah marah.
“Sampeyan ini tidak loyal pada negara! Dari dulu polisi kok Cuma bisa nanya! Giliran diserbu tentara baru nyaho!”
Keributan
demi keributan, seolah beranak pinak. Semua karena data intelijen. Hingga
akhirnya, data intelijen ini, sampai juga ke telinga petinggi lembaga intelijen
negara.
“Lho,
apa-apaan ini? Kita tidak pernah memproduksi data itu!” kata sang pejabat
intelijen.
“Sampeyan
jangan kura-kura dalam perahu,” sang Isteri mulai kalap. “Presiden sendiri yang bilang. Mau diapakan negara ini, jika soal
perselingkuhan saja tidak bisa memecahkan akar persoalannya!”
“Ibu,
maaf,” pejabat intelijen menyela, “jangan bawa kura-kura, apalagi dengan
perahunya segala. Swear, kantor kecil sempit. Lagi pula, mengapa soal
perselingkuhan Ibu membawanya pada kami? Kami ini lembaga negara yang tidak
peduli orang mau kawin atau mau cerai, apalagi soal gossip selingkuh!”
“Alah,
jelas sudah,” kini Suami yang tak sabar. “sampeyan sudah berkhianat pada sumpah
setia jabatan. Ingat, dulu pakai angkat Quran apa Injil?”
“Oh, my
Godness! SARA tauk!” Pak Intelijen yang agak religius mulai pening. “Please,
jelaskan, ini perkara apa? Anda mungkin salah melapor,...”
“Melapor?
Melapor ke lembaga intelijen?” Isteri kini makin meradang. “Anda ini gila, dianggapnya
data intelijen mau dilaporkan? Ini negara gila!”
Persoalan
Suami dan Isteri, yang mau cerai itu, makin tak jelas. Mereka berdua kemudian
ke Komnas HAM, membawa spanduk ke mana-mana. Teriak-teriak. Beberapa orang yang
sedang demo, membelokkan arah dan mengikut di belakang dua orang yang mau bercerai
itu. Seorang menteri yang suka berpantun, makin menjadi-jadi, “Jika pergi ke
Medan Abang, jangan lupa makan durian. Jika ingin edan, Abang, jangan lupa
makan durian runtuh,...” demikian pantunnya yang nggak nyambung, gara-gara soal
RPP dibelokkan menjadi Rupiah Pun Pergi.
Beberapa
orang yang sedang makan di warung kaki lima, di cafe, di resto, meninggalkan
santapan mereka dan bergabung. Beberapa mahasiswa S2, yang sedang ujian,
meninggalkan kursinya dan keluar ruangan (Mau ikut demo nggak?
“Nggak, lagi pusing, nggak
bisa jawab soal nih,” kata mereka).
Hingga
akhirnya, para pendemo sampai di depan Istana Presiden. Ada poster MKRI dibentangkan di sana (MKRI, Masyarakat Kuliner Republik
Indonesia, mereka ikut karena dikiranya ada demo masak).
Tapi,
sial, presiden tak ada. Pembantunya tak ada. Para tim suksesnya juga tak ada.
Para produsen citra, juga tak ada. Kemana semua orang itu?
Seorang
gelandangan, yang baru saja terjaga dari lelap tidurnya di depan pintu istana,
menoleh ke arah kerumunan, “Mau pada demo, secara pagi-pagi begini?” tanyanya.
Tak ada
yang menjawab. Tetapi semua diam. Tetapi semua bisu. Tetapi, jangan tanya pada
Ebiet, yang lagi pusing, karena
rekamannya lebih banyak dibajak produsernya sendiri.
“Hmmm, aku
tahu,” kata gelandangan itu akhirnya. “kalian semua ini mempersoalkan data
intelijen bukan?”
Orang-orang
pun saling pandang, karena tidak logis kalau saling tendang.
“Hahaha,
kalian heran? Tidak percaya?” gelandangan itu akhirnya mengeluarkan gulungan
kertas dari karung plastik yang selalu dibawanya ke mana-mana. “Ini data
intelijen yang kemarin aku temukan,...”
Sang
gelandangan menggelar gulungan kertas yang disebutnya data intelijen. “Nah,
baca sendiri, ini ribuan data intelijen yang kudapatkan itu. 1. Besok,
anak-anakku akan diangkat jadi menteri. 2. Tiga bulan lagi, isteriku bakal jadi
ketua umum partai. 3....” gelandangan terus membaca data.
Orang-orang
pada heran, “Kalau data soal Ruhut Sitompul, Anas Urbaningrum, ada nggak?” bertanya seseorang.
“Hah?
Siapa itu?” gelandangan kelihatan bingung, “nggak dikenal nama itu. Ini data
akurat! Bukan lagi A Satu. Kalau ada bilangan sebelum satu, ini A sebelum satu!
Very-very akurat! Siapa yang tidak mempercayai data ini, bisa dikenakan pasal
penghinaan atas lembaga negara! PKI, Para Kurangpercaya Indonesia!”
Orang-orang
pada mengkeret. Mereka kemudian beramai-ramai bikin poster, spanduk, pidato,
puisi, traktat, novel, mural (bareng Samuel Indratma), sinetron, exposign, dan
lain sebagainya, dan semuanya memuja serta menyembah-nyembah data intelijen.
Intinya, “Data intelijen, I love U full!”
Sialnya,
Mbah Surip, ditemani Mbah Maridjan, bak zombie muncul
dari bawah aspal jalan. Ia kini tidak sedang menggendong gitar. Ia menggendong
deritanya yang lara. Kenapa popularitas ‘gitu cepat sirna, sementara ia belum
jua bisa mendepositokan kekayaan ke Bank-bank Swiss yang teraman di dunia, atau
pada the other century bank in the world.
Iya, iya,
iya. Tapi, bagaimana soal perceraian suami-isteri di awal cerita tadi, begitu
tanya kalian bukan? Okey, jadi kalian pun hendak menyepelekan soal data
intelijen itu? Kalian mau menjatuhkan presiden? Mau menjatuhkan citra? Citra
Mulyasari, Citra Minah, Citra BBM, Citra kucing garong?
“Garage
sale! Garage sale!” teriak seorang ibu (sepertinya, beliau pernah demo
menduduki kursi direksi Bank Century di Surabaya), yang mau jual garasinya,
karena mobilnya juga sudah dijual, “harga edan-edanan, 800% off! Ayo, dipilih,
dipilih dipilih,...!”
Stop! Harap
kalian tahu. Pilih salah satu, menjadi goblog atau cuci otak? Angkat tangan (atau,
angkat kaki)! Dor! Dor! Dor! Tigapuluh selongsong peluru muntah,
menghancurkan nyawa empat napi titipan polisi, gara-gara polisinya takut
diserbu tentara.
Mari-mari menari di 2014, hopla!
Sabtu, Maret 23, 2013
Senirupa Kita dan Hanya Urusan Mereka Saja
Judul tulisan ini, oleh para seniman perupa,
biasanya langsung disambar dengan jawaban macam-macam. Biasanya jawaban
penuh plesetan dan lucu-lucu. Dunia senirupa kita memang dunia yang
riang gembira, sebagaimana akun fesbuk dan twitter para perupa kita yang 'sela' dan 'lunyu'.
Tapi, ini tulisan bukan untuk para perupa, melainkan untuk rakyat jelata semata, yang sudah lebih dari satu dekade ini seolah tak pernah terlibat dengan dunia seni rupa itu. Kini jarang sekali ada pameran-pameran seni rupa yang bertujuan untuk apresiasi masyarakat. Pameran lukisan kini lebih sering hanya urusan artisnya, kurator, pemilik gallery, dan "satu pihak lagi" yang sering di belakang layar sebagai konseptor. Di media massa, juga tak ada lagi kritik apresiatif, karena sudah berubah menjadi tulisan endoorsment kurator dalam katalog yang mewah dan honor yang jauh lebih tinggi di banding nulis di koran. Selebihnya, dalam setiap opening pameran, tentu adalah reriungan para handai-taulan yang lagi pameran. Lumayan, ada makan-makan, minum-minum, untuk perbaikan gizi.
Tapi, setelahnya, karya-karya mereka kemudian lenyap. Masuk ke ruang-ruang pribadi, entah ke kolektor atau kolekdol. Nah, celakanya, kolektor dan kolekdol ini juga tak sudi mengadakan pameran koleksinya untuk umum (dan gratis. Coba saja di Museum OHD di Magelang, untuk masuk harus bayar Rp 100.000, itu pun ternyata bercampur lukisan palsu,...). Sampai-sampai, ada sebuah museum lukisan yang isinya dirampok, bukan oleh pencuri, tapi oleh "pihak internal" karena isyu ekonomi di baliknya.
Nama-nama perupa kita pun, kini tak banyak dikenali secara umum (dan agaknya itu tak penting, karena "yang penting duitnya lebih gede sekarang"). Tak sebagaimana dulu rakyat jelata kenal Afandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Dullah, dan sebagainya itu ("buat apa terkenal, kalau nyatanya kere?").
Kapan ada pameran besar (dan lengkap dan komprehensif) 100 Tahun Seni Rupa Indonesia untuk masyarakat umum, keliling Indonesia, misalnya? Agak tidak mudah menjawabnya. Karena kesenian yang satu ini, lebih asyik-masuk dalam komunikasi-komunikasi yang eksklusif sifatnya.
Sementara mural-mural karya Samuel Endratma dan kawan-kawan di Yogya misalnya, kini terpaksa bersaing dan tergusur oleh iklan sinyal kuat atau bisa ngomong sampe ndoweeeerr!
Senirupa, agaknya hampir sama dengan kesenian klangenan lainnya, hanya menjadi urusan antara yang menjual dan membeli, dalam pengertian yang paling dasar.
Ah, saya jadi ingat seorang teman yang ingin pameran lukisan di Papua, moga beliau masih semangat!
Tapi, ini tulisan bukan untuk para perupa, melainkan untuk rakyat jelata semata, yang sudah lebih dari satu dekade ini seolah tak pernah terlibat dengan dunia seni rupa itu. Kini jarang sekali ada pameran-pameran seni rupa yang bertujuan untuk apresiasi masyarakat. Pameran lukisan kini lebih sering hanya urusan artisnya, kurator, pemilik gallery, dan "satu pihak lagi" yang sering di belakang layar sebagai konseptor. Di media massa, juga tak ada lagi kritik apresiatif, karena sudah berubah menjadi tulisan endoorsment kurator dalam katalog yang mewah dan honor yang jauh lebih tinggi di banding nulis di koran. Selebihnya, dalam setiap opening pameran, tentu adalah reriungan para handai-taulan yang lagi pameran. Lumayan, ada makan-makan, minum-minum, untuk perbaikan gizi.
Tapi, setelahnya, karya-karya mereka kemudian lenyap. Masuk ke ruang-ruang pribadi, entah ke kolektor atau kolekdol. Nah, celakanya, kolektor dan kolekdol ini juga tak sudi mengadakan pameran koleksinya untuk umum (dan gratis. Coba saja di Museum OHD di Magelang, untuk masuk harus bayar Rp 100.000, itu pun ternyata bercampur lukisan palsu,...). Sampai-sampai, ada sebuah museum lukisan yang isinya dirampok, bukan oleh pencuri, tapi oleh "pihak internal" karena isyu ekonomi di baliknya.
Nama-nama perupa kita pun, kini tak banyak dikenali secara umum (dan agaknya itu tak penting, karena "yang penting duitnya lebih gede sekarang"). Tak sebagaimana dulu rakyat jelata kenal Afandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Dullah, dan sebagainya itu ("buat apa terkenal, kalau nyatanya kere?").
Kapan ada pameran besar (dan lengkap dan komprehensif) 100 Tahun Seni Rupa Indonesia untuk masyarakat umum, keliling Indonesia, misalnya? Agak tidak mudah menjawabnya. Karena kesenian yang satu ini, lebih asyik-masuk dalam komunikasi-komunikasi yang eksklusif sifatnya.
Sementara mural-mural karya Samuel Endratma dan kawan-kawan di Yogya misalnya, kini terpaksa bersaing dan tergusur oleh iklan sinyal kuat atau bisa ngomong sampe ndoweeeerr!
Senirupa, agaknya hampir sama dengan kesenian klangenan lainnya, hanya menjadi urusan antara yang menjual dan membeli, dalam pengertian yang paling dasar.
Ah, saya jadi ingat seorang teman yang ingin pameran lukisan di Papua, moga beliau masih semangat!
Studi Banding Santet dan Studi Banding Ahok
Komisi
III DPR-RI (ini komisi yang bangga banget disebut-sebut sebagai
macan-macan Senayan), akan berkunjung ke empat negara Eropa, yakni
Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda. Mereka akan melakukan studi
banding dalam rangka penyusunan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Rancangan kedua RUU itu kini menjadi
perdebatan lantaran ada sejumlah pasal kontroversial, mulai dari soal
santet hingga penyadapan. Anggaran sebanyak Rp 15 milyar akan diludeskan
untuk hal ini.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan berangkat keempat negara di Eropa untuk studi banding tentang sistem hukum di negara-negara itu. Keempat negara itu yakni Perancis, Rusia, Inggris, dan Belanda. Studi banding dilakukan dalam rangka persiapan RUU KUHP dan KUHAP. Rombongan akan dibagi ke dalam empat kelompok dan akan berangkat pada tanggal 14-16 April 2013. Setiap rombongan terdiri dari 15 orang. Menurut Dimyati, jumlah rombongan itu sudah termasuk para staf ahli.
"Jangan salah. Santet itu bagian daripada sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Ini perlu pengaturan-pengaturan," ucap Dimyati Natakusumah dari Fraksi PPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (Kompas.Com., 22/3/2013). Dimyati mengaku persoalan santet dan penyadapan itu sebenarnya bisa dipelajari melalui penelitian internet. "Tapi, kalau secara langsung kan lebih enak didengarnya dan akuntabel," ujar Dimyati.
BANDINGKAN DENGAN CARA AHOK | Mari kita bandingkan, dengan studi banding yang dilakukan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang membuat gebrakan baru lagi, bagaimana menghemat anggaran secara efektif dan efisien. Ahok berdiskusi secara langsung dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Belanda melalui sarana teleconference. Diskusi tersebut juga disiarkan ke jaringan radio Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di 40 negara dan beberapa ahli bidang manajemen sumber daya air dari berbagai negara.
Apa yang dilakukan Ahok juga telah memukul logika studi banding yang selama ini sering dilakukan oleh, terutama, DPR. Diskusi tentang Penanganan Banjir Jakarta tersebut diinisiasi oleh Indonesia Diaspora Network-Netherland, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dan PPI Dunia. Ahok seolah hendak menegaskan, bahwa studi banding tidak harus dilakukan dengan mendatangi mereka. Ada skala prioritas jika cukup dengan memanfaatkan teknologi informasi maka tak perlu ke luar negeri.
Meminjam istilah Andre Giddens, pen-jarak-an ruang dan waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Berapa miliar rupiah dihemat jika banyak studi banding ke luar negeri dilakukan secara teleconference? Beberapa studi banding memang harus datang secara langsung, itu pengecualian jika memunyai skala prioritas.
Sangat besar dana APBN dan APBD yang bisa dihemat di sini, dan hasilnya sama saja dengan studi banding pola standar. Ini pukulan telak dari Ahok dan masyarakat Indonesia di luar negeri, dalam rangka penghematan anggaran. Ahok hanya salah satu bukti, untuk membedakan pemimpin berotak logis dan yang berotak korupsi doang.
Itu sebabnya, mengapa rakyat Indonesia (sekali pun bukan warga Jakarta) lebih mendukung Ahok, daripada mendukung para gemblungers Senayan. Parlemen kita periode ini, adalah yang terburuk, dilihat dari tingkat kehadiran mereka dalam sidang-sidang, dan terutama pada rendahnya produktivitas mereka dalam proses-proses legislasi.
Para gembluners Senayan lebih banyak menjadi pengawas eksekutif tetapi sekaligus sebagai pemain anggaran. Bahkan untuk hal-hal yang semestinya tinggal dikoordinasikan dengan Presiden, mereka pun mesti masuk ke masalah teknis dan berurusan dengan para Dirjen dan pihak-pihak swasta terkait proyek. Itulah kenapa pengawasan diminati, karena itu bisa sebagai jalan korupsi, dan proses legislasi hanya pada studi bandingnya saja, karena disitu juga bisa piknik gratis.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan berangkat keempat negara di Eropa untuk studi banding tentang sistem hukum di negara-negara itu. Keempat negara itu yakni Perancis, Rusia, Inggris, dan Belanda. Studi banding dilakukan dalam rangka persiapan RUU KUHP dan KUHAP. Rombongan akan dibagi ke dalam empat kelompok dan akan berangkat pada tanggal 14-16 April 2013. Setiap rombongan terdiri dari 15 orang. Menurut Dimyati, jumlah rombongan itu sudah termasuk para staf ahli.
"Jangan salah. Santet itu bagian daripada sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. Ini perlu pengaturan-pengaturan," ucap Dimyati Natakusumah dari Fraksi PPP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (Kompas.Com., 22/3/2013). Dimyati mengaku persoalan santet dan penyadapan itu sebenarnya bisa dipelajari melalui penelitian internet. "Tapi, kalau secara langsung kan lebih enak didengarnya dan akuntabel," ujar Dimyati.
BANDINGKAN DENGAN CARA AHOK | Mari kita bandingkan, dengan studi banding yang dilakukan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang membuat gebrakan baru lagi, bagaimana menghemat anggaran secara efektif dan efisien. Ahok berdiskusi secara langsung dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Belanda melalui sarana teleconference. Diskusi tersebut juga disiarkan ke jaringan radio Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di 40 negara dan beberapa ahli bidang manajemen sumber daya air dari berbagai negara.
Apa yang dilakukan Ahok juga telah memukul logika studi banding yang selama ini sering dilakukan oleh, terutama, DPR. Diskusi tentang Penanganan Banjir Jakarta tersebut diinisiasi oleh Indonesia Diaspora Network-Netherland, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dan PPI Dunia. Ahok seolah hendak menegaskan, bahwa studi banding tidak harus dilakukan dengan mendatangi mereka. Ada skala prioritas jika cukup dengan memanfaatkan teknologi informasi maka tak perlu ke luar negeri.
Meminjam istilah Andre Giddens, pen-jarak-an ruang dan waktu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Berapa miliar rupiah dihemat jika banyak studi banding ke luar negeri dilakukan secara teleconference? Beberapa studi banding memang harus datang secara langsung, itu pengecualian jika memunyai skala prioritas.
Sangat besar dana APBN dan APBD yang bisa dihemat di sini, dan hasilnya sama saja dengan studi banding pola standar. Ini pukulan telak dari Ahok dan masyarakat Indonesia di luar negeri, dalam rangka penghematan anggaran. Ahok hanya salah satu bukti, untuk membedakan pemimpin berotak logis dan yang berotak korupsi doang.
Itu sebabnya, mengapa rakyat Indonesia (sekali pun bukan warga Jakarta) lebih mendukung Ahok, daripada mendukung para gemblungers Senayan. Parlemen kita periode ini, adalah yang terburuk, dilihat dari tingkat kehadiran mereka dalam sidang-sidang, dan terutama pada rendahnya produktivitas mereka dalam proses-proses legislasi.
Para gembluners Senayan lebih banyak menjadi pengawas eksekutif tetapi sekaligus sebagai pemain anggaran. Bahkan untuk hal-hal yang semestinya tinggal dikoordinasikan dengan Presiden, mereka pun mesti masuk ke masalah teknis dan berurusan dengan para Dirjen dan pihak-pihak swasta terkait proyek. Itulah kenapa pengawasan diminati, karena itu bisa sebagai jalan korupsi, dan proses legislasi hanya pada studi bandingnya saja, karena disitu juga bisa piknik gratis.
Lagi-lagi Setan Gundul Menyerbu Hukum
Jika saja empat tersangka kasus pembunuhan Sertu Santoso, anggota Kopassus Grup II Surakarta di Hugos Cafe (19/3) Yogyakarta, ditahan di markas Polda DIY, bisa jadi peristiwa seperti di Polres Ogan Komering Ulu (9/3) bakal berlangsung semalam di Yogyakarta.
Tapi tidak. Sebanyak 17 orang bertopeng, bersenjata organik, merangsek ke LP Cebongan Sleman (Yogyakarta), dan langsung menembak 4 tahanan di dalam sel (23/3). Bagaimana kisahya? Sebelumnya (19/3) terjadi kasus penganiayaan oleh empat tersangka atas Sertu Santosa (anggota Kopassus) di Hugo’s Cafe Yogyakarta, hingga tewasnya sang prajurit grup II Kidang Menjangan Surakarta itu.
Oleh Polda DIY, empat pelakunya kemudian ditahan. Dengan lokasi berpindah-pindah, hingga akhirnya mereka ditempatkan di LP Cebongan Sleman. Dan di situlah, semalam ke-empatnya tewas ditembak dalam sel.
Penempatan di LP Cebongan, memungkinkan operasi penyerbuan berlangsung dengan mudah. Disamping LP itu kecil, berada jauh dari pusat keramaian, dan hanya dijaga dua orang, memungkinkan 17 penyerbunya bergerak leluasa.
Siapa penyerbunya? Awam mudah menebak, karena mereka hanya menghabisi 4 tahanan pelaku pembunuhan oknum Kopassus itu, tudingan bisa diarahkan ke mana. Apalagi penyerbuan dilakukan sangat taktis. Pada jam 02.00 dinihari, ketika media cetak sudah naik cetak dan esoknya berita itu tak nongol, meski di media internet dan televisi tak bisa dibendung.
Perusakan CCTV dan hanya langsung menuju sasaran, menambah kuat dugaan, apalagi mereka teroganisasi dan bersenjata. Siapa yang mampu melakukan itu? Masyarakat sipil tidak cukup terlatih untuk tindakan seperti itu. Meski tentu saja, para petinggi militer langsung sibuk membantah. Sebelum penyelidikan dimulai pun, bantahan sudah diberikan (ini ciri kasus tersebut bakal gelap). Bahwa anggota TNI tak mungkin bertindak seperti itu, tak ada perintah, semua prajurit disiplin, dan TNI-Polri DIY soliditasnya tinggi. Siapa mau percaya?
Pemindahan tahanan yang dilakukan Polda, mengisyaratkan Polda DIY “mengetahui” setidaknya menduga akan terjadinya peristiwa itu, karena hal itu dilakukan berpindah-pindah. Jika benar bahwa penyerangnya adalah korps kesatuan Kopassus, semestinya atasan mereka mengundurkan diri, karena menunjukkan mereka gagal membina prajuritnya. Siapa yang mesti mundur? Mungkinkah adik ipar Presiden yang jadi KSAD, mundur sebagaimana dulu bapaknya (Komandan RPKAD, Sarwo Edhie Wibowo) juga mundur secara ksatria, sebelum Indonesia diguncang isyu Malari 1974?
Tentu akan banyak alasan untuk menolak hal itu. Kita sudah hafal. Tapi di tengah isyu kudeta, yang dihembuskan oleh presiden sendiri, kita mengerti, betapa kepemimpinan nasional memang berjalan tidak maksimal. Setidaknya, presiden telah gagal menegakkan hukum di segala lini.
Peristiwa itu sendiri, jika dikaitkan dengan latar belakangnya, tak bisa dilepaskan dari sindikasi peredaran narkoba di Yogyakarta. Satu dari empat tersangka pembunuhan anggota Kopassus itu, adalah desertan polisi karena kasus penggunaan sabu-sabu dan baru keluar dari RS Grhasia Yogyakarta (rumah sakit khusus narkoba).
Lokasi pembunuhan anggota Kopassus itu juga terjadi sebuah diskotik, Hugos Cafe di Yogyakarta. Sebelumnya, di tempat yang sama pada 7 Desember 2012, Kusnan (28) menjadi korban pembunuhan pula. Berdasar penelusuran Polres Sleman, tersangka pembunuhan itu ternyata seorang anggota TNI AD yang telah dipecat.
Bagaimana mereka semua ada di situ? Polisi dan tentara yang deserse, dan kini tentara anggota Kopassus yang masih aktif? Komandannya tentu saja berkilah, anak buahnya sedang menjalankan tugas. Tugas apa?
Lagi-lagi, setan gundul akan jadi korban fitnah. Hidup Narkoba!
Sabtu, Maret 09, 2013
Polisi Tidur dan Ketidakmampuan Kita Berdialog
Ketika jalan masih bebatuan dan belum
mulus, kita menginginkan jalan mulus dan beraspal. Ketika jalan mulus dan
beraspal, muncul barisan polisi tidur, berderet amat banyaknya di sepanjang
jalan. Apa maunya kita ini sesungguhnya?
Bagaimana sejarah polisi yang satu ini, dan apa
tujuannya? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga 2001),
polisi tidur adalah “bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang
untuk menghambat laju kendaraan”. Dalam
Kamus Idiom Bahasa Indonesia (1984) maknanya kurang lebih sama dengan yang ada
dalam KBBI. Dari sini bisa disimpulkan, istilah polisi tidur sudah ada sebelum
tahun 1984, meski ada juga kemungkinan istilah ini berasal dari bahasa Inggris
Britania: sleeping policeman.
Yang pasti, polisi tidur ini diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Th 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan; dengan sudut kemiringan 15%, dan tinggi maksimum tidak lebih dari 150mm. Jadi, jika kita menemukan polisi tidur yang tak sesuai aturan, bangunin dia (dengan cara dihancurkan) atau yang sedikit lebih sopan, laporkan polisi tidur itu ke kantor polisi (meski kita juga tahu jalan di depan kantor polisi juga sering dibangun polisi tidur oleh para polisi itu.
Tapi kenapa dengan polisi tidur? Polisi tidur adalah bukti paling nyata, betapa tidak operated (operasionalnya) norma-norma kemasyarakatan kita. Nilai-nilai moral macet, tak mampu dikomunikasikan, apalagi ditransformasikan.
Bayangkan, gara-gara 1-2 orang yang suka ngebut di jalan, puluhan dan ratusan pengguna jalan yang lainnya (yang mereka tidak ngebut), mendapatkan hukuman atas adanya polisi tidur itu. Kenapa tidak ditegur saja 1-2 orang, yang dianggap salah dan meresahkan itu, dan diberitahu bagaimana berkendaraan yang baik dan benar sesuai kaidah?
Membangun polisi tidur, adalah jalan paling praktis. Tapi akibatnya? Lebih banyak orang terhukum padahal mereka tidak melakukan pelanggaran. Maka, kalau mereka (para pembangun polisi tidur itu) tak peduli akibatnya, itulah ciri khas komunikasi Orde "Soeharto" Baru. Tak mampu dan tak berani (bukan hanya tak bisa) berkomunikasi, apalagi berdiskusi, dan bernegosiasi. Soeharto telah mendidik bangsa ini dengan kebenaran mutlak, kekuasaan mutlak, nilai mutlak, dan lahirlah kemudian generasi mutlak-mutlakan tanpa kompromi.
Yang pasti, polisi tidur ini diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Th 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan; dengan sudut kemiringan 15%, dan tinggi maksimum tidak lebih dari 150mm. Jadi, jika kita menemukan polisi tidur yang tak sesuai aturan, bangunin dia (dengan cara dihancurkan) atau yang sedikit lebih sopan, laporkan polisi tidur itu ke kantor polisi (meski kita juga tahu jalan di depan kantor polisi juga sering dibangun polisi tidur oleh para polisi itu.
Tapi kenapa dengan polisi tidur? Polisi tidur adalah bukti paling nyata, betapa tidak operated (operasionalnya) norma-norma kemasyarakatan kita. Nilai-nilai moral macet, tak mampu dikomunikasikan, apalagi ditransformasikan.
Bayangkan, gara-gara 1-2 orang yang suka ngebut di jalan, puluhan dan ratusan pengguna jalan yang lainnya (yang mereka tidak ngebut), mendapatkan hukuman atas adanya polisi tidur itu. Kenapa tidak ditegur saja 1-2 orang, yang dianggap salah dan meresahkan itu, dan diberitahu bagaimana berkendaraan yang baik dan benar sesuai kaidah?
Membangun polisi tidur, adalah jalan paling praktis. Tapi akibatnya? Lebih banyak orang terhukum padahal mereka tidak melakukan pelanggaran. Maka, kalau mereka (para pembangun polisi tidur itu) tak peduli akibatnya, itulah ciri khas komunikasi Orde "Soeharto" Baru. Tak mampu dan tak berani (bukan hanya tak bisa) berkomunikasi, apalagi berdiskusi, dan bernegosiasi. Soeharto telah mendidik bangsa ini dengan kebenaran mutlak, kekuasaan mutlak, nilai mutlak, dan lahirlah kemudian generasi mutlak-mutlakan tanpa kompromi.
Bangsa ini, sejak Demokrasi
Terpimpin (1957, ketika Sukarno tak sabar dengan partai-partai politik) tidak
terdidik untuk berbeda pendapat. Dan sejak 1971, Soeharto makin menguatkannya
dalam praksis politik Orde Barunya yang otoritarian itu.
Para Pastor, Pidada, Ulama, Pendeta, Kyai, dan siapapun pemegang otoritas keagamaan dan pendidikan, akhirnya juga tidak memberi ruang alternatif yang operated. Mereka turut pula membangun polisi tidur di mana-mana. Kalau ada pendosa, langsung dimasukkan ke neraka. Bikin rambu-rambu yang tak boleh dilanggar. Tapi kalau ada pertarungan antarumat beragama, mereka kebingungan dan kelihatan tolol, kok bisa? Kalau ada Tentara dan Polisi tawuran, tempat suci dipakai untuk transaksi mesum, siswa-siswi SMA bikin video porno, semua kalang-kabut ngomong moral dan norma, kemudian bikin polisi tidur, dan kemudian ditinggal tidur.
Penjajahan Orde Baru selama 32 tahun, makin meneguhkan Indonesia sebagai bangsa yang inferior, sering menganggap bangsa luhur, tapi tak tahu yang mana yang luhur, dan tak mampu mendiskusikannya. Pokoknya luhur ya luhur. Bangsa pokoknya. Buktinya, begitu Soeharto longsor, reformasi tidak menghasilkan apa-apa, kecuali pergantian penguasa, dan selalu hasilnya lebih buruk.
Para Pastor, Pidada, Ulama, Pendeta, Kyai, dan siapapun pemegang otoritas keagamaan dan pendidikan, akhirnya juga tidak memberi ruang alternatif yang operated. Mereka turut pula membangun polisi tidur di mana-mana. Kalau ada pendosa, langsung dimasukkan ke neraka. Bikin rambu-rambu yang tak boleh dilanggar. Tapi kalau ada pertarungan antarumat beragama, mereka kebingungan dan kelihatan tolol, kok bisa? Kalau ada Tentara dan Polisi tawuran, tempat suci dipakai untuk transaksi mesum, siswa-siswi SMA bikin video porno, semua kalang-kabut ngomong moral dan norma, kemudian bikin polisi tidur, dan kemudian ditinggal tidur.
Penjajahan Orde Baru selama 32 tahun, makin meneguhkan Indonesia sebagai bangsa yang inferior, sering menganggap bangsa luhur, tapi tak tahu yang mana yang luhur, dan tak mampu mendiskusikannya. Pokoknya luhur ya luhur. Bangsa pokoknya. Buktinya, begitu Soeharto longsor, reformasi tidak menghasilkan apa-apa, kecuali pergantian penguasa, dan selalu hasilnya lebih buruk.
Jika ada yang mengatakan bahwa
jaman Soeharto lebih baik dari yang sekarang (dengan memajang poster wajah ‘the
smilling general’ itu, “Piye, luwih enak jamanku, to?”), ini pandangan
menyesatkan. Karena semua tatanan sudah dirusak olehnya, dan kini kita tinggal
mewarisi kerusakan-kerusakan di berbagai bidang yang butuh waktu lama untuk
memperbaikinya. Karena Soeharto pula, lahir generasi seperti SBY, yang kelihatan
pintar secara formal, namun tidak esensinya.
Orang disuruh menjadi baik,
tetapi bagaimana cara menjadi baik itu? Entah, tidak tahu, terserah saja, atau
harusnya kalian tiba-tiba menjadi baik begitu saja, tanpa ba-bi-bu. Hidup
seolah sulapan, seperti banyak terjadi di negeri ini. Hanya karena dia kaya,
cantik, tampan, beragama, tiba-tiba bisa menjadi caleg, bupati, gubernur,
presiden, dan tahu-tahu korupsi. Dan kita terkaget-kaget, tidak percaya, dan
balik mengatakan “itu fitnah”.
Tiap pagi ada acara agama di televisi,
tapi moral bangsa makin hancur, kenapa? Ya tentu saja, acara itu tiap pagi ada
karena menguntungkan secara bisnis program, yang pasang iklan bayar dengan
duit, dan para penceramahnya juga dapat honor duit. Tak ada urusan dengan sorga
neraka, tapi itu profesi, sama seperti profesi tukang becak, atau konsultan
bisnis. Tak ada pengisi program agama yang miskin, mereka kebanyakan kaya-raya
dan hidup bak selebritas juga.
Ada kementerian pendidikan
nasional dan ada kementerian agama, tapi apakah kita menjadi bangsa yang makin
terdidik dan beragama? Itu semua hanyalah bukti-bukti, bagaimana kita lebih
sibuk dengan pandangan normatif sebagai mantra. Bukan sebagai kata kerja yang
bisa dijabarkan, menjadi cara atau jalan menuju ke kebaikan dan kebenaran.
Dengan membangun polisi tidur, kita sudah merasa benar, karena orang yang
ngebut tidak akan ngebut. Lha, yang tidak ngebut?
Hancurkan polisi tidur itu, bangunkan kesadaran untuk berdialog, berdiskusi, bernegosiasi, berdebat, bahkan pada akhirnya menghargai perbedaan pendapat. Itu kalau kita ingin 10-20 tahun lagi kita bisa menghasilkan presiden yang jauh lebih baik, dari presiden yang sekarang, maupun para capres 2014!
Hancurkan polisi tidur itu, bangunkan kesadaran untuk berdialog, berdiskusi, bernegosiasi, berdebat, bahkan pada akhirnya menghargai perbedaan pendapat. Itu kalau kita ingin 10-20 tahun lagi kita bisa menghasilkan presiden yang jauh lebih baik, dari presiden yang sekarang, maupun para capres 2014!
Kamis, Maret 07, 2013
Leo Kristi dan Religiositas Lintas Batas
Leo Imam Soekarno, 64 , tentu sangat dikenal oleh para fanatikus Konser Rakyat Leo Kristi, nama sebuah grup musik yang berada di luar mainstream industri musik kita.
Pernah satu grup dengan Franky Sahilatua dan Gombloh, dalam awal perjalanan musiknya, Leo kemudian menyebal dan benar-benar sebagai sang traubador. Mendirikan grup Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK) pada 1973. Ia bukan hanya berjalan dari kota ke kota, melainkan keluar masuk kampung, dan juga hutan, bahkan di pelosok yag sunyi sampai ke Makasar, Bandung, Yogya, Bali, kemudian Jakarta dan tentunya antero Surabaya.
Bukan untuk berpentas, melainkan lebih banyak untuk menyerap energi alam dan kehidupan. Dan dari sana, lahir lagu-lagunya yang sangat kuat dalam bertutur. Bukan hanya dengan alat musiknya, atau pun dengan syair-syairnya, melainkan dengan perkawinan yang liat keduanya, sampai cara memainkan gitar atau pun menyanyikannya.
Hal yang menarik dari Leo Imam Soekarno, lahir di Surabaya 8 Agustus 1949, religiositas sosialnya sangat kuat. Religiositas sosial? Yah, karena tema agama dalam semua lagu KRLK, meski kadang dengan pengucapan verbal, namun tetap terjaga dalam nuansa religi yang bersifat universal, religi yang tercerminkan dalam hidup keseharian, praksis kemanusiaan, hablumminannash, bukan bersibuk menghitung pahala dan sorga pada Tuhan.
Dalam lagu KRLK, kita bisa menikmati doa seorang Hindu, suara adzan, atau pun dentang lonceng gereja. Koor-koor Georgiannya sangat menggetarkan, menunjukkan kesuntukannya dalam pergulatan musikalitasnya.
Ia sendiri seorang Islam KTP yang baik (bagi kaum Wahabi tentu saja jelek!), beristeri seorang Hindu. Tetapi lagu-lagunya mampu menohokkan nuansa keagamaan yang kuat. Dalam Nyanyian Maria, Baptis Theresia, Sillhouette Kathedral Tua, atau pada Layar Asmara, Anna Rebana, Bedil Sepuluh Dua,..., Beludru Sutera Dusunku, Bra Bra Desember, Sitti Komariah Ikal Mayang, SASL (Solus Agreti Suprema Lexest),... ia merambah lintas agama, dan itu sangat mengesankan di tengah kekeraskepalaan kita yang makin terkotak-kotak.
Menikmati musik KRLK, saya merasa tidak menyesal ketika dulu, tahun 1976 waktu masih kelas dua SMP, menipu orangtua minta uang untuk beli buku, padahal sejatinya untuk beli kaset Nyanyian Fajar, yang waktu itu harganya Rp 350,00! | Sunardian Wirodono, 4 Maret 2013
Raffi Ahmad, Pahlawan Narkoba atau Sapi Perah
Di
Indonesia, yang disangkakan penjahat tiba-tiba bisa dibela seolah-olah
pahlawan. Dan media, sebagai pihak yang mengaku selalu netral, selalu
juga menampilkan bakat oportunistiknya, memanfaatkan situasi demi keuntungan kepentingan mereka sendiri.
Contoh paling mudah, setelah dijadikan tersangka oleh KPK, Arnas Urbaningrum tiba-tiba dibela yang lainnya seolah pahlawan pembela kebenaran. Dan media mau saja menjadi media gratisan, karena mendapat durian runtuh.
Setelah dicokok oleh BNN dan hendak direhabilitasi, Raffi Ahmad tiba-tiba (setelah munculnya Hotma Sitompul), didukung puluhan pemujanya, dan menuding BNN melakukan konspirasi (tapi apa mereka mengenai hal ini?). Mereka menuntut Raffy Ahmad dibebaskan dari rehabilitasi. Hotma menyeret-nyeret Amy Qanita, ibu Raffi memamerkan tangisnya di depan anggota DPR. Dan Hotma menuding BNN tidak tahu hukum karena menolak menghadirkan Raffi dalam persidangan praperadilan. Bahkan Luna Maya pun ikut berdemo membela Raffi Ahmad. Wah, sudah jadi pejuang pembela HAM nih!
Tiba-tiba, muncul salinan percakapan antara Yuni Shara dengan seorang anggota BNN di Malang, soal rencana penggerebekan pesta narkoba di rumah Raffi. Tapi, persis omongan Anas, semua hal itu khas masyarakat gossip, tak ada referensi, tak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana Yuni Shara bisa terseret dalam kasus ini? Selalu ada kambing hitam untuk blufing dan teater hukum bagi mereka yang punya dan menghamba pada duit. Masyarakat percaya teater informasi ini, tanpa harus bertanya, otentisitas rekaman percakapan itu dan apa bukti yang valid dipertanggungajawabkan? Hotma dengan pinter langsung memuter taktik, "Saya tidak tertarik menanggapi gossip itu,..." Lempar batu sembunyi tangan. Bangun opini dan kemudian tusuk dari depan.
Di kalangan artis, semua orang sudah tahu siapa Raffi Ahmad. Tapi di depan media, semua mereka ngomong tak tahu-menahu dan membela-bela Raffi sebagai anak baik. BNN sendiri, menurut laporan masyarakat, sudah memburu Raffi Ahmad dalam waktu yang cukup lama.
Raffi Ahmad dan narkoba, adalah satu kesatuan yang sederhana saja. Logis. Pembelaan dan pembebasan pada Raffi, bahwa ia tidak terkena dan tidak pesta narkoba, dengan segala upaya hukum dan paranormal, lebih karena melihat Raffi sebagai mesin uang bagi mereka yang berkepentingan. Siapa yang berkepentingan? Tentu saja yang diuntungkan.
Sebelum dicokok BNN, setiap hari syuting program televisi, Raffi bisa menghasilkan uang ratusan juta rupiah. Sebuah program acara daily, Raffi bisa mendapat honor antara Rp 20 juta hingga Rp 50 juta. Belum jika ada acara off-air di luar televisi. Raffi adalah mesin uang yang tiap hari bekerja mungkin lebih dari 24 jam. Tidak lebih mulia dari buruh yang bekerja maksimal dalam sehari tak lebih dari delapan jam.
Ibu Raffi, Amy Qanita selalu mengatakan, ia mengontrol terus Raffi tiap jam. Sementara 24 jam Raffi bekerja penuh dan berada di lapangan. Dan ibunya, lebih sering berada di tempat lain, terlihat muda, cantik, dengan pakaian yang menunjukkan kelas sosialita sebagai ibu-ibu dari para selebritas remaja. Bagaimana bisa mengontrol Raffi tiap saat? Nonsens banget. Raffi di sana, ibunya di sono.
Pola kerja Raffi dan juga para artis populer dalam industri hiburan kita, sangat tidak manusiawi. Hukum eksploitasi, membuat artis terkondisikan begitu rupa. Kedekatan Raffi dengan narkoba, adalah kausalitas wajar. Bekerja tak kenal jadwal, honor gede, dan lingkaran hedonistik yang melingkunginya dengan berbagai previlege. Karena ia harus kerja keras tak kenal waktu, maka dia harus dikondisikan bugar terus. Tubuh adalah mesin, karena itu sebagai mesin butuh bensin, olie dan tetek-mbengek asupan lainnya. Untuk apa? Untuk perputaran duit itu sendiri. Penikmatnya, dalam hal ini, sering bukan artis pelaku, tetapi orang di sekitar yang mengeksploitasi atau memanfaatkannya. Sementara, sang artis bisa menjadi boneka atau mesin uang yang diletakkan dalam kehidupan yang semu, dunia bawah tanah dan penuh halusinasi. Sampai di sini, mereka pahlawan atau sapi perah? Tergantung cara kita memandang.
Raffi direhabilitasi, atau dikarantina, artinya hilang waktunya untuk syuting atau bekerja. Artinya apa? Seperti pabrik libur produksi, maka pasti akan mengalami kerugian. Siapa yang dirugikan? Mereka yang berteriak paling keras, mesti didengar cermat, apa alasan sesungguhnya. Kenapa Raffi harus segera syuting dan bekerja lagi? Pentingkah syuting Raffi? Begitu mendesakkah, atau apakah remaja Indonesia akan menjadi tidak produktif kalau Raffi tidak syuting?
Dunia bintang adalah dunia yang datang dan pergi. Semua orang akan dieksploitasi. Raffi juga akan disingkirkan begitu masyarakat telah mencapnya jelek. Itu sebabnya, para yang berkepentingan atas rapi membangun opini, bahwa Raffi korban konspirasi BNN. Soal dia menggunakan narkoba? Itu fitnah katanya.
Di Indonesia, sebagai penganut filsafat pragmatisme yang paling akut, kepentingan adalah tema utamanya. Mau pahlawan atau sapi perah, itu sudut pandang yang akan menentukan. Dan sudut pandang, selalu karena kepentingan. Sebagaimana pepatah sesama muslim bersaudara, maka ada juga istilah sesama Batak pun bersaudara, kecuali klien-nya berbeda.
Selamat pagi dan malam selalu, Indonesia Raya!
Contoh paling mudah, setelah dijadikan tersangka oleh KPK, Arnas Urbaningrum tiba-tiba dibela yang lainnya seolah pahlawan pembela kebenaran. Dan media mau saja menjadi media gratisan, karena mendapat durian runtuh.
Setelah dicokok oleh BNN dan hendak direhabilitasi, Raffi Ahmad tiba-tiba (setelah munculnya Hotma Sitompul), didukung puluhan pemujanya, dan menuding BNN melakukan konspirasi (tapi apa mereka mengenai hal ini?). Mereka menuntut Raffy Ahmad dibebaskan dari rehabilitasi. Hotma menyeret-nyeret Amy Qanita, ibu Raffi memamerkan tangisnya di depan anggota DPR. Dan Hotma menuding BNN tidak tahu hukum karena menolak menghadirkan Raffi dalam persidangan praperadilan. Bahkan Luna Maya pun ikut berdemo membela Raffi Ahmad. Wah, sudah jadi pejuang pembela HAM nih!
Tiba-tiba, muncul salinan percakapan antara Yuni Shara dengan seorang anggota BNN di Malang, soal rencana penggerebekan pesta narkoba di rumah Raffi. Tapi, persis omongan Anas, semua hal itu khas masyarakat gossip, tak ada referensi, tak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana Yuni Shara bisa terseret dalam kasus ini? Selalu ada kambing hitam untuk blufing dan teater hukum bagi mereka yang punya dan menghamba pada duit. Masyarakat percaya teater informasi ini, tanpa harus bertanya, otentisitas rekaman percakapan itu dan apa bukti yang valid dipertanggungajawabkan? Hotma dengan pinter langsung memuter taktik, "Saya tidak tertarik menanggapi gossip itu,..." Lempar batu sembunyi tangan. Bangun opini dan kemudian tusuk dari depan.
Di kalangan artis, semua orang sudah tahu siapa Raffi Ahmad. Tapi di depan media, semua mereka ngomong tak tahu-menahu dan membela-bela Raffi sebagai anak baik. BNN sendiri, menurut laporan masyarakat, sudah memburu Raffi Ahmad dalam waktu yang cukup lama.
Raffi Ahmad dan narkoba, adalah satu kesatuan yang sederhana saja. Logis. Pembelaan dan pembebasan pada Raffi, bahwa ia tidak terkena dan tidak pesta narkoba, dengan segala upaya hukum dan paranormal, lebih karena melihat Raffi sebagai mesin uang bagi mereka yang berkepentingan. Siapa yang berkepentingan? Tentu saja yang diuntungkan.
Sebelum dicokok BNN, setiap hari syuting program televisi, Raffi bisa menghasilkan uang ratusan juta rupiah. Sebuah program acara daily, Raffi bisa mendapat honor antara Rp 20 juta hingga Rp 50 juta. Belum jika ada acara off-air di luar televisi. Raffi adalah mesin uang yang tiap hari bekerja mungkin lebih dari 24 jam. Tidak lebih mulia dari buruh yang bekerja maksimal dalam sehari tak lebih dari delapan jam.
Ibu Raffi, Amy Qanita selalu mengatakan, ia mengontrol terus Raffi tiap jam. Sementara 24 jam Raffi bekerja penuh dan berada di lapangan. Dan ibunya, lebih sering berada di tempat lain, terlihat muda, cantik, dengan pakaian yang menunjukkan kelas sosialita sebagai ibu-ibu dari para selebritas remaja. Bagaimana bisa mengontrol Raffi tiap saat? Nonsens banget. Raffi di sana, ibunya di sono.
Pola kerja Raffi dan juga para artis populer dalam industri hiburan kita, sangat tidak manusiawi. Hukum eksploitasi, membuat artis terkondisikan begitu rupa. Kedekatan Raffi dengan narkoba, adalah kausalitas wajar. Bekerja tak kenal jadwal, honor gede, dan lingkaran hedonistik yang melingkunginya dengan berbagai previlege. Karena ia harus kerja keras tak kenal waktu, maka dia harus dikondisikan bugar terus. Tubuh adalah mesin, karena itu sebagai mesin butuh bensin, olie dan tetek-mbengek asupan lainnya. Untuk apa? Untuk perputaran duit itu sendiri. Penikmatnya, dalam hal ini, sering bukan artis pelaku, tetapi orang di sekitar yang mengeksploitasi atau memanfaatkannya. Sementara, sang artis bisa menjadi boneka atau mesin uang yang diletakkan dalam kehidupan yang semu, dunia bawah tanah dan penuh halusinasi. Sampai di sini, mereka pahlawan atau sapi perah? Tergantung cara kita memandang.
Raffi direhabilitasi, atau dikarantina, artinya hilang waktunya untuk syuting atau bekerja. Artinya apa? Seperti pabrik libur produksi, maka pasti akan mengalami kerugian. Siapa yang dirugikan? Mereka yang berteriak paling keras, mesti didengar cermat, apa alasan sesungguhnya. Kenapa Raffi harus segera syuting dan bekerja lagi? Pentingkah syuting Raffi? Begitu mendesakkah, atau apakah remaja Indonesia akan menjadi tidak produktif kalau Raffi tidak syuting?
Dunia bintang adalah dunia yang datang dan pergi. Semua orang akan dieksploitasi. Raffi juga akan disingkirkan begitu masyarakat telah mencapnya jelek. Itu sebabnya, para yang berkepentingan atas rapi membangun opini, bahwa Raffi korban konspirasi BNN. Soal dia menggunakan narkoba? Itu fitnah katanya.
