Dalam doktrinnya, Gus Dur mengatakan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Sebagaimana dalam tulisannya yang paling sohor, ‘Tuhan Tak Perlu Dibela’, agama tidak boleh jauh dari kemanusiaan.
Politik dan agama, dua hal yang hampir serupa tapi tak sama. Tapi keduanya membuka kemungkinan sama, yakni militansi atas nama keyakinan. Dan keyakinan yang buta, sebagaimana kata Friedrich Nietzsche (1844-1900), bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan.
Dua paragraf itu penting dikemukakan, untuk membuka wawasan kita, menghadapi simpang-siur pendapat mengenai kabar keputusan Presiden Jokowi, untuk pembebasan tanpa syarat Abu Bakar Ba’asyir. Sebuah terobosan hukum yang kontroversial, lebih-lebih Presiden Jokowi adalah capres pertahana Pilpres 2019 yang sedang berlangsung.
Bangsa Indonesia tak mempunyai pengalaman bagus dalam mengelola kontestasi politik juga konflik ikutannya. Pemilu 1955 yang dibilang paling demokratis, juga tak sepenuhnya aman dan damai. Dalam catatan Herbert Feith, tak sedikit benturan di akar rumput, lebih karena ketidakmampuan mengelola perbedaan pilihan.
Sejak Pilpres 2004 di mana rakyat langsung yang menentukan pilihan presidennya, kematangan demokrasi kita tak secara akseleratif menunjukkan peningkatan. Bahkan dalam Pilpres 2014, juga pada Pilkada di berbagai daerah, apalagi Pilkada DKI Jakarta 2017, kontestasi demokrasi makin diwarnai agregasi politik identitas yang menguat.
Dalam situasi itu, menjadi Presiden, Kepala Negara, di Indonesia, sungguhlah tidak mudah. Baik dalam proses pencapaian maupun ketika menjalaninya. Situasi kepolitikan sekarang ini, apalagi dengan maraknya media sosial, tak semudah jaman Soeharto yang memakai cara-cara otoritarian.
Kini cara berpikir sistem block justeru makin dikembangkan, senyampang maraknya politik identitas. Kini pula masing-masing lembaga negara seperti judikatif, legislatif dan eksekutif, tak lagi secair pada awal mula republik ini berdiri. Apalagi dengan hadirnya politikus masa kini, yang wawasan kebangsaannya tergerus kesadaran-kesadaran sektoral dan parsial.
Kini, entah karena perkembangan demokrasi atau teknologi komunikasi, membuat siapa saja bisa mengomentari tindak-tanduk presiden. Bahkan secara lebih jauh bisa berupa penghinaan, ujaran kebencian, meme, fitnah, bahkan hoax. Presiden Jokowi bisa dituding lemah ketika selalu mengatakan tak bisa mengintervensi hukum. Namun senyampang itu, ketika hendak membebaskan Abu Bakar Ba’asyir, juga tak dengan sendirinya disambut gembira oleh semuanya.
Musuh politik akan mengatakan Jokowi melakukan pencitraan. Sementara keluarga dan yang bersimpati pada korban (dari perbuatan ABB), bisa menuding Jokowi justeru tak berperikemanusiaan. Tidak mengingat bagaimana korban menjadi cacat seumur hidup, atau kehilangan orangtua serta sanak saudara.
Sama dengan tudingan yang muncul dalam Debat Presiden kemarin, soal penahanan tersangka (entah itu korupsi atau terorisme) yang dituding tidak manusiawi. Jokowi menjawab dengan tepat. Kita diminta membedakan antara penegakan hukum dan prosedur hukum untuk kepentingan semua orang, dengan masalah HAM di sisi lain dengan tolok ukur orang-perorang. Antiknya, pengritik Jokowi, yang juga pengritik BTP (d.h. Ahok), bisa melihat celah itu dan menyodorkan pertanyaan retorik; Bukankah BTP juga manusia? Kenapa dulu tidak dibebaskan ketika dijerat oleh pasal-pasal karet?
Kita sering dalam pernyataan seperti itu. Membandingkan kasus yang berbeda-beda. Kenapa? Karena kita cenderung berada dalam pandangan normatif, sebagaimana dilatihkan oleh Soeharto dalam satu generasi. Tak mudah keluar dari doktrin formalisme dalam berpikir dan bersikap. Akibatnya, sering kita tidak punya konsistensi. Karena pada satu sisi kita bisa normatif, sisi lain di mana kepentingan kita dirugikan membuat pikiran kita satu sama lain bertabrakan, paradoksal, tidak integrated.
Para pendukung Capres 02, sering dalam sikap seperti itu. Jokowi diserang karena pakai teks dalam debat kemarin. Sementara setelah melihat Capres 02 juga membawa teks, bahkan lebih gede, mereka mingkem. Atau kalau tidak, mereka mencoba berkilah dan cari-cari kesalahan lain. Persis dengan menuding Jokowi jirih karena selalu ngomong tak mau intervensi hukum, tapi ketika membebaskan ABB dituding pencitraan.
Sama persis dengan kelompok umat tertentu, yang mengritik habis orang pakai jas dan pantalon (yang tak ada dalam tuntunan nabi), tapi senyampang itu ngotot memakai TOA (walau pun juga tak ada tuntunannya, dan itu pun masih ditambah TOA made in Cina, negara yang dikutuknya sebagai kafir).
Keputusan mengenai pembebasan ABB, tentu lebih merupakan langkah politik, diskresi Presiden. Dan tidak ada yang salah di situ. Karena jika di atas politik adalah kemanusiaan, maka politik presiden bukan hal yang buruk. Pada sisi ini, kita yang balik tak bisa mengintervensi.
Mengenai keadilan, tentu ini yang paling sulit diukur. Ketika dua orang bertikai, seorang hakim mendengarkan siapa saja, para pihak yang bertikai, juga jaksa dan penasihat hukum. Tapi ketika memutuskan, ia harus imparsial. Tak mendengarkan siapapun kecuali pertimbangan hukum atas dasar keyakinan. Celakanya, memang, bagi yang menang hakim bisa dinilai adil, sementara yang dikalahkan bisa menuding hakim berat sebelah. Dan seterusnya.
Bagi korban dari pikiran dan tindakan ABB, tentu saja tindakan Presiden bisa saja, atau mungkin, menyakitkan. Tidak adil, dan seterusnya. Tetapi ABB dalam prosedur hukum sudah menjalani resikonya. Menanggung akibat perbuatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum yang berlaku inilah yang mesti ditaati, sebab jika tidak hukum yang ditafsir seenaknya oleh masing-masing pihak akan menimbulkan kekacauan.
Apalagi jika kita ngomong tentang hukum langit, yang tak bisa dikonfirmasi karena kadar imanensi manusia berbeda-beda. Bagaimana pendapat Anda ketika Amien Rais meyakini jagoannya utusan dari langit, dan pasti menjadi Presiden RI kelak? Padahal tahun-tahun sebelumnya, ia minta jagoannya itu harus dimahmilubkan!
Hukum adalah aturan sosial untuk kebersamaan. Sebagai social religion, untuk mereduksi kekacauan sosial yang sangat mungkin terjadi. Karena tafsir atau interpretasi orang, bisa sangat beragam. Bahkan pada mereka yang satu partai politik atau pun satu agama. Aturan sosial adalah berdasar kesepakatan-kesepakatan yang mengikat.
Sementara itu Presiden Jokowi ketika dikabarkan memutuskan pembebasan ABB, juga bukan tanpa proses. ABB dijebloskan penjara di jaman SBY, dan sudah menjalani 9 tahun masa tahanan. Presiden Jokowi melakukan kajian dan koordinasi dengan Polri dan TNI, juga dengan Kemenkumham, serta kemudian Yusril Ihza Marhendra sebagai penasihat hukum TKN Jokowi-Ma’ruf, yang kebetulan juga pengacara ABB.
Kita tidak tahu bagaimana prosesnya. Pasti tidak mudah, sebagaimana kasus divestasi Freeport. Tahu-tahu saja, seolah mak-bedundug, semuanya diputuskan dengan gampang. Pada sisi itu, dupeh kita menggenggam medsos, kemudian membuat mudah berkomentar dan pikir kemudian, tanpa data tanpa mengetahui proses. Sementara dalam posisinya, Presiden Jokowi dengan segala kekuasaan dan fasilitasnya, justeru bukan merupakan posisi yang mudah secara politik makro, ketika yang kita pergunjingkan selaku isu-isu politik mikro yang kasuistis sifatnya.
Pada sisi itu, Presiden mempunyai kekuatan politik untuk melakukan keputusannya. Hal itu bisa membuat kita menilainya sebagai tindakan benar atau salah. Tetapi pada sisi lain, Presiden memutuskan berdasar berbagai pertimbangan yang lebih luas. Di luar jangkauan kepentingan masing-masing pribadi. Entah itu korban ABB maupun lawan politik Jokowi. Di situ masalahnya menjadi tak sederhana. Mengutip omongan Dilan; Menjadi presiden itu berat, Wok, makanya biar Jokowi saja, untuk sekali lagi!
Jika di atas kepentingan politik adalah kemanusiaan, dan agama jangan jauh dengan kemanusiaan, tentu boleh kita juga belajar memahami masalah ini dari sisi yang sama? Apakah pandangan Jokowi ini menginfluens pihak lain? Kita tidak tahu. Karena kita bukan orang yang tahu segalanya.
Meskipun kita tahu kemudian, pada tanggal yang dijanjikan (seperti yang selalu dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, yang juga selalu mengatakan bertindak atas instruksi Presiden di mana ia selaku penasihat pribadi Presiden), pembebasan itu belum benar-benar terjadi. Ada benturan aturan hukum yang tak bisa dilanggar. Ialah ketika ABB berkukuh tak mau menandatangani ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI, juga tak akan mengulangi perbuatannya. Hal itu, yang membuat Jokowi juga tak bisa melakukan intervensi, karena berkait dengan prasyarat hukum atas pembebasan itu sendiri. Bola ada di tangan ABB, meski alasan kemanusiaan menjadi wacana bersama.
Beserta simpati saya, pada korban dan keluarganya, akibat dari apa-apa yang telah terjadi karena Abu Bakar Ba’asyir. | @sunardian
Politik dan agama, dua hal yang hampir serupa tapi tak sama. Tapi keduanya membuka kemungkinan sama, yakni militansi atas nama keyakinan. Dan keyakinan yang buta, sebagaimana kata Friedrich Nietzsche (1844-1900), bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan.
Dua paragraf itu penting dikemukakan, untuk membuka wawasan kita, menghadapi simpang-siur pendapat mengenai kabar keputusan Presiden Jokowi, untuk pembebasan tanpa syarat Abu Bakar Ba’asyir. Sebuah terobosan hukum yang kontroversial, lebih-lebih Presiden Jokowi adalah capres pertahana Pilpres 2019 yang sedang berlangsung.
Bangsa Indonesia tak mempunyai pengalaman bagus dalam mengelola kontestasi politik juga konflik ikutannya. Pemilu 1955 yang dibilang paling demokratis, juga tak sepenuhnya aman dan damai. Dalam catatan Herbert Feith, tak sedikit benturan di akar rumput, lebih karena ketidakmampuan mengelola perbedaan pilihan.
Sejak Pilpres 2004 di mana rakyat langsung yang menentukan pilihan presidennya, kematangan demokrasi kita tak secara akseleratif menunjukkan peningkatan. Bahkan dalam Pilpres 2014, juga pada Pilkada di berbagai daerah, apalagi Pilkada DKI Jakarta 2017, kontestasi demokrasi makin diwarnai agregasi politik identitas yang menguat.
Dalam situasi itu, menjadi Presiden, Kepala Negara, di Indonesia, sungguhlah tidak mudah. Baik dalam proses pencapaian maupun ketika menjalaninya. Situasi kepolitikan sekarang ini, apalagi dengan maraknya media sosial, tak semudah jaman Soeharto yang memakai cara-cara otoritarian.
Kini cara berpikir sistem block justeru makin dikembangkan, senyampang maraknya politik identitas. Kini pula masing-masing lembaga negara seperti judikatif, legislatif dan eksekutif, tak lagi secair pada awal mula republik ini berdiri. Apalagi dengan hadirnya politikus masa kini, yang wawasan kebangsaannya tergerus kesadaran-kesadaran sektoral dan parsial.
Kini, entah karena perkembangan demokrasi atau teknologi komunikasi, membuat siapa saja bisa mengomentari tindak-tanduk presiden. Bahkan secara lebih jauh bisa berupa penghinaan, ujaran kebencian, meme, fitnah, bahkan hoax. Presiden Jokowi bisa dituding lemah ketika selalu mengatakan tak bisa mengintervensi hukum. Namun senyampang itu, ketika hendak membebaskan Abu Bakar Ba’asyir, juga tak dengan sendirinya disambut gembira oleh semuanya.
Musuh politik akan mengatakan Jokowi melakukan pencitraan. Sementara keluarga dan yang bersimpati pada korban (dari perbuatan ABB), bisa menuding Jokowi justeru tak berperikemanusiaan. Tidak mengingat bagaimana korban menjadi cacat seumur hidup, atau kehilangan orangtua serta sanak saudara.
Sama dengan tudingan yang muncul dalam Debat Presiden kemarin, soal penahanan tersangka (entah itu korupsi atau terorisme) yang dituding tidak manusiawi. Jokowi menjawab dengan tepat. Kita diminta membedakan antara penegakan hukum dan prosedur hukum untuk kepentingan semua orang, dengan masalah HAM di sisi lain dengan tolok ukur orang-perorang. Antiknya, pengritik Jokowi, yang juga pengritik BTP (d.h. Ahok), bisa melihat celah itu dan menyodorkan pertanyaan retorik; Bukankah BTP juga manusia? Kenapa dulu tidak dibebaskan ketika dijerat oleh pasal-pasal karet?
Kita sering dalam pernyataan seperti itu. Membandingkan kasus yang berbeda-beda. Kenapa? Karena kita cenderung berada dalam pandangan normatif, sebagaimana dilatihkan oleh Soeharto dalam satu generasi. Tak mudah keluar dari doktrin formalisme dalam berpikir dan bersikap. Akibatnya, sering kita tidak punya konsistensi. Karena pada satu sisi kita bisa normatif, sisi lain di mana kepentingan kita dirugikan membuat pikiran kita satu sama lain bertabrakan, paradoksal, tidak integrated.
Para pendukung Capres 02, sering dalam sikap seperti itu. Jokowi diserang karena pakai teks dalam debat kemarin. Sementara setelah melihat Capres 02 juga membawa teks, bahkan lebih gede, mereka mingkem. Atau kalau tidak, mereka mencoba berkilah dan cari-cari kesalahan lain. Persis dengan menuding Jokowi jirih karena selalu ngomong tak mau intervensi hukum, tapi ketika membebaskan ABB dituding pencitraan.
Sama persis dengan kelompok umat tertentu, yang mengritik habis orang pakai jas dan pantalon (yang tak ada dalam tuntunan nabi), tapi senyampang itu ngotot memakai TOA (walau pun juga tak ada tuntunannya, dan itu pun masih ditambah TOA made in Cina, negara yang dikutuknya sebagai kafir).
Keputusan mengenai pembebasan ABB, tentu lebih merupakan langkah politik, diskresi Presiden. Dan tidak ada yang salah di situ. Karena jika di atas politik adalah kemanusiaan, maka politik presiden bukan hal yang buruk. Pada sisi ini, kita yang balik tak bisa mengintervensi.
Mengenai keadilan, tentu ini yang paling sulit diukur. Ketika dua orang bertikai, seorang hakim mendengarkan siapa saja, para pihak yang bertikai, juga jaksa dan penasihat hukum. Tapi ketika memutuskan, ia harus imparsial. Tak mendengarkan siapapun kecuali pertimbangan hukum atas dasar keyakinan. Celakanya, memang, bagi yang menang hakim bisa dinilai adil, sementara yang dikalahkan bisa menuding hakim berat sebelah. Dan seterusnya.
Bagi korban dari pikiran dan tindakan ABB, tentu saja tindakan Presiden bisa saja, atau mungkin, menyakitkan. Tidak adil, dan seterusnya. Tetapi ABB dalam prosedur hukum sudah menjalani resikonya. Menanggung akibat perbuatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum yang berlaku inilah yang mesti ditaati, sebab jika tidak hukum yang ditafsir seenaknya oleh masing-masing pihak akan menimbulkan kekacauan.
Apalagi jika kita ngomong tentang hukum langit, yang tak bisa dikonfirmasi karena kadar imanensi manusia berbeda-beda. Bagaimana pendapat Anda ketika Amien Rais meyakini jagoannya utusan dari langit, dan pasti menjadi Presiden RI kelak? Padahal tahun-tahun sebelumnya, ia minta jagoannya itu harus dimahmilubkan!
Hukum adalah aturan sosial untuk kebersamaan. Sebagai social religion, untuk mereduksi kekacauan sosial yang sangat mungkin terjadi. Karena tafsir atau interpretasi orang, bisa sangat beragam. Bahkan pada mereka yang satu partai politik atau pun satu agama. Aturan sosial adalah berdasar kesepakatan-kesepakatan yang mengikat.
Sementara itu Presiden Jokowi ketika dikabarkan memutuskan pembebasan ABB, juga bukan tanpa proses. ABB dijebloskan penjara di jaman SBY, dan sudah menjalani 9 tahun masa tahanan. Presiden Jokowi melakukan kajian dan koordinasi dengan Polri dan TNI, juga dengan Kemenkumham, serta kemudian Yusril Ihza Marhendra sebagai penasihat hukum TKN Jokowi-Ma’ruf, yang kebetulan juga pengacara ABB.
Kita tidak tahu bagaimana prosesnya. Pasti tidak mudah, sebagaimana kasus divestasi Freeport. Tahu-tahu saja, seolah mak-bedundug, semuanya diputuskan dengan gampang. Pada sisi itu, dupeh kita menggenggam medsos, kemudian membuat mudah berkomentar dan pikir kemudian, tanpa data tanpa mengetahui proses. Sementara dalam posisinya, Presiden Jokowi dengan segala kekuasaan dan fasilitasnya, justeru bukan merupakan posisi yang mudah secara politik makro, ketika yang kita pergunjingkan selaku isu-isu politik mikro yang kasuistis sifatnya.
Pada sisi itu, Presiden mempunyai kekuatan politik untuk melakukan keputusannya. Hal itu bisa membuat kita menilainya sebagai tindakan benar atau salah. Tetapi pada sisi lain, Presiden memutuskan berdasar berbagai pertimbangan yang lebih luas. Di luar jangkauan kepentingan masing-masing pribadi. Entah itu korban ABB maupun lawan politik Jokowi. Di situ masalahnya menjadi tak sederhana. Mengutip omongan Dilan; Menjadi presiden itu berat, Wok, makanya biar Jokowi saja, untuk sekali lagi!
Jika di atas kepentingan politik adalah kemanusiaan, dan agama jangan jauh dengan kemanusiaan, tentu boleh kita juga belajar memahami masalah ini dari sisi yang sama? Apakah pandangan Jokowi ini menginfluens pihak lain? Kita tidak tahu. Karena kita bukan orang yang tahu segalanya.
Meskipun kita tahu kemudian, pada tanggal yang dijanjikan (seperti yang selalu dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, yang juga selalu mengatakan bertindak atas instruksi Presiden di mana ia selaku penasihat pribadi Presiden), pembebasan itu belum benar-benar terjadi. Ada benturan aturan hukum yang tak bisa dilanggar. Ialah ketika ABB berkukuh tak mau menandatangani ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI, juga tak akan mengulangi perbuatannya. Hal itu, yang membuat Jokowi juga tak bisa melakukan intervensi, karena berkait dengan prasyarat hukum atas pembebasan itu sendiri. Bola ada di tangan ABB, meski alasan kemanusiaan menjadi wacana bersama.
Beserta simpati saya, pada korban dan keluarganya, akibat dari apa-apa yang telah terjadi karena Abu Bakar Ba’asyir. | @sunardian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar