Gegara
Sarpin Rizaldi, hari-hari ini begitu menyesakkan bagi kita. Kita? Ya, kita,
masyarakat warga bangsa dan negara Indonesia. Baik mereka yang peduli dan
tidak, cuek dan sinis, bersemangat dan lebay, sok kritis dan sok bijak, politis
dan a-politis, sosial dan a-sosial; terhadap apa yang terjadi dalam kepolitikan
kita hari ini, kepemimpinan kita hari ini, dan tentunya perjalanan hidup kita
pribadi-per-pribadi, atau apa pun.
Namun
sebagaimana ujar Tony Robbins; “Selalu ada jalan, jika kita berkomitmen.”
Berkomitmen terhadap apa? Berkomitmen terhadap apapun, di mana kita merasa
jalan menuju itu kini sedang crowded, macet, bahkan mungkin terlihat buntu.
Setelah
‘pseudo’ Reformasi 1998, kita belum juga menemukan jalan itu. Bahkan yang terjadi
adalah perjalanan balik, dan seolah kita sedang diyakinkan pada idiom ‘isih
enak jamanku toh?’ Banyak orang bisa sambil terkekeh mengatakan itu. Seolah
nasib bangsa dan negara sebagai mainan, dan tak ada yang serius mengenai hajat
hidup 250 juta manusia di dalamnya. Kita bisa bayangkan, gegara banjir Jakarta,
atau berbagai daerah lain pun, semua orang menderita. Padahal, disamping soal
alam, banjir adalah juga soal manusia, dari rakyat hingga pejabatnya. Tapi apa
yang terjadi? Semua hanya saling menyalahkan.
Kita
dihadapkan pada kenyataan, bahwa sejarah bangsa ini, belum lepas dari tesis
hitam-putih yang dibangun. Antara mimpi atau idealisasi kita tentang keindahan,
kesempurnaan, namun tak pernah diajarkan bagaimana proses menuju ke sana.
Semuanya seolah hanya bisa melalui keajaiban dan kemurahan Tuhan. Dan mimpi
tentang satria piningit selalu saja ‘diangetin’ sampai beberapa generasi;
melalui mitos, legenda, wayang, kethoprak, cerita-cerita sejarah, hingga ke
kurikulum pendidikan kita yang selalu berubah-ubah per-lima tahun. Demokrasi
yang mestinya berkelanjutan, kemudian pun hanya menjadi isyu jangka pendek.
Bukan sekedar eksperimentatif, tapi lebih buruk lagi adalah aji mumpung.
Jika
membandingkan Indonesia dan Jepang, kedua negara ini sesungguhnya berangkat
pada waktu yang sama (tentu saja dengan modal berbeda). Pada tahun 1945, Indonesia merdeka dan mulailah generasi
Sukarno bermimpi, hingga kemudian Sukarno berkata, dalam rancangan pembangunannya,
bahwa tahun 1975, Indonesia akan melampaui Jepang!
Pada tahun
1945 itu pula, setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
menyerah tanpa syarat apapun kepada AS dan tentara Sekutu. Dua tahun kemudian, Jepang diperbolehkan sebagai negara
merdeka, namun hanya di bidang ekonomi saja, atau setidaknya bukan dibidang
politik dan militer. Jepang tetap di bawah pengawasan Amerika Serikat.
Jalur bebas
untuk mengekspresikan diri, adalah pada jalur ekonomi, seni, dan teknologi.
Pada pemerintahan Sato, Jepang telah mampu menyelesaikan masalah akibat
kekalahan Perang Dunia II. Tahun 1970
Jepang mengalami surplus dalam neraca pembayaran (Kosuke Nakajima, 1998). Waktu
itu muncul istilah Icioku Sou Chuuryuu Jidai, semua penduduk Jepang adalah
kelas menengah! Hingga sifat kegiatan ekonomi pada waktu itu adalah menanam
nafsu di tempat yang tidak ada nafsu (kelak kemudian tidak aneh jika muncul
tokoh Dora Emon).
Sementara
itu, Indonesia di bawah Sukarno, dipatahkan oleh AS dan sekutunya pada
pertengahan dekade 60-an. Hingga muncul Soeharto sepanjang 32 tahun dan terusannya
dalam reformasi tanpa roh. Kejatuhan Soeharto tidak dengan sendirinya mengubah
keadaan. Demokratisasi tak beda jauh dengan demo-crazy-tion. Abad penggilaan
ketika tak ada arah, tak ada visi, dan semua orang ngomong sendiri-sendiri,
berjiwa mutlak-mutlakkan, karena dididik dalam pragmatisme politik yang kapitalistik.
Pragmatisme
ini yang kemudian mengajarkan kita, untuk lebih menghargai management by
product dan bukan by process, dengan berbagai anak-pinaknya seperti budaya
jalan pintas dan korupsi.
Dan itu
situasi yang memabukkan yang diturunkan pada generasi selanjutnya. Partai
politik pun tanpa ideologi, kecuali pada kekuasaan sempit semata. Pada sisi
itulah, perubahan menjadi kata yang sulit. Dan pertumbuhan menjadi kata yang
absurd, karena seperti ujar John Maxwell, kalau kita tumbuh, kita selalu akan
keluar dari zona nyaman kita. Sementara ideologi kita adalah kemapanan. Contoh
sederhana untuk itu, bagaimana Jokowi mendapat perlawanan dari para pembantunya
ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga kemudian Ahok penggantinya pun,
masih banyak dimusuhi anak buahnya. Perubahan memang lebih mengundang musuh,
kata Bob Kennedy.
Dan perlahan
kita menjadi bangsa yang sensitif dengan perubahan, dan begitu asing dengan
inisiatif apalagi inovasi. Meski dinyatakan merdeka sejak 1945, pada kenyataan
sampai kini pun kita bukan bangsa yang independen, melainkan dependen. Sampai
pun pada sistem pendidikan kita, yang justeru menjadikan generasi baru jauh
lebih tergantung kepada sistem, terlalu jinak, lebay, soft-generation.
Namun
memang, ini adalah situasi transisi. Partai-partai politik yang dikelola
generasi lama angkatan Megawati (Wiranto, Surya Paloh, Prabowo, Amien Rais, Yudhoyono,
Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla, Muhaimin) yang oligarkis itu, tidak akan
mungkin lagi bertahan. Pembelajaran politik selama Pemilu 2014 menyadarkan
kita, bahwa mayoritas rakyat hanya belum tahu bagaimana cara mendapatkan partai
politik yang genuine dengan kehidupan masyarakat. Bahwa pembusukan politik
adalah keniscayaan, apalagi jika para politikus bangkotan itu kini menuju
kebangkrutannya.
Sesungguhnya,
ini tantangan baru bagi generasi baru, untuk mereformasi secara gradual. Jokowi
sebagai fenomen, sesungguhnya menunjukkan bagaimana bangsa ini mendapatkan
jalan keluar. Yakni melepaskan diri dari masa lalu, menuju pada pandangan dan
cara-cara baru. Dari politik mitos menjadi politik logos. Itu soalnya.
Kita tak
bisa asal bekoar dengan revolusi total, revolusi rakyat, atau lebih tak jelas
lagi teriakan; tinggalkan partai politik. Negeri ini menjadi buruk karena
partai politik yang busuk. Saatnya memunculkan partai politik rasa baru, resep
baru, menu baru, cara masak baru, cara penyajian baru.
Empowerment
dan sharing power itu sudah didefrag oleh media social. Partisipasi public yang
antusias dalam Pemilu 2014, dengan kemenangan Jokowi, sebenarnya merupakan
sinyal menarik. Tinggal bagaimana merenungkan fenomen itu dalam sebuah
formulasi baru, yang bebas dari ideologi Orla dan Orba. Yang tidak memuja mitos
dan tokoh-tokoh, namun mengedepankan kerja, kerja, kerja.
Apakah
seperti PRD yang digagas Budiman Sudjatmiko dulu, atau Neo-PRD, atau Perindo
yang didirikan Harry Tanoesoedibyo? Lebih baru dari itu, dan bukan seperti itu.
Keduanya, serasa sudah ketinggalan jaman, sama saja. Seperti model relawan
Jokowi? Tidak. Itu juga sudah sangat kuno, dan hanya momentum.
Restorasi
parpol, adalah sia-sia. Parpol-parpol yang ada kini, perlu dirubuhkan. Tidak
dengan cakar-cakaran tentu, “cukup” dengan tidak memilih mereka pada pemilu
mendatang, dan mendirikan parpol yang sama sekali baru itu.
Orang sering
mengatakan bahwa motivasi tidak berakhir, yah, begitu juga mandi, kata Zig
Ziglar dengan nada bergurau. Itulah sebabnya, lanjut Ziglar, kami merekomendasikannya
setiap hari. Artinya: Mandilah tiap hari, dengan pandangan dan optimisme baru.
Agar kerak-kerak ideologi masa lalu lama-lama hilang dari permukaan kulit kita.
Agar
kerak-kerak seperti Abraham Samad, Hasto Kristiyanto, Puan Maharani, Budi
Gunawan, Sarpin Rizaldi, Margarito Kamis, Effendy Ghazali, Denny JA, Denny
Indrayana, Yudhoyono, Amien Rais, Bambang Soesatyo, Setya Novanto, Fahrie
Hamzah, Aziz Syamsudin, Benny Kabur Harman, Fredrich Yunandi, dan yang sejenis-jenis itu, bisa
berkurang, dan syukur tiada.
Setidaknya, di Indonesia ini, pada sudut-sudutnya yang tak tercover media, selalu tumbuh komitmen generasi baru, dengan cara mereka masing-masing, di bebagai lapangan kehidupan. Bahwa ada yang terus mendesak untuk dikerjakan, yakni keberanian untuk mengubah dan berubah.