“Hidup adalah perubahan. Pertumbuhan adalah opsional. Pilih dengan
bijak.” Entah siapa yang mengatakan hal itu. Mungkin namanya Kyai
Unknown. Namun menurut Engkong Lao Tzu dari negeri China dulu kala,
“Alam tidak terburu-buru, namun semuanya berhasil.”
Mau gempa, berhasil. Mau gunung njebluk, berhasil. Mau banjir, berhasil. Mau lumpur Lapindo membludak, PT Minarak Lapindo milik ARB, juga berhasil mendorongnya tak terkendali. Dan SBY juga berhasil menalangi ganti rugi dengan APBN.
Masih menurut Engkong Lao Tzu pula, “Sebuah perjalanan yang baik tidak memiliki rencana tetap, dan tidak berniat datang.” Agak susah menangkapnya, jika dikaitkan dengan ucapan awalnya tadi. Tapi, cobalah resapi puisi ‘Hujan Bulan Juni’ Sapardi Djoko Damono, barangkali kita sedikit akan ngerti, bagaimana kesabaran dan konsistensi menjadi kunci. Dan alam mengajari kita kesabaran itu, sesuatu yang diperjuangkan inci demi inci dipersiapkan dengan baik, dan diikuti prosesnya.
Tak ada yang meloncat-loncat, kecuali kangguru, katak, dan manusia. Padahal, semua ada tahapannya. Memiliki rencana tentu saja boleh. Tapi menurut para empu pembuat keris, jangan kaku. Hadir dan fokuslah pada tugas masing-masing. Berpikir tentang tujuan akhir, kadang akan menyebabkan situasi under-pressure dan stress.
Berfokus, dalam ujaran Confucius, adalah “apa yang engkau ingin lakukan bagi diri sendiri, jangan lakukan kepada orang lain.” Memperlakukan orang lain dengan hormat dan kebaikan, itu intinya. Tidak saling mengganggu dan mengusili. Tentu konteksnya dalam kehidupan pribadi.
Jika berkait dengan pribadi yang menentukan kehidupan publik (kayak presiden, mentri, anggota parlemen, camat, lurah, bupati, etc), tentu saja kita hormat tapi boleh mengkritiknya, sebagaimana agama juga mengajarkan hal itu (kalau agama selalu dipakai dalih). Rakyat yang sopan adalah rakyat yang kritis.
Suatu hari kehidupan akan berkedip di depan matamu. Pastikan’s worth watching. Suatu hari kamu akan mati. Mengapa tidak membuat hidupmu berharga? “Jadilah baik untuk setiap orang yang engkau temui, dan itu adalah perjuangan keras,” ujar Plato.
Kita semua akan melalui perjalanan ini bersama-sama, dan kita semua memiliki masalah kita sendiri-sendiri. Kita bukan satu-satunya yang mempunyai masalah