Mobil listrik Ferrarri Dahlan Iskan yang remuk-redam. |
Ki Manteb Sudarsana mengatakan bahwa ritual tolak bala yang dilakukannya, adalah untuk keselamatan Dahlan Iskan. Menyingkirkan gangguan yang bisa membahayakan pribadi Dahlan Iskan. Doa keselamatan itu katanya untuk benda hidup bukan untuk benda mati. Karena menurut orang yang disebut Dalang Setan ini, "Meski pun didoakan berkali-kali, tapi kalau ada kerusakan teknis, ya tetap saja rusak." Tapi, saudara, jangan tanyakan pada saya, jika yang dimaksudkan seperti itu, kenapa yang dimandikan dengan air dari empat penjuru Sala itu mobilnya Dahlan Iskan? Kok bukan Dahan Iskannya yang dimandikan? Toh post-factum manusia masih bisa berkilah, "Manusia berusaha, Tuhan menentukan!"
Lepas dari kontroversi tersebut, kita memang bangsa yang penuh paradoks namun dengan cepat bisa mencari alasan dan logikanya. Mobil listrik sebagai pencapaian teknologi masa depan, pada akhirnya masih membutuhkan sentuhan tradisi, dengan mengundang Ki Manteb Sudarsana yang konon sehari sebelumnya puasa penuh untuk ritual tolak bala itu. Penggabungan dua hal itu khas Indonesia. Kita juga masih ingat, bagaimana dulu Soeharto melakukan pecah kendi untuk memandikan pesawat terbang buatan IPTN. Demikian juga ketika SBY hendak meluncurkan energi biru, sumber energi dari bahan baku air biasa (sebagai pengganti bensin) dengan ritual tertentu. Dan ketiga-tiganya, tidak berjalan mulus. Mobil listrik Dahlan Iskan nabrak karena rem blong. Pesawat Terbang IPTN mangkrak karena perubahan politik. Bensin dari air mineral, ini sama sekali tak ada kabarnya.
Bukan hanya mereka sesungguhnya, Jokowi pun ketika masih jadi walikota Solo, ketika meluncurkan mobil Esemka ke Jakarta, dalam rangka uji emisi, juga memakai ritual membasuh mobil dengan air kendi. Dan hasilnya waktu itu, uji emisi pertama gagal. Meski uji emisi kedua berhasil, namun industri mobil Esemka mengalami kendala tak adanya dukungan politik (dan ekonomi) pemerintahan SBY.
Antara gagasan dan capaian, sesungguhnya bukan sesuatu yang berjarak. Doa, harapan (mau dengan ritual atau tidak), tentu bolah-boleh saja sebagai bangsa yang religius. Namun, Tuhan sendiri sudah mengingatkan kita, bahwa segala sesuatu dikembalikan pada bagaimana upaya manusia mencapainya. Artinya, tetap saja antara gagasan dan pencapaian diperlukan proses perjuangan yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis yang presisi atau mumpuni.
Dalam hal terakhir ini, bangsa ini sering abai, karena pemerintah juga tak punya gagasan untuk pencapaian sebagai bangsa yang terdidik dan terlatih. Soeharto selama 30 tahun telah memaksa kita sebagai bangsa yang pragmatis, lebih menekankan pada filsafat kepentingan dan kemanfaatan, management by product, yang antara lain outputnya menjadikan bangsa ini lebih sebagai masyarakat konsumsi. Sementara dengan management by process, negara-negara kawasan Asia yang dulu masih tertinggal dibanding Indonesia, telah mampu dan melampaui menjadi negara berbasis produksi dan kinerja.
Akibatnya? Bahkan untuk urusan sepakbola saja, negara dengan 200 juta lebih penduduknya ini, tidak meyakinkan. Tapi, sungguh, kita tidak memerlukan Dalang Setan untuk meruwat bangsa dan negara ini. Kita butuh kesadaran baru, generasi baru, yang berbeda dengan kualitas serta tingkah para elite kita, baik yang di jajaran pemerintahan, dan apalagi di Senayan. Mereka sudah out of date.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar