Pada Minggu pagi (27/1/2013) jam 05.00, para petugas BNN (Badan Nasional Narkotika) mulai menyatroni rumah Raffi Ahmad di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Konon menurut intaian mereka, selama hampir tiga bulan dan juga laporan masyarakat sekitar, rumah itu sering dipakai untuk pesta dari malam hingga pagi hari.
Dan demikian yang terjadi kemudian, seperti dilansir banyak media, ada 17 orang ditangkap BNN dan diperiksa. Beberapa nama beken di samping Raffi Ahmad, juga terdapat Wanda Hamidah (mantan model, dan kini politikus anggota DPRD DKI fraksi PAN), Irwansyah serta isterinya Zaskia Sungkar. Para petugas membutuhkan waktu cukup lama untuk mengetahui siapa yang positif menggunakan narkoba atau bukan.
Untuk test urine narkoba, sebenarnya hanya berlangsung kurang lima menit. Namun BNN dalam kasus test urine Raffi Ahmad cs., (27/1/2013) membutuhkan waktu dua jam lebih. Dan hasilnya, dari 17 orang itu, hanya lima orang yang positif menggunakan narkoba. Dari ke-limanya itu, tak ada nama artist, seperti misalnya Raffi Ahmad, Wanda Hamidah (sebenarnya bukan artis lagi, tapi politikus, anggota DPRD DKI dari PAN). Nama Irwansyah dan isterinya, Zaskia Sungkar (anak Mark Sungkar), juga tidak terindikasi sebagai pemakai. Mungkin mereka cuma mampir ngombe, ngombe teh misalnya. Sementara itu, BNN konon mengatakan sebelumnya, mereka telah "mengincar" Raffi Ahmad hampir selama tiga bulan.
Ada yang janggal? Dua hal, yakni lamanya test urine berlangsung, dan Raffi yang tidak terindikasi narkoba sementara sudah tiga bulan diburu. Kalau masing-masing orang butuh 5 menit pemeriksaan, maka 5 menit kali 17 orang adalah 85 menit. Tetapi BNN ternyata butuh waktu mengumumkan lebih dari dua jam yang dijanjikan. Terlalu bodohkah BNN atau terlalu pintarkah? Orang-orang awam menuding, itu karena proses tawar-menawar yang menyebabkan lama. Maukah BNN memakai second opinion?
Memang dalam kasus itu, BNN bisa mengatakan "bisa terjadi orang berada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah", artinya, hanya orang sial yang tidak terlibat dalam peristiwa itu (jumlah orang sial itu mencapai 12 orang, karena hanya 5 orang terbukti mengkonsumsi narkoba). Benarkah? Bisa saja. Tapi bagaimana logikanya, dan menjelaskannya? Berjalan di tanah yang rata saja orang bisa jatuh tersandung, apalagi berjalan di pinggir jurang. Apa yang dicari Wanda Hamidah di rumah Raffi, membujuk Raffi menjadi caleg PAN? Pada hari apa, jam berapa semua peristiwa itu terjadi, dari sejak malam hingga lewat subuh hari berikutnya?
Apa pun data dan cerita fakta yang mau disodorkan oleh siapa pun tentang mereka, masyarakat bukan hanya merasa tahu apa yang terjadi, namun juga mereka telah memvonis tidak berdasarkan fakta kejadian dan fakta hukum. Masyarakat mempunyai logikanya tersendiri yang dinamakan realitas dan idealitas imajiner, yang itu terbangun karena psikologisme mereka yang apatis, sinistic, dan fatalistic.
Akan halnya mereka sebagai public figure, yang katanya selalu diharap memberi teladan kebaikan, tidak relevan dibicarakan di sini. Karena figure public itu tidak paralel dengan upaya-upaya kemuliaan yang dicapai dan dilalui untuk mendapatkan semua itu.
Sama tidak relevannya misalnya mengharap Olga, atau Sule, atau Nunung, atau Raffi Ahmad, dan siapa saja yang menjadi popular dari media hiburan kita. Karena popularitas dalam gurita bisnis hiburan di Indonesia, tak berkait dengan kualitas personal baik sebagai profesional maupun seorang individu. Dua hal itu tidak bersenyawa.
Yang lebih memukau dari itu semua, keartisan dan popularitas itu adalah pada persoalan akibat ekonominya. Menjadi selebritas itu artinya mudah mendapatkan uang dalam jumlah besar. Dalam satu hari tak sedikit yang bisa mendapatkan puluhan hingga seratusan juta. Dan itu yang juga terjadi pada Raffi Ahmad, yang memegang lebih dari empat program acara TV tiap harinya, serta tambahan main di beberapa sinetron yang disebut FTV. Ini yang lebih mengiurkan dibanding soal lain-lain.
Pola rekrutmen industri hiburan kita, yang tidak mempunyai acuan, tentu tak bisa dipakai sebagai rujukan untuk menyamakan antara popularitas dengan kualitas, idola dengan nilai-nilai intrinsik dan simbolik dari seorang yang memiliki teladan kemuliaan. Apalagi, konon, hanya ada dua kriteria untuk menjadi artis nge-top di (utamanya televisi) Indonesia; yakni cakep banget, atau ancur sekalian. Itu ciri kultur pop, sebagai anak kandung kapitalisme, yang lebih dekat pada eksploitasi daripada eksplorasi kebudayaan.
DUIT YANG BERPUTAR DI TELEVISI | Duit yang berputar di televisi, adalah seolah sebuah bisnis remang-remang sedap, karena kalau dilakukan audit yang ketat, dan berada dalam pengamatan cermat KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), akan tampak bermasalah di situ.
Dunia televisi, bukan sekedar dunia hiburan dengan beragam selebritas sohornya yang gemebyar. Bukan hanya soal gossip dan moralitas sinetron atau artis, melainkan yang lebih mengiurkan, adalah perputaran duit di dalamnya. Televisi bukan hanya menyajikan ketenaran Raffi Ahmad, melainkan Raffi Ahmad juga mendapatkan uang setiap hari mencapai ratusan juta rupiah. Sule bisa jadi milyarder karena tiap hari nongol di OVJ atau berbagai acara hiburan lainnya di televisi.
Hingga bagaimana bisnis ini berkecenderungan melanggar UU entah persaingan usaha (berkait monopoli) atau kebijakan penyiaran, sensor, dengan berbagai bias masalahnya.
Masyarakat mengeluh tentang kualitas sinetron, tetapi kenapa televisi tetap saja belagak pilon, dan pekerja-pekerja sinetron kita pun juga tutup kuping dan mata sembari mengatakan, "Yah, dunia kita bener-bener dunia sinetron sebenarnya,…"
Kita mulai dari sinetron. Seorang pemain bintang (kelas A-B), dalam satu episode 1-2 jam, bisa berkisar 40jt-10jt (sutradara dan apalagi penulis skenario, bisa kalah jauh), untuk figuran, jika tak dipotong calo (bahasa kerennya agency) perhari syuting bisa 50rb + makan, dan jika nasib baik ada jemputan. Berapa honor crew? Tak ada aturan. Bisnis ini, tak punya asosiasi profesi, tak ada organisasi profesi dan tak ada standar profesi. Maka mekanisme yang terjadi, semua orang bisa terdorong seperti sopir taksi, kejar setoran. Harapannya bisa bekerja untuk episode nan tak kunjung habis, syukur striping (tiap hari, seperti Tukang Bubur Naik Haji), atau setidaknya 30-40 episode. Tinggal mengalikan berapa penghasilannya.
Biaya produksi sinetron, antara 100jt-300jt. Harga jual dari PH ke station TV bisa antara 150jt-600jt dengan berbagai klasifikasinya. Dari sini, TV menjual ke pemasang iklan dengan harga 1 spot (per 30 detik) berkisar antara 5jt-25jt, tergantung jam tayang dan station TV-nya. Prime time di TV yang merajai rating, spot iklan bisa berharga 15jt-25jt. Jika ruang iklan tersedia standar minimal (aturan UU adalah 20% dari durasi acara, misal 1 jam maka ruang iklan adalah 12 menit = 24 spot, maka hitungan rata-rata tinggal dikalikan, misal harga spot 15jt x 24 spot = 360jt. Keuntungan tinggal dikurangkan dari berapa harga belinya. Keuntungan akan lebih tinggi, jika station TV melanggar aturan, misal ruang iklan bukan hanya 20%, melainkan bisa sampai 30%-40%, terutama pada acara yang konon ratingnya tinggi, dan itu artinya keuntungan luar biasa.
Perputaran uang di bisnis sinetron ini, membuka persaingan bisnis dengan munculnya anak-anak perusahaan station TV itu sendiri, agar duit berputar ke mereka-mereka juga. Misal, EMTEK sebagai holding membawahi SCTV, Indosiar, O Channel, namun ia juga mendirikan Screenplay, sebagai pemasok sinetron yang sama posisinya dengan SCTV. Untuk posisi itu, Screenplay bisa memonopoli dengan mengisi jam siaran semampunya, mau 24 jam juga boleh (kalau bisa). Mutu tidak mutu, SCTV tak bisa menolak Screenplay karena mereka satu induk. Pola lain, pemilik Station TV menanam saham ke PH, seperti Harry Tanoe (MNC Grup) ke SinemArt misalnya. Atau jika tidak perjanjian bawah tangan seperti MD dengan MNC TV, dan seterusnya. Pada posisi ini, peluang pemain baru, sama sekali tersumbat, kecuali milik bintang yang bisa menyeret iklan, misal PH milik Deddy Mizwar. Dengan ruang jam tayang yang besar, tapi dengan hanya sedikit PH bermain di sana, indikasi monopoli tak terhindarkan. Bagaimana KPPU melihat hal ini? Dan apa akibatnya untuk dunia kreatif dan pengembangannya soal kualitas? Dilema ini sering tak mau didengar.
Untuk acara Non-Drama, seperti Dahsyat atau Idola Cilik, atau Pesbuker, dan sebagainya (yang biasanya diproduksi secara in-house), biaya produksi lebih kecil, maka honor pemain atau host, meski kecil bisa mengiurkan, berkisar antara 10jt-20jt. Jika Raffi Ahmad sehari memegang tiga program, dan itu daily, maka dalam seminggu, bisa kita hitung berapa penghasilannya. Pola kerja mereka, jika merangkap kerjaan, bisa dibayangkan, kerja keras, rutin, underpressure, tapi duit banyak, bisa memunculkan displite di situ. Apalagi dalam pola pergaulan yang permisif dan akomodatif.
Sementara itu, di balik semua kemudahan, ada jebakan maya bernama pergaulan, life-style, yang bukan saja dalam hal fashion, kuliner, tetapi juga perdugeman, sex, narkoba, atau bahkan judi. Karena itu, tak heran kadang ditemui kenyataan ironis, seorang artis terkenal kepepet ngutang, baik karena kalah judi atau sakaw. Meski penghasilan tinggi, pengeluaran untuk pemenuhan gaya hidup mereka, kadang jadi jauh lebih tinggi. Dalam acara para selebritas, semalam menghabiskan ratusan juta konon jadi trend dan ajang adu kekuatan.
Nah, para selebritas yang popular dan jadi mesin uang itu, bekerja dalam situasi yang eksploitatif. Maka duit di sana bisa tak berkait dengan esensi kerja keras. Karena pola rekutmen artist kita juga tak dibimbing oleh nilai-nilai intrinsik dari yang namanya pekerjaan. Fenomena Raffi Ahmad (juga dulu misalnya Olga dalam hal lain), akan terus terjadi, karena dunia hiburan kita yang eksploitatif itu, dengan nilai perputaran duit yang juga tak berhubungan dengan "tanggung jawab media", karena kita tak mempunyai UU yang spesifik mengenai hal ini. KPI dan LSF, hanya aksesoris demokrasi media, yang sama sekali tak bisa mengawal UU Penyiaran 2002.
Pada sisi ini, kita tak pernah mau melihat, bahwa industri hiburan sebenarnya juga punya limbah dan polusi. Baik dampak pada pekerjanya dan terutama impact pada masyarakat penontonnya.
| Sunardian Wirodono, pernah bekerja di stasiun televisi dan production house selama 10 tahun lebih. Menulis buku "Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia" (2006), yang menjadi buku wajib beberapa mahasiswa broadcast di Indonesia.