Ketika Mahkamah Konstitusi “mengalahkan” tuntutan kubu Prabowo, dalam
keputusan KPU yang “memenangkan” Jokowi, banyak orang memuji MK dan
terutama memuja Hamdan Zoelva sebagai ketua MK. Bahkan, lelaki imut
berwajah cool itu menjadi pujaan baru kaum ibu-ibu.
Namun, senyampang dengan itu, ketika MK menolak untuk melakukan judicial review UUMD3, kredibilitas lembaga konstitusi Negara itu rontok seketika. Apalagi ketika Hamdan Zoelva, sebagai hakim agung begitu akrab meladeni media, melakukan wawancara, go public, dan bahkan terakhir hadir dalam ulang tahun Golkar sebagai partai politik. Satu perilaku etik yang patut dipertanyakan.
Hamdan Zoelva yang mantan orang partai (PBB, Partai Bulan Bintang, partai tersingkir yang “kebetulan” berkoalisi dengan kubu Prabowo), kemudian ditengarai sebagai partisan yang merontokkan legitimasi MK.
Alasan penolakan judicial review waktu itu, karena lembaga DPR berhak mengatur dirinya sendiri dan menekankan bagaimana anggota DPR akan memakai hati-nurani masing-masing dalam mengemban amanat rakyat.
Alasan penolakan yang naïf, apalagi UUMD3 bukan hanya soal tata-tertib, melainkan substansial memberikan hak-hak imunitas dalam konsekuensi pelanggaran hukum yang dilakukan anggota dewan, azas keseimbangan serta proporsionalitas serta representasi aspirasi rakyat, anti-korupsi, dan kesetaraan gender.
Dan akibat paling menonjol, dengan berlakunya UUMD3, DPR sama sekali mengabaikan hak representasi dan kepentingan rakyat, serta menonjolkan kepentingan partai politik itu sendiri. Taka da soal etika, dan apalagi hati nurani. Koalisi pro Prabowo (termasuk dalam hal ini Demokrat), lebih mengesankan sebagai wakil dari kaum oligarki partai seperti Prabowo, ARB, Anis Matta, dan SBY (sementara Hatta Radjasa sebagai ketua PAN bisa dikecualikan).
Kemenangan 5-0 koalisi Prabowo, memberikan situasi reborn pada kubu Prabowo, untuk kemudian menyapu bersih DPR sampai ke alat kelengkapannya. Dan pagi-pagi, dalam kedudukan sebagai ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, dalam waktu dan kasus berbeda, mengeluarkan pernyataan ancaman, bahwa DPR bisa melakukan hak angket (FH) dan hak interpelasi (FZ), yang jika itu dilakukan berpotensi untuk melengserkan presiden Jokowi.
Kini blunder dari UUMD3 telah berimbas ke mana-mana, termasuk dengan munculnya Ketua DPR Tandingan, yang diluncurkan partai-partai pro Jokowi. DPR kemudian terbelah, bukan representasi aspirasi rakyat (dengan hasil PDIP 18%, Golkar 14%, Gerindra 12%, Demokrat 10% dan seterusnya, melainkan koalisi Jokowi 40% dan koalisi Prabowo 60%), lebih merepresentasikan kepentingan elite kekuasaan. Tampak bahwa parlemen adalah representasi dari kepentingan kekuasaan oligarkis itu sendiri.
Apakah UUMD3 masih bisa diajukan lagi dalam judicial review? Bukan tergantung pada kegantengan Hamdan Zoelva. Namun bagaimana parlemen sosmed dan parlemen jalanan bergerak untuk mendelegitimasi DPR (yang mengaku sebagai wakil rakyat, namun sebenarnya hanya berkubu pada Prabowo dan Jokowi, alias kekuasaan semata).
Apakah bisa, sementara rakyat, fraksi fesbukiyah, masih euphoria soal kabinet Jokowi, dan riuh-rendah dalam perdebatan kontra-produktif soal boss Susi Air yang perokok dan bertato? Dan masih sibuk pula percaya media-media online yang kredibilitasnya hanyalah ‘menebar fitnah dan kebencian, menuai uang dari pemesan dan sponsor’?
Pada sisi itu, jebakan-jebakan Batman bernama kekuasaan, dan berorientasi pada kekuasaan, akan membuat kita pada demokrasi yang mencapekkan.
Sebuah pertanyaan untuk blunder politik yang lain lagi.
Namun, senyampang dengan itu, ketika MK menolak untuk melakukan judicial review UUMD3, kredibilitas lembaga konstitusi Negara itu rontok seketika. Apalagi ketika Hamdan Zoelva, sebagai hakim agung begitu akrab meladeni media, melakukan wawancara, go public, dan bahkan terakhir hadir dalam ulang tahun Golkar sebagai partai politik. Satu perilaku etik yang patut dipertanyakan.
Hamdan Zoelva yang mantan orang partai (PBB, Partai Bulan Bintang, partai tersingkir yang “kebetulan” berkoalisi dengan kubu Prabowo), kemudian ditengarai sebagai partisan yang merontokkan legitimasi MK.
Alasan penolakan judicial review waktu itu, karena lembaga DPR berhak mengatur dirinya sendiri dan menekankan bagaimana anggota DPR akan memakai hati-nurani masing-masing dalam mengemban amanat rakyat.
Alasan penolakan yang naïf, apalagi UUMD3 bukan hanya soal tata-tertib, melainkan substansial memberikan hak-hak imunitas dalam konsekuensi pelanggaran hukum yang dilakukan anggota dewan, azas keseimbangan serta proporsionalitas serta representasi aspirasi rakyat, anti-korupsi, dan kesetaraan gender.
Dan akibat paling menonjol, dengan berlakunya UUMD3, DPR sama sekali mengabaikan hak representasi dan kepentingan rakyat, serta menonjolkan kepentingan partai politik itu sendiri. Taka da soal etika, dan apalagi hati nurani. Koalisi pro Prabowo (termasuk dalam hal ini Demokrat), lebih mengesankan sebagai wakil dari kaum oligarki partai seperti Prabowo, ARB, Anis Matta, dan SBY (sementara Hatta Radjasa sebagai ketua PAN bisa dikecualikan).
Kemenangan 5-0 koalisi Prabowo, memberikan situasi reborn pada kubu Prabowo, untuk kemudian menyapu bersih DPR sampai ke alat kelengkapannya. Dan pagi-pagi, dalam kedudukan sebagai ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, dalam waktu dan kasus berbeda, mengeluarkan pernyataan ancaman, bahwa DPR bisa melakukan hak angket (FH) dan hak interpelasi (FZ), yang jika itu dilakukan berpotensi untuk melengserkan presiden Jokowi.
Kini blunder dari UUMD3 telah berimbas ke mana-mana, termasuk dengan munculnya Ketua DPR Tandingan, yang diluncurkan partai-partai pro Jokowi. DPR kemudian terbelah, bukan representasi aspirasi rakyat (dengan hasil PDIP 18%, Golkar 14%, Gerindra 12%, Demokrat 10% dan seterusnya, melainkan koalisi Jokowi 40% dan koalisi Prabowo 60%), lebih merepresentasikan kepentingan elite kekuasaan. Tampak bahwa parlemen adalah representasi dari kepentingan kekuasaan oligarkis itu sendiri.
Apakah UUMD3 masih bisa diajukan lagi dalam judicial review? Bukan tergantung pada kegantengan Hamdan Zoelva. Namun bagaimana parlemen sosmed dan parlemen jalanan bergerak untuk mendelegitimasi DPR (yang mengaku sebagai wakil rakyat, namun sebenarnya hanya berkubu pada Prabowo dan Jokowi, alias kekuasaan semata).
Apakah bisa, sementara rakyat, fraksi fesbukiyah, masih euphoria soal kabinet Jokowi, dan riuh-rendah dalam perdebatan kontra-produktif soal boss Susi Air yang perokok dan bertato? Dan masih sibuk pula percaya media-media online yang kredibilitasnya hanyalah ‘menebar fitnah dan kebencian, menuai uang dari pemesan dan sponsor’?
Pada sisi itu, jebakan-jebakan Batman bernama kekuasaan, dan berorientasi pada kekuasaan, akan membuat kita pada demokrasi yang mencapekkan.
Sebuah pertanyaan untuk blunder politik yang lain lagi.