Sebentar hari lagi, Amerika Serikat akan
menentukan presiden barunya. Apakah masih Obama, atau dimenangkan oleh
penantangnya, Romney.
Adakah pentingnya bagi Indonesia? Bisa ada
bisa tidak, baik berkait dengan Pilpres 2014, atau masalah-masalah geo-politik
dan ekonomi kita.
Tapi, marilah kita baca soal Freeport,
pertambangan emas terbesar di dunia yang ada di Indonesia dengan kuasa AS! Ia terbesar dan termahal, namun termurah
dalam biaya operasionalnya. Sebagian kebesaran dan kemegahan Amerika sekarang,
adalah hasil perampokan resmi mereka atas gunung emas di Papua tersebut.
Freeport juga banyak berjasa bagi
segelintir pejabat negeri ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang
bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini.
They are no better than a leech!
Akhir tahun 1996, sebuah tulisan bagus oleh
Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam
National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah "JFK,
Indonesia, CIA and Freeport", antara lain begini bunyinya, dengan
penggubahan:
Walau dominasi Freeport atas gunung emas di
Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri ini sudah dimulai
beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan,
jika Freeport Sulphur (demikian nama perusahaan itu awalnya), nyaris bangrut
berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.
Saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di
negeri itu dinasionalisasi. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan
pengapalan nikel produksi perdananya, terkena imbasnya. Ketegangan terjadi.
Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya
pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh
ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur
Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo
Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya
menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di
Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun
begitu saja di perpustakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan
penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Van Gruisen bercerita kepada pemimpin
Freeport Sulphur itu, tentang apa yang ditulis Jean Jaques Dozy, yang selain
memaparkan tentang keindahan alamnya juga menulis kekayaan alamnya yang begitu
melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh
dunia, kandungan biji tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Ersberg itu
terhampar di atas permukaan tanah, bukan tersembunyi di dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias
dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat, mengecek kebenaran cerita itu.
Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bangkit
kembali, dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg, dan juga wilayah
sekitarnya. Penelitian ini kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul “The
Conquest of Cooper Mountain”. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta
karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi, karena
semua harta karun itu terhampar di
permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan
ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris
membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata
juga dipenuhi bijih emas dan perak!
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut
diberi nama “Gold Mountain”, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar
pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar, dalam waktu
tiga tahun sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak
dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan
East Borneo Company, untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami
kenyataan yang hampir sama, dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan
eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia
dan Belanda memanas, dan Sukarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian
Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan
Presden AS, John Fitzgerald Kennedy, agar mendinginkan Irian Barat. Namun
ironisnya, JFK spertinya mendukung Sukarno. Kennedy mengancam Belanda, akan
menghentikan bantuan Marshall Plan, jika ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar, untuk membangun kembali
negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah
dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu, sepertinya, Belanda tidak tahu
jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab
jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall
Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang
ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari
Irian Barat, menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah
kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy
akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS,
dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh
derajat, ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak
kalangan menyatakan, penembakan Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar
menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya,
atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy,
mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah
mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah
seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye
pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang
anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh ini memang punya kepentingan besar
atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco,
yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Sukarno pada tahun 1961, memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60persen laba diserahkan
kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator
perminyakan di Indonesia, sangat terpukul oleh kebijakan Sukarno ini. Augustus
C. Long amat marah dan amat berkepentingan agar Sukarno disingkirkan
secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib.
Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital, NY, tempat dia pernah
dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi, jika
tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Dalam tulisan Lisa Pease, secara cermat ditelusuri
riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun
sementara sebagai pemimpin Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini, dalam
masa itu (1965) yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial?
Pease mendapatkan data, jika pada Maret
1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu
perusahaan Rockefeller. Augustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan
penasehat intelejen kepresidenan AS, untuk masalah luar negeri. Badan ini
memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di
Negara-negara tertentu.
Long diyakini salah satu tokoh yang
merancang kudeta terhadap Sukarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan
sejumlah perwira Angkatan Darat, yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia
Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jendral
Soeharto akan mendesak Angkatan Darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa
menunggu Sukarno berhalangan.
Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee, juga
pernah bersaksi, jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi
terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Sukarno, Forbes Wilson mendapat telpon
dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah
Freeport sudah siap mengekplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas
kaget. Ketika itu Sukarno masih sah sebagai presiden Indonesia, bahkan hingga
1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke
tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam
lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan
Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai
penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam Angkatan Darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran
operasional mereka.
Sebab itulah, ketika UU no 1/1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan
Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya
ditandatangani Soeharto adalah Freeport!
Inilah kali pertama kontrak pertambangan
yang baru dibuat. Jika di zaman Sukarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing
selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak
seperti itu malah merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan
emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak
mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel,
sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan
internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran
milik "Jim Bob" Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia, dengan
laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif
Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul
"Grasberg", setebal 384 halaman, dan memaparkan jika tambang emas di
Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih
tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan
jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar
AS, dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan
bangga juga menulis, jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di
dunia, yang ada di Irian Barat itu, merupakan yang termurah di dunia!
Istilah Kota Tembagapura, sebenarnya
menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang
gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga
terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya, dan kemudian
baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan
emasnya itu, dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura,
sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru. Di sana telah menunggu
kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang
direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!
Kesaksian seorang reporter CNN, yang
diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara dengan helicopter,
melaporkan gunung emas tersebut pada tahun 1990-an sudah berubah menjadi lembah
yang dalam. Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut, telah
dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun, yang mencemari
sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua, yang sampai detik ini masih saja layaknya
hidup di zaman batu.
Freeport merupakan ladang haram bagi para
pejabat negeri ini, yang dari sipil maupun militer, sejak 1967 sampai sekarang,
tambang emas terbesar di dunia itu menjadi tambang pribadi mereka untuk
memperkaya diri-sendiri dan keluarganya. Freeport McMoran menganggarkan dana
untuk itu, yang walau jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka
terbilang kecil, karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat besar. Jika
Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih dahulu.
Belum lagi dalam perkembangan terakhir,
yang menyedihkan, PT Freeport Indonesia itu terlibat dalam hutang pada Pemerintah
Indonesia, karena belum membayar royalti kepada pemerintah Indonesia sebesar
Rp1,6 triliun, selama kurun waktu 2002-2010.
Koordinator Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, mengatakan
berdasarkan kontrak perhitungan royalti antara pemerintah Indonesia dan
Freeport, total royalti yang seharusnya dibayar Freeport dalam kurun 2002-2010
adalah AS$1 miliar atau sekitar Rp8,8 triliun. Namun, ternyata royalti yang
dibayar Freeport dalam kurun waktu itu hanya AS$873,2 juta. Dalam tahun 2012,
Freeport pun masih mengutang deviden ke Indonesia Rp 350 milyar. Sampai saat ini pemerintah
cuma mendapatkan jatah 9,36% saham PT Freeport Indonesia. | Dikutipkan dari
berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar