Oleh Sunardian Wirodono
Ibarat dari nol, kita mulai dari infrastruktur.
Periode berikutnya, masuk ke pengembangan sdm, penegakan hukum, sistem
pendidikan. Baru kelak kita ngomong
soal lain-lain. Demokrasi, HAM, inovasi, filsafat, tetek-mbengek.
Karena itu, hadirnya kepemimpinan dengan karakter Jokowi,
menjadi penting, memenuhi kriteria dasar itu. Lebih dari 50 tahun Indonesia
merdeka, pembangunan infrastruktur kita tertinggal, bahkan dibanding
negara-negara Asia Tenggara.
Hanya rakyat bodoh yang mau makan infrastruktur. Infrastruktur
tidak untuk dimakan, tetapi sarana mendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara
kepulauan yang besar ini. Tentu yang kemarin diresmikan tak bisa hari ini
dinikmati hasilnya. Hanya ekonom baperan
yang akan ngomong ‘gitu.
Butuh proses waktu,
karena juga tergantung pada kesiapan SDM, kualitas, kreativitas, dan daya
saing masing-masing. Untuk itu
pembenahan dan pengembangan SDM penting, di samping menegakkan aturan (hukum) lebih
ketat, agar ada jaminan bagi seluruh rakyat Indonesia bertumbuh secara adil dan
merata.
Indonesia maju bersama,
karena Presiden bukan segala-galanya. Rakyat kuat negara kuat, kata Bung Karno. Negara
bukanlah agen moral, menurut Noam Chomsky, filsuf dan ilmuwan kognitif. Rakyatlah
agen moral, dan dapat memaksa standar modal kepada institusi yang berkuasa.
Jika tidak, rakyat akan mudah dikibuli, bahkan oleh hoax yang tak logis sekali
pun.
Kritik atas utang luar
negeri yang meninggi, adalah bagian dari situasi yang terlahir dari
pemerintahan sebelumnya. Ibarat buka warung, dari sejak VOC, Sukarno, hingga
SBY, utang luar negeri tak kunjung menipis, karena besaran belanja dan
pendapatan tak pernah surplus.
Anggaran belanja lebih banyak untuk menjawab
persoalan ekonomi dalam dimensi politik. Kita belibet soal subsidi dan korupsi. Lagi pula, tak ada utang luar
negeri terjadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan parlemen, yang nota bene
terdiri dari partai-partai politik, yang yang berposisi sebagai pendukung
maupun oposan.
Jokowi ibarat mulai dari nol, karena berada dalam
kondisi negara tak sehat. Ia harus berakrobat dari sisi ekonomi, juga jungkir
balik dalam situasi politik transisi. Ajakan berubah, untuk meninggalkan
kebiasaan buruk dalam sistem otokratisme
Soeharto, tak semudah tuntutan penggiat demokrasi kongkow di cafe-cafe. Sembari ngancam-ngancam
untuk golput.
Di bawah Jokowi, Indonesia mendapat perhatian
dunia, penilaian yang positif. Mahathir Mohamad mengakui, barulah dalam
kepemimpinan Jokowi, Indonesia mampu melampaui pertumbuhan Malaysia. Juga
apresiasi dari berbagai negara lain.
Indonesia selama ini sibuk dalam perdebatan identitas,
namun tak ada konstruksi pembangunan civil
society yang terorganisasi baik dan disiplin. Para agen perubahan, dari
partai politik, maupun akademisi dan penggiat, sulit dalam satu agenda. Belum
pula begitu banyaknya teori konspirasi, dan conflict
of interest masing-masing.
Berpikir tentang perubahan sosial yang mendalam, kaum konservatif selalu
mengharapkan bencana, sementara kaum revolusioner dengan percaya diri mengharapkan
utopia. Apakah keduanya benar? Ada proses dialektika yang kita semua tak sabar,
hanya karena melihat diri-sendiri, atau masih terpaku pada buku-buku text yang
tidak ‘bunyi’ sama sekali.
Elite politik dan elite
ekonomi tidak memiliki arah jelas mengenai kedaulatan bangsa dan negara.
Indonesia yang kaya raya, dengan SDM dan SDA, terpuruk karena salah urus dan
kelola. Mudah diombang-ambingkan kepentingan-kepentingan negara besar, karena mentalitas
korup. Hingga agama pun dipakai memanipulasi, hanya karena kepentingan sesaat
yang sama, berebut kekuasaan oleh kaum vested
interest.
Menyitir pendapat Aldous Huxley, sastrawan Inggris, “Paling kurang, dua pertiga
kemalangan kita berasal dari kebodohan manusia, kebencian manusia, dan para
motivator serta hakim penentu kebencian dan kebodohan, idealisme, dogmatisme,
dan penyepuhan label atas nama agama atau politik.”
Reformasi 1998
menyadarkan kita akan perubahan itu. Namun perubahan politik-ekonomi-dan sosial
budaya, membutuhkan keberanian untuk cut
off dengan masa lalu. Ibarat kita baru merdeka, dan mulai on the track membangun bangsa dan
negara. Jokowi lebih bisa dipercaya untuk loncatan besar ke depan. Bukan
sekedar ngomongin masa kini yang
masih belibet ini, dan langsung kita
tuntut kesempurnaannya.
To err is human. To blame someone else is politics, tulis Hubert H. Humphrey. Berbuat salah adalah
manusiawi. Menyalahkan orang lain adalah politik. Tapi apa hasil dari politik
yang selalu menyalahkan itu, yang ujung-ujungnya ngancam golput?
Sama persis dengan segerombolan pengojek yang ngancam mengalihkan dukungan hanya
karena nasibnya dipertaruhkan pada satu orang. Bukannya sistem yang kita
bangun. Politik kemudian hanya seperti pendulum, berayun antara anarki dan
tirani, yang didorong ilusi yang terus-menerus diremajakan
Pemerintahan mana yang
terbaik? Yang mengajarkan kita untuk mengatur diri kita sendiri, kata Johann
Wolfgang von Goethe. Kepemimpinan androgini
Jokowi, karenanya penting, lebih bisa mendengarkan, meski agak sedikit crowded. Tapi itu bagian dari trial and error yang mesti kita lalui.
Jika kita mendukung
Jokowi, agar kekuatan lama tidak menjadi penghalang arah kemajuan Indonesia
itu. Kita tidak takut, meski lawan Jokowi didukung oleh gabungan absurd antara
kanan yang marah dan kiri yang entah. Karena kita lebih butuh kejernihan
berpikir untuk Indonesia Maju. | @sunardian