Oleh Sunardian Wirodono
Indonesia adalah negara yang besar. Secara faktual, tidak bisa dibantah. Dari teritorial wilayahnya, dari aneka ragam sumber daya alamnya, dan terutama sesungguhnya, dari sumber daya manusianya.
Adalah omong kosong jika kita selalu berkilah, bahwa bangsa ini masih terbelakang, bodoh, tertindas, gaptek, konsumtif, terbelakang, tidak produktif, dan lain sejenisnya. Karena, sesungguhnyalah jika kita dapatkan Indonesia yang bersatu padu, maka sumber daya manusia yang beragam dan berjumlah besar itu (empat terbesar di dunia), akan menjadi kekuatan.
Persoalan kita, lebih pada tiadanya kepemimpinan. Karena, dengan jumlah penduduknya yang besar, tidak sedikit jumlah orang pandai di Indonesia, tidak pula sedikit jumlah orang kaya di Indonesia. Jika sumber daya manusia itu dipimpin oleh kepemimpinan yang baik, maka kita akan mengerti mana yang salah dan mana yang tepat, mana yang tidak penting dan mana yang urgen, mana yang remeh-temeh dan mana yang prioritas.
Tiadanya kepemimpinan, karena tidak bisanya para elite negeri ini menentukan suatu sistem yang tepat. Mereka masih merupakan representasi kepemimpinan yang kuno, yang mengandalkan pada personalitas, pribadi per-pribadi yang satu sama lain tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan elementernya sebagai manusia, yakni masih terjebak dalam kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan golongan-golongan.
terjadinya berbagai benturan, perdebatan, pertengkaran, perpecahan, adalah cerminan bahwa satu sama lain tidak bisa saling mendengar, karena sibuk dengan kepentingan masing-masing. Akibatnya, tidak pernah kita mendengar bagaimana bangsa dan negara ini mendapatkan jalan keluar, solusi, pemecahan, yang pada akhirnya kita tak pernah bisa menentukan jalan bersama, menciptakan satu sistem dan mekanisme, aturan, road-map apalagi grand design untuk Indonesia Raya.
Jika kita mempunyai arah kepemimpinan yang tepat, maka kita akan dapatkan keteladanan, keteraturan, keterpatutan dan keterpatuhan, yang akan menggiring munculnya agenda-agenda yang terarah dan terukur. Rakyat, pada akhirnya, akan mendapatkan kembali Indonesianya, rumahnya, yang mampu memberikan jaminan dan kenyamanan bersama-sama.
Para elite politik Indonesia saat ini, sama sekali tidak memenuhi prasyarat-prasyarat selaku pemimpin, karena dari sana tidak ada ketulusan dan keteladanan. Pamrih-pamrih mereka, menjadi kemungkinan melahirkan korban-korban bagi kepentingan mereka belaka.
Piramida korban manusia, ialah berjaraknya antara kepentingan hajat hidup sebuah bangsa, dengan hajat berkuasa sang pemimpin. Hingga akhirnya, rakyat sering disebut, tetapi hanya sebagai alasan belaka, bukan tujuan yang asali.
Perlukah revolusi? Tidak! Tetapi kita bersama harus mempunyai keberanian untuk menentukan, untuk tidak terpukau dengan personalitas seseorang. Kepemimpinan tidak ada kaitannya dengan ia militer, sipil, lulusan luar negeri, ganteng, lelaki, perempuan, Jawa bukan Jawa, Islam bukan Islam, partai politik besar atau partai politik omong kosong, melainkan kepemimpinan yang harus muncul adalah adanya sistem. Tidak penting siapa presiden, menteri, dan para pembantunya. Tidak penting wakil rakyat yang pintar omong dan debat, juga tidak penting adanya pers konglomerat atau abal-abal. Tetapi bagaimana mendapatkan sistem yang setepatnya, dan dialah yang memimpin kita.
Bagaimana mendapatkan sistem yang setepat-tepatnya? Sekali lagi, tidak kita butuhkan lagi elite bangsa dan elite politik kita sekarang ini, jika mereka masing merupakan manusia-manusia yang hanya mengedepankan kepentingan mereka dan kelompoknya sendiri. Sampai kapan mereka sadar, waktu akan menggusur mereka. Karena generasi yang akan datang, hanyalah persoalan waktu. Karena akan ada titik jenuh dan pembusukan, bahwa kita semua bersama menginginkan Indonesia yang jaya. Karena pada akhirnya, jika situasi ini tak bisa dipercepat, maka keterpurukan yang menunggu akan menjadi simpul munculnya kepentingan bersama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar