Oleh Sunardian Wirodono
Adakah Indonesia menerapkan "trias politica" (eksekutif-legislatif-judikatif) sebagaimana dikuliahkan oleh Montesquie? Sepertinya tidak. Karena ketika legislatif, juga judikatif, berada dalam satu barisan kepentingan eksekutif, maka mereka adalah super-elite eksekutif itu sendiri. Dan mengenai pers sebagai pilar ke-empat demokrasi? Sungguh tidak mudah mempercayainya. Di negeri tanpa aturan, media bukan corong untuk mengkritisi dan memediasi, melainkan bagian dari permainan media setting, karena ia juga dikuasai oleh super-elite sebuah negeri, untuk agenda setting yang lainnya lagi. Jika pun ini disangkal, maka kita lihat kualitas pemberitaan media kita, yang cenderung memakai dan berada dalam teory of conflict, namun tidak sungguh-sungguh menjadi problem solver, kecuali ikut-ikutan menabuh gendang agar orang menari-nari di dalam area konflik.
Adakah kita sedang pesimis, atau skeptis menghadapi bangsa yang mandeg ini? Menyedihkannya, pada satu sisi kebangkitan Soehartoisme tak bisa dibendung. Ciri-cirinya, mereka percaya para pengritik pemerintah harus membuktikan omongannya, melarang pengritik ngomdo, menuding pengritik tak lebih baik dari yang dikritik, dan menyadarkan pengritik dengan dalil-dalil agama sembari meniupkan ancaman bahwa mengritik penguasai itu dosa. Pada sisi lain, munculnya para penggugat otoritas kekuasaan pemerintah kita yang sekarang ini, tidak mampu memberikan gambaran yang sama meyakinkan, bahwa mereka juga tidak akan berperilaku yang sama jika sudah berkuasa. Buktinya, 32 tahun kekuatan Soeharto hingga hari ini tidak sirna. Empatbelas tahun reformasi, tidak lebih bagus daripada Orde "Soeharto" Baru, sekali pun mereka sering mengusung kata-kata kebebasan dan demokrasi.
Benarkah manusia Indonesia ini ramah tamah, pancasilais, penuh persaudaraan? Rasanya tidak. Begitu orang Indonesia menjadi kelompok kepentingan dan kelompok identitas, mereka kehilangan karakter dan keteguhan pribadi, yang memang mudah goyah. Bahkan sejak yang dinamakan reformasi, kita tak melihat kesantunan dan ketulusan menjadi tujuan kemuliaan. Dan sampai kini pun, dari sejak 1945, 1966, 1971, 1998, kita tidak melihat adanya resolusi bangsa, untuk fokus dan mengedepankan prioritas. Tetap saja agenda kita elitis dan penuh kompromi elite.
Maka, betapa mengharukan ketika Indonesia Mengajar melakukan gerakan kaum sipilis (upaya warga) untuk turut menyegarkan ingatan bangsa ini, bahwa negara abai dalam memenuhi amanah Undang-undang Dasar. Anggaran Pendidikan 20%, yang konon sesuai undang-undang, pada dasarnya berbeda dengan yang dicitrakan, karena alokasi untuk pendidikan itu sendiri kurang dari 20% karena lebih banyak disedot untuk sektor pembelanjaan lainnya.
Gerakan yang diprakarsai oleh ARB (maaf, bukan Aburizal Bakrie, tapi Anies R. Baswedan) bukanlah yang pertama kalinya, namun banyak sebelumnya para perintis, anak muda, yang bekerja untuk pemuliaan peradaban melalui pendidikan di kolong jembatan, di rumah kumuh, bahkan di hutan-hutan, dan pelosok nun jauh di sudut mata hati Indonesia. Tidak semeriah dan segemerlap talkshow-talkshow yang seolah canggih di studio TV, di rumah perubahan, di kafe, apalagi di Senayan.
Demikian juga ketika muncul momentum Mobil Esemka. Seandainya saja pemerintahan kita punya road-map jelas, betapa mengerikannya jika mampu mempersatukan anak SMK dengan para mahasiswa teknik seluruh Indonesia, untuk membuat mobil nasional. Bukan pada satu nama bernama Tommy Soeharto dan sejenisnya, melainkan kembali pada kedigdayaan bangsa dan negara. Bukan justeru memunculkan sinisme, iri dan dengki, dan menilai upaya Jokowi sebagai gerakan politik menuju 2014, dan seterusnya.
Jika saja KPK mampu merekrut para fresh-graduate menjadi para wadyabala penyidiknya yang independent. Jika saja Presiden berani menegosiasi untuk menggusur nepotisme dan kolusi di kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian, dan berani menyingkirkan pidato gombalnya yang selalu mengatakan "tidak ingin intervensi" dan sejenisnya itu.
Bangsa dan negara Indonesia adalah bangsa dan negara yang besar, karena wilayahnya luas, beragam, dan sumber daya manusianya terbesar ke-empat di seluruh dunia. Namun, sebagaimana sumber daya alam yang kita banggakan selama ini, yang hanya digerus penguasa korup dan pengkhianat bangsa, maka nasib sdm yang besar pun juga hanya akan menjadi obyek tipuan dan sapi perah belaka, jika salah kelola. Dan salah kelola itu yang terjadi sekarang ini.
Celakanya, para pembelanya membabi-buta, sampai perlu mengatakan mengritik pemimpin itu dosa. Taeklah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar