Saan Mustofa dari
Demokrat, mengatakan SBY lebih dulu blusukan, demikian pula Partai Demokrat
mengatakan SBY sudah blusukan mulai 2004. Hal itu terkait pendapat yang
beredar, bahwa SBY meniru gaya blusukan Jokowi. Sementara, Jokowi, Gubernur DKI
Jakarta, mengatakan bahwa SBY sudah blusukan sejak dulu, tidak meniru dirinya.
Puas?
Meskipun perdebatan ini terlihat ecek-ecek, dan
agak menjijikkan, tapi justeru memang tampak, bahwa kualitas kepemimpinan
Jokowi berada di atas SBY. Para cocomeo di sekitar SBY terlihat hanya semakin
memerosotkan citraan SBY. Dari ngotot soal siapa lebih dulu, orang-orang
Demokrat tak bisa menutupi politik pencitraan itu.
Apakah politik pencitraan jelek? Dalam
komunikasi politik tentu tidak. Tapi masalahnya, cara berkomunikasi yang buruk
justeru makin memperburuk citra yang hendak diraih. Personalitas Jokowi yang
humbel dan tanpa pretensi, sekali lagi menohok SBY. Tahun lalu, dalam Pilkada
DKI, perintah SBY pada Sutiyoso untuk memenangkan Foke, juga dipatahkan
dukungan pemilih Jakarta pada Jokowi.
Tentu saja tulisan ini tak hendak mengajak orang
Demokrat belajar berpolitik dari Jokowi. Bisa ngamuk mereka, dan mengatakan
bahwa mereka sudah belajar politik sebelum Jokowi lahir. Tapi berpolitik dengan
kesantunan dan ketulusan, akan bisa terasakan (bukan sekedar terlihat) oleh
rakyatnya. Dalam soal personalitas, SBY kalah pamor dengan Jokowi.
Apakah tulisan ini mendorong Jokowi untuk
menjadi capres? Tidak. Jokowi-Ahok sangat diperlukan untuk Jakarta sebagai
Ibukota Negara Republik Indonesia. Dan masyarakat Jakarta bisa membantunya,
dengan cara mengawasi DPRD-DKI yang mengaku-aku sebagai wakil rakyat Jakarta.
Soal capres 2014? Kalau rakyat Indonesia bisa menghasilkan wakil
rakyat yang bermutu (artinya yang tidak bermutu tidak dipilih), kita tak perlu
khawatir siapa presidennya. Presiden yang buruk masih bisa dibenahi dari
parlemen yang baik. Tapi dengan parlemen yang buruk, presiden yang baik tidak
bisa bekerja maksimal, apalagi presiden yang buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar