MUI-P, Majelis Unyu-unyu Indonesia Perjuangan,
mempunyai problem baru akan hal fatwa yang barusan dikeluarkan. Masalahnya
bukan soal ngangkang dan tidak ngangkang. Lebih jauh lagi, soalnya adalah
apakah jenis kelamin sepeda motor laki-laki boleh dinaiki (baik nggonceng atau
mengemudikan) oleh yang berjenis kelamin perempuan? Begitu juga sebaliknya,
apakah sepeda motor perempuan (jenis bebek itu), boleh dinaiki oleh kaum
lelaki? Masalahnya, mereka bukan muhrimnya. Ini bisa mengundang perbuatan tak
senonoh.
Repotnya, kalau sepeda motor berjenis kelamin
perempuan juga dinaiki kaum perempuan, sementara sepeda motor laki-laki dinaiki
oleh laki-laki, bagaimana hukumnya? Adakah berarti para Unyu-unyu melegalkan
hubungan sejenis? Bukankah itu juga aib, tabu, larangan, pamali?
Persoalannya, memang agak repot mencari dalil
apakah boleh mengawinkan antara sepeda motor dengan manusia? Ini mengundang
perdebatan yang tak perlu. Lagian, bagaimana dengan jenis sepeda motor yang tak
jelas kelaminnya, yakni model-model sepeda motor yang lelaki bukan perempuan
juga bukan (kayak Satria FU itu). Masih butuh pendalaman.
Maka setelah melakukan perdebatan panjang,
Majelis Unyu-unyu merekomendasikan pada pabrik-pabrik sepeda motor, untuk
membuat prototype yang sesuai dengan kaidah perunyu-unyuan. Majelis Unyu-unyu
Indonesia juga mengingatkan, pabrik sepeda motor yang tidak sesuai akidah
unyu-unyu, tidak akan mendapat sertifikat halal. Kalau sepeda motor itu haram,
artinya onderdilnya halal disembelih (dan bisa langsung dijual protholan atau
kiloan ke pasar klithikan).
Keputusan sementara, para lelaki dan perempuan yang berhasrat
naik atau menggonceng sepeda motor, apapun jenis kelamin kendaraannya, mohon
tidak dinaiki dulu. Meski mesin boleh dihidupkan, tapi disarankan sepeda motor
itu dituntun saja. Itu lebih aman dan terhindar dari gibah. Lebih disarankan
lagi, sepeda motor itu dituntun dalam kondisi mesin mati, itu lebih hemat
energi 'kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar