Masih mau
membaca kisah capres Raja Dangdut, nggak? Kalau nggak, nggak usah dilanjutin
ngebacanya. Kalau masih mau lanjut, begini ceritanya:
Syahdan, menurut sahibul bokis
sebokis-bokisnya, Raja Dangdut pun mendaftar ke Panitia Pilpres. Pada saat
wawancara, pansel (panitia seleksi) bertanya, “Selanjutnya, tolong Anda
sebutkan pahlawan, atau tokoh idola, Anda?”
“Ehm, alhamdulillah, sebagai seorang yang
nasionalis yang sangat mengenali bangsa ini, saya mengidolakan orang Indonesia.
Dia adalah Pangeran Diponegoro. Bangsa ini akhlaknya telah terlempar, tidak ada
lagi budi pekerti. Semua terjebak pada tindakan korupsi, anarkisme, tawuran
antar suku, karena tidak adanya akhlak,…. Sekarang ini saya siap tampil. Ada
keterpanggilan, melihat kondisi bangsa ini masih jauh dari cita-cita.
Sebenarnya saya sudah menjadi pemimpin informal. Setiap
Jumat saya menjadi khatib Jumat, Idul Fitri, dan dalam ceramah-ceramah memberi
motivasi dan solusi untuk bangsa ini. Jadi menjadi pemimpin politik tidak kaget
untuk saya. Saya sangat siap dan kenal dengan bangsa ini,… Ini pernyataan saya.
Sudah dimuat di detikcom 12/11/2012, tolong di-cek. Internet itu sahih, bisa
dipercaya, seperti waktu saya bilang Ibu Jokowi itu Kristen, itu saya baca di
internet! Berarti sahih! Internet tidak mungkin gibah,…” Raja Dangdut pun pidato panjang lebar.
Begitu mantap dan meyakinkan kata-kata yang
meluncur dari sang capres ini. Pansel pun begitu terkesan dan kagum, ternyata raja
dangdut ini sangat nasionalis dan bangga dengan tokoh dalam negeri, karena
semula dikiranya idolanya dari Arab dan para habib mulu.
“Tapi, Tuan, ini belum masa kampanye, jadi kembali
ke pokok masalah,” kemudian pansel melanjutkan pertanyaan yang ringan-ringan
saja, seputar Pangeran Diponegoro, “jika demikian, Anda pasti tahu, kapan
Pangeran Diponegoro meninggal ‘kan?”
“Astagfirullah,…” Raja Dangdut kaget,
“meninggal? Kapan? Innalillahi,…”
Tentu saja pansel ikut-ikutan kaget, tapi
juga kecewa dengan reaksi capres ini.
Sesi wawancara mesti break maghrib.
Sebagai nasionalis, kabar tentang
meninggalnya Pangeran Diponegoro sangat menyedihkan hatinya. Sampai di luar
ruangan, dia bergegas menemui seseorang yang diketahuinya dari Yogyakarta, “Maaf,
ya Mas, ini Mas SW ‘kan? Mmm, apa benar sih Pangeran Diponegoro sudah
meninggal?”
Tentu saja pertanyaan itu menggelikan, tapi
bagaimana pun dijawab juga oleh SW (hihihi, numpang beken), “Lho, ‘kan sudah
lama, Paduka. Masa nggak tahu sih? Ngedangdut teyus sih. Nggak sempet lihat film
November 1828 Teguh Karya, ya?”
“Ooo, sudah lama ya? Kok saya belum pernah
denger ya, subhanalloh. Kapan sih Mas SW?”
“Yaa,… sekitar lapan belas lima-lima (1855),
Paduka!”
Capres itu membelalakkan matanya, “Haaaah?
18.55? Habis maghrib, dong?”
Orang-orang yang mendengar pun membelalakkan mata.
"Menjelang Isya itu,..." kata Sang Raja Dangdut menjelaskan.
"Iya,..." tukas SW sembari menghela nafas."
"Katanya, sebelumnya terlibat peperangan, betul?"
"Betul, 1825-1830,..."
"Perang itu cuma berlangsung lima menit saja?"
Kini orang-orang yang mendengarnya meledak. Pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar