Rhoma
Irama mencapreskan diri, sesungguh hak azasi beliau, dan siapapun warga Negara
Indonesia. Tak ada yang salah di situ. Namun ketika hak azasi itu digunakan dan
akan bersangkut-paut dengan hak-hak public, kita tidak pantas mengaitkan dengan
dalil-dalil normative soal; “Biarin saja, itu toh hak azasi”, “Jangan mengritik
orang lain, lihat dirimu sendiri”, “Dalam agama dilarang berghibah, belum tentu
kau lebih baik,…” dan seterusnya dan seterusnya.
Pandangan
itu benar secara normative, namun menyesatkan karena mempunyai tendensi (dan
kemampuan) mereduksi, mengikis, fungsi berbagai perbedaan untuk perbandingan
dan saling mengingatkan.
Teks-teks
agama, bukannya tidak tepat untuk soal-soal politik, namun lebih pada persoalan
bagaimana membaca teks. Di dalam Quran dan Hadis ada begitu banyak teks, dan
Muhammad telah mengingatkan kita, bagaimana agar selalu melihat asbabul wurud
dan asbabun nujumnya. Melihat teks-teks dalam konteks, atau sebagaimana Tuhan
memerintahkan “Iqra!” Bacalah. "Iqra, bismi Rabbika,..." Bacalah dengan nama Tuhanmu. Pada “nama Tuhanmu”
itulah, artinya juga bukan sekedar membaca, karena ketika kita benar-benar
membaca “dengan nama Tuhanmu”, pastilah sebagai manusia integrated, di sini
akan masuk pula berbagai pertimbangan, agar kita tidak bodoh banget, tidak
membabi-buta, menggunakan akal-sehat, menggunakan nurani, punya daya kritis,
namun juga punya empati, bisa berjarak. Karena membabi buta juga dengan
sendirinya meniadakan “dengan nama Tuhan” itu, karena tagline-nya adalah soal
keseimbangan atau keadilan. Bayangkan, di mana logikanya bertakbir “Allahu
Akbar” tapi sambil mengamuk merusak segala hal dengan senjata pedang atau
parang, padahal musuhnya tak bersenjata, atau kaum lemah yang mesti dilindungi?
Padahal Kanjeng Nabi telah mencontohkan perilaku etik dalam peperangan, yang
jauh lebih berat dibanding apa yang kau hadapi! Jadi, bacalah dengan nama
Tuhanmu, bukan dengan nafsu kebodohanmu.
Oleh
karena ketika orang memakai “nilai-nilai” agama sebagai preferensi, haruslah
diingatkan, itu nilai normative atau intrinsic yang menjadi kesatuan perilaku?
Karena formalisme agama juga menunjukkan fakta, betapa bisa dan sering tidak
sejalannya kepatuhan akan syariat agama dengan praksis kehidupan kesehariannya.
Contoh paling gampang, betapa dari jutaan haji dan hajah kita, berapa yang
mendekati 5% perilaku Kanjeng Nabi Muhammad shallahullahu allaihi wassallam
(itu pun kalau kita mengaku punya ukuran-ukuran yang presisi)?
Karena
Rhoma Irama tidak berada di ruang hampa, dan cita-citanya pasti juga akan
menyangkut hajat hidup banyak orang, maka pastilah hal itu menimbulkan riak dan
gelombang, akan memunculkan getaran atau resonansi. Pastilah hal tersebut
mengundang bukan saja respons, melainkan juga reaksi. Itu hokum alam. Maka hak
azasilah juga orang yang menerima, menolak, dan tertawa njungkel-njempalik mensinisinya.
Semua
itu terjadi tentu karena bekalan atau modal yang ada pada Rhoma. Antara apa yang
dikatakannya tentang modalnya, tentu dalam proposal pengajuan itu, masyarakat
akan memverifikasinya. Dan jika yang muncul adalah reaksi negative, semua pasti
sesuai hukum aksi-reaksi. Kalau pun yang muncul adalah penyambutan positif, hal
tersebut juga akan muncul dari hokum yang adil. Hanya karena demokrasi modern
masih punya banyak cacat dan kelemahan system, maka ukuran itu sering dianggap
tidak sahih, terutama oleh yang dirugikan. Artinya, di sini soal kematangan
kita berada dalam proses yang akan membuat system itu membaik atau tersandera
oleh nafsu kebodohan kita.
Karena
itu juga jangan segera ngamuk kalau ada yang menolak pencapresan Rhoma Irama,
karena itu pertanda ketidaksiapan mengajukan proposal. Jika kalian dewasa,
tentu bukan dengan menista yang menolak, melainkan memberi ruang dan waktu,
agar kalian mendapatkan masukan, perbandingan, yang ujungnya adalah
pertimbangan atau koreksi.
Kita
juga tidak mengerti, ulama-ulama dan habib-habib yang sering disebut mendukung
itu siapa saja? Apakah jika bernama ulama dan habib ia adalah manusia yang
representative dan harus dituruti atau ditakuti? Saya tidak takut ulama dan
habib, siapapun, karena yang saya takuti hanyalah Allah subhanahu wa ta’alla,
karena bagi saya jelas, tidak ada Tuhan selain Allah. Dan pastilah, saya yakin,
ulama atau habib bukan Tuhan. Kalau pun mereka Tuhan, pastilah mereka bukan
Allah, karena sekali lagi tidak ada Tuhan selain Allah.
Kalau
mereka mengaku Tuhan, yang ketika perintahnya tidak diikuti mereka kemudian
mengutuk kita? Jika hal itu terjadi, lha ngapain mesti takut, karena mereka
sendiri masihlah manusia yang merasa ketakutan ketika orang tidak menghargai
petunjuknya?
Rhoma
Irama boleh maju terus sebagai capres. Tapi sebagai warga bangsa, saya tak
perlu minta ijin siapapun untuk menolaknya, karena saya punya hak paten untuk
itu. Namun, jika boleh mengingatkan, ukuran-ukuran yang dipakai oleh Rhoma
Irama, yang konon merupakan kata-kata para ulama dan habib itu, sangat naïf.
Ukuran
Rhoma Irama (yang konon berdasar preferensi para ulama dan habib) adalah Rhoma
Irama sukses memimpin grup music dangdut selama 40 tahun. Rhoma Irama terbiasa
berkhutbah di masjid pada tiap Jumat dan Idul Fitri. Ukuran bahwa penggemarnya
banyak, pendukungnya fanatic dan militant. Bahwa ia tokoh pluralis, bahwa dia
dulu telah beberapa kali menolak tawaran itu. Semuanya terlalu sumir untuk
preferensi mendapatkan ukuran seorang presiden. Kenapa tidak merenungi julukan
“raja dangdut” yang dia dapatkan dengan sendirinya, yang semua itu didapat
dengan perjuangan dan doa, setelah berkelana sebagai satria bergitar selama
bertahun-tahun?
Namun
tentu tidak serta merta “pengalaman” mendapatkan gelar “raja dangdut” itu bisa
linier dan dicopy-paste dalam perjalanannya untuk mendapat gelar “presiden
Republik Indonesia”, karena pastilah outline itu menuntut kisi-kisi yang juga
spesifik berbeda.
Sementara
rakyat punya sensitivitas dan sensibilitasnya sendiri, bagaimana ia bereaksi
dan merespons berbagai nama seperti Aburizal Bakrie, Mahfud Md, Dahlan Iskan,
Jokowi, Jusuf Kalla, Rizal Ramli, Prabowo Subianto, Wiranto, Megawati, Anies
Baswedan, Sri Mulyani, Ani Yudhoyono, Hatta Radjasa, dan lain sebagainya yang
bermunculan di ruang-ruang media kita.
Dalam
kasus pilgub Jokowi-Ahok belum lama lalu, sudah terbuktikan, bahwa Rhoma Irama
beserta para ulama dan habib pendukungnya, bukannya tidak laku, melainkan tidak
“bismi rabbika”.
Berpolitik
dengan manusia, tetaplah mesti dalam konteks “bismi rabbika” itu. Yakni ada
konteks di dalamnya, berkeadilan, berketulusan, dan diharuskan kita bersiyasah
dengan santun. Mereka yang tidak berpolitik dengan santun, akan mendapat
imbalan yang setimpal. Lebih banyak menuai reaksi daripada respons. Sialnya,
kita sering tak bisa membedakan antara reaksi dengan respons. Untuk hal yang
sepele saja kita sering tidak bijak, apalagi soal yang besar.
Jika
Rhoma Irama ingin maju sebagai capres, bolah-boleh saja. Tapi jangan nangis
kalau duit habis diporoti oleh para calo dan penumpang gelap, yang Rhoma Irama
sendiri merasa sudah cukup kaya-raya untuk itu. Sistem kepolitikan Indonesia,
masih saja memungkinkan para calo, dan para avonturir, untuk memakainya sebagai
ladang keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Omong kosong dengan
dalil-dalil yang mereka munculkan di sana, karena pasti akan terlihat
kamuflatif dan tidak diukur dengan ‘bismi rabbika’ tadi.
Bagaimana
syarat menjadi capres yang baik? Rakyat selalu mempunyai sensitivitas dan
sensibilitas radar mereka, yang otomatis semua itu terbangun karena kita tidak
hidup di ruang hampa. Kebenaran itu tidak dibangun dari satu sisi, melainkan
dari jalinan kebersamaan, dalam aksi-reaksi yang terus-menerus terjadi. Di sana
rakyat telah mempunyai kriterianya, betapapun mesin politik bergerak, keuangan
yang kuasa, dan sebagainya.
Bahkan,
jika pun ketika panitia pemilihan bertindak curang, berhasil merekayasa
perolehan suara, dan tidak ketahuan, pasti pada praktiknya nanti juga akan
ketahuan dari praksis kepemimpinannya. Dan untuk itu telah tersedia hukumannya
sendiri.
Rakyat
tidak akan menuntut bagaimana keabsahan Partai Demokrat dalam Pemilu dan
Pilpres 2009 misalnya. Rakyat juga tidak akan melakukan hal itu dalam Pilkada
DKI 2012 kemarin, apakah satu atau dua putaran. Namun, hukum alamnya jelas;
Juru masak yang bodoh (apalagi penipu), bisa dipastikan kualitas masakannya pun
juga tidak lezat, bahkan bisa meracuni.