Di Indonesia, sebagai penganut filsafat pragmatisme yang paling akut, kepentingan adalah tema utamanya. Mau pahlawan atau sapi perah, itu sudut pandang yang akan menentukan. Dan sudut pandang, selalu karena kepentingan. Sebagaimana pepatah sesama muslim bersaudara, maka ada juga istilah sesama Batak pun bersaudara, kecuali klien-nya berbeda.
Selamat pagi dan malam selalu, Indonesia Raya!
PDI Perjuangan Akan Rontok dalam Pilkada Jawa Tengah
Setelah kekalahan
Rieke Dyah Pitaloka di Jawa Barat dan Efendy Simbolan di Sumatera Utara,
keduanya dikalahkan PKS dalam pemilihan kepala daerah, nasib yang sama
kemungkinan besar juga akan terjadi di Jawa Tengah.
Penentuan cagub-cawagub yang dilakukan PDI Perjuangan di
detik-detik terakhir dalam pendaftaran pilgub Jateng kemarin, PDIP bukan saja
mengunci kesempatan parpol lain, melainkan juga dengan dingin “membuang”
Rustriningsih. Mekanisme politik kepartaian, yang dikuasai oligarki dan elite
partai menunjukkan, bahwa parpol Indonesia memang hanya permainan orang pusat.
Tak ada hubungannya dengan rakyat.
Kenapa Rustriningsih yang jauh lebih mengakar di Jateng dan
kader PDIP murni bisa dikalahkan oleh Ganjar Pranowo, anggota DPR-RI dari
Jakarta (meski kelahiran Kutoarjo dan kader PDIP juga)? Bisa dipastikan, karena
Rustriningsih meski memiliki karakteristik seperti Jokowi, tetapi dianggap
kurang santun dan kaku bagi orang partai dan orang pusat. Posisinya dianggap
berbahaya karena dianggap lebih suka one woman show dan tidak mempertimbangkan
partai (ini pastilah alasan yang dibuat kelompok yang hendak menyingkirkan
Rustriningsih).
Padahal, dilihat dari elektabilitas di daerah, Ganjar
Pranowo yang lebih sibuk di parlemen Jakartra, bukanlah sosok yang dikenal luas
di Jateng. Tidak sebagaimana Rustriningsih yang sejak menjabat Bupati Kebumen
dan kemudian wakil gubernur Jateng, lebih siap menghadapi pilkada ini daripada
Ganjar Pranowo.
Apa yang mau diraih PDIP dengan model politik transaksional
di pucuk pimpinan ini? Kekalahan demi kekalahan. Setelah Rieke, Efendi, maka
Ganjar pun kemungkinan besar bisa juga akan keok. Lagi-lagi, mungkin oleh PKS
(yang berkoalisi dengan partai menengah lainnya) yang mengusung Hadiprabowo dan
Don Murdono, yang dua-duanya pun sebenarnya berharap akan dicalon lewat PDIP.
Untuk PDIP tampaknya berlaku adagium satu burung ditangan
lebih baik daripada burung-burung beterbangan. Padahal, memegang Ganjar Pranowo
dan melepas tiga kandidat lainnya, akan membawa PDIP dalam blunder. Apalagi,
proses yang terjadi lebih bersifat transaksional, dan bukan proses dialog yang
jernih. Partai Wong Cilik ini, memang sudah lama menjadi Partai Mbak Mega. Dan
ia tinggal memunguti kerontokan politiknya.
Jika saja PDIP tidak memaksakan politik “zero zone game”,
dengan masih memberi ruang munculnya kandidat lain, agar kompetisi terbuka dan
menarik, Rustriningsih (dengan Garin Nugroho, misalnya), pasti akan menjadi
kuda-hitam yang penting via jalur independen, untuk memberi otokritik pada kaum
oligarkis partai. Sayangnya, Mbak Mega sudah terlalu tebal telinganya, sejak
lama.
Teknik ulur waktu penetapan cagub dan pendaftaran di akhir
waktu itu, sengaja dimainkan PDIP untuk mengunci agar Rustriningsih tidak maju
dengan kendaraan parpol lain, atau menjadi cagub lewat jalur independen.
Padahal, jika Rustriningsih menjadi cagub dan Garin Nugroho menjadi cawagub, akan
dengan mudah menggulung kompetitor cagub lainnya. Ini ramalan politik, yang
sayangnya PDIP tak berani membuka ruang kompetisi itu.
Karena ketakutan itu, PDIP sebagai partai politik,
mengingkari dan menutup proses rekrutmen politik para calon pemimpin sipil
secara terbuka. Mereka sengaja mengulur waktu, dan melakukan pembunuhan
karakter yang menjijikkan.
Dan mereka akan mendapatkan imbal baliknya, secara lebih
menyakitkan, karena ini terjadi di lumbung suara mereka. Satu-satunya daerah di
mana PDIP bisa menggapai kemenangan mutlak, sedang menyiapkan kerandanya.
Selasa, Maret 05, 2013
Kebohongan yang Beranak Pinak
Meski tidak jelas jenis kelaminnya, kebohongan bisa beranak-pinak. Bahkan bisa berkembang-biak dengan sangat cepatnya. Apalagi, kalau kebohongan itu lahir dari rasa marah, tidak mau mengakui kesalahan, tidak mau berhenti sejenak, diam memikirkan. Maka, semuanya akan salang tunjang, saling menunjang, dan membuat mulut Anda akan terseret ke mana-mana.
Semuanya, hanya karena gengsi yang ditaruh terlalu tinggi, atau kekeraskepalaan yang dalam psikologi negatif, menjadi kebanggaan tersendiri. Orang-orang seperti ini, menaruh dirinya pada sebuah tungku yang menyala, dan ia akan lumer karenanya.
Ketidakmampuan mengelola pikiran dan perasaan, adalah ciri mereka yang tidak bisa mengatur keseimbangan diri. Akibat lebih jauh dari hal ini, ibarat layang-layang dengan benang putus, ia terombang-ambing oleh badai kerusuhan hatinya. Dan ia akan terhempas atau nyangkut di reranting pohon atau kawat jaringan listrik dan telpon.
Selalu dan selalu, orang-orang seperti ini akan balik menyerang sekiranya dirinya disuruh untuk mengingat, apa saja yang dijanjikan dan kemudian dilakukan. Salah satu ciri paling khas, dengan mengenakan tehnik blufing atau pengalihan perhatian.
Jika sudah demikian halnya, apa yang bisa kita dapatkan dari pribadi semacam ini? Tidak ada lagi logika dan hati, karena hanya akan sampai pada debat kusir, tetapi ia merasa paling benar dan sama sekali tidak bersalah.
Maka, ketika kemarahan semakin memuncak, semakin tak bisa lagi ia mengendalikan diri. Dan ia mengatakan apa saja, tanpa peduli apakah yang ia omongkan benar atau tidak, karena itu sudah tidak penting lagi. Perdebatan kemudian akan beralih pada adu otot, siapa yang tak tahu malu dia yang akan terus menyerang. Meski pun kita tahu, kelemahan orang seperti itu, sangat lemah dalam logika dan konsistensi rendah.
Dan dia akan mengubur jiwanya lebih dalam lagi, dalam kesengsaraan yang dipilihnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...