Oleh Sunardian Wirodono
Marzuki Alie, ketua DPR-RI dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa rakyat bodoh dan tidak punya otak, dalam kaitan reaksi rakyat terhadap renovasi toilet di gedung DPR yang menghabiskan anggaran Rp 2 milyar.
Bisa jadi tudingan Marzuki benar, sebagaimana banyak pernyataan Marzuki yang juga dituding rakyat sebagai bodoh dan tak punya otak. Tapi apa makna semuanya itu? Ialah soal kesantunan dan kebijaksanaan.
Sama persis dengan perdebatan antara partai yang ada dalam koalisi partai pemerintah, yang menyebut "ikan salmon" dan "ikan teri". Burhanuddin Muhtadi, pengamat politik, menyebut kualitas perdebatan politikus Indonesia dalam perang verbal itu menunjukkan rendahnya kualitas perdebatan anggota dewan. "Pemakaian analogi binatang menunjukkan keadaban politik anggota Dewan ini masih pada taraf purba. Coba bandingkan dengan perdebatan politik di negara maju, itu kan rata-rata elegan dengan mengutip sastrawan seperti Shakespeare atau menggunakan metafora yang indah," ujarnya.
Tak perlu jauh ke luar negeri, kualitas perdebatan politik dalam parlemen Indonesia pada 1945-1957 menunjukkan kualitas lebih baik. Bukan hanya fokus pada content, melainkan juga dibalut dengan kata-kata yang menunjukkan kualitas referensi (apa yang mereka baca) dan kesantunan mereka. Di samping tentu, perdebatan politik sebagai sudut pandang mereka dalam mengupayakan kualitas bangsa dan negara, namun persahabatan antarmanusia tidak dikorbankan.
Kembali pada soal omongan Marzuki Alie, tentu saja tidak perlu terjadi, jika ketua DPR itu bijak, atau setidaknya tidak bodoh dan punya otak! Kenapa? Karena reaksi rakyat tentu saja tidak berkait soal proporsi biaya, melainkan lebih pada proporsi keberadaan para elite politik (dan juga partai politik dengan sendirinya), yang tidak merepresentasikan keterwakilan dan kepentingan rakyat. Apa yang terlontar dalam kasus renovasi toilet, hanyalah akumulasi psikologis akan kejengkelan perilaku dan peranan wakil rakyat.
Sama halnya dengan kemuakan publik atas polisi, jaksa, hakim, sistem pengadilan, penegakan hukum, dan performance pemerintah dalam menjalankan tegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, semua adalah bukti-bukti kekecewaan yang bertumpuk-undhung. Pada sisi ini, mereka yang bijak akan mengerti, bahwa yang diperlukan adalah sikap responsif, bukan sikap reaktif. Jika sikap terakhir yang dimunculkan, kita tahu bahwa ada penjarakan posisi antar keduanya, yakni rakyat sebagai obyek dan para elite sebagai subyek. Dalam posisi itu, maka personalisasi dalam menjalankan pemerintahan ini, tidak akan pernah mementingkan sistem, melainkan lebih pada kualitas pribadi-pribadi elite kita yang sama sekali tidak mau dan tidak bisa dikontrol oleh rakyat dengan slagordenya.
Pada sisi itu, mudah dimengerti pula, jika rakyat bertanya-tanya, ke mana selama ini presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hanya berani hadir dalam seremonial kenegaraan, namun sama sekali tidak berani menghadapi langsung, tampil memimpin untuk menjawab masalah-masalah yang muncul, dan tanpa perlu membangun bemper dengan segala macam staf khusus, juru bicara kepresidenan, satgas, atau bahkan hanya muncul sembari secara protokoler meminta para pembantunya untuk menyelesaikan masalah.
Apa yang dipidatokan presiden menjelang resufle kabinet tahun lalu, dan tekad untuk menjadikan kepemimpinannya menjadi lebih berbeda dan lebih akseleratif, tidak terbukti sama sekali. Sama persis dengan kampanye politiknya yang terakhir, pada 2009 ketika SBY sebagai jurkam Demokrat di putaran akhir Yogya, bahwa partainya mendukung keistimewaan Yogyakarta dengan penetapan, namun orang yang sama kemudian pada 2011 (hanya dua tahun, dan dokumen mengenai semua itu dengan gampang didapatkan) mengatakan hal yang 180 derajat berbeda. Itu semua adalah kualitas kepemimpinan yang sangat berbakat dan dekat dengan kepembohongan.
Setelah ditipu oleh para "tokoh" atau "elite politik" kita, ke depan semestinya rakyat Indonesia lebih fokus pada terbangunnya demokrasi yang lebih mengacu pada sistem kepolitikan yang benar. Tidak mau ditipu oleh siasat kekuasaan dengan mengumbar uang. Karena korbannya bukan hanya rakyat yang tak mau dibeli, melainkan beberapa orang yang dulu menerima uang bensin, uang pembinaan, uang transport dari partai politik, pun kini juga jadi korbannya. Karena apa yang mereka berikan dengan apa yang mereka rampok, sama sekali tak sebanding. Jika rakyat mau ditipu berkali-kali, sejak Soeharto hingga SBY, maka statemen Marzuki Alie bisa jadi benar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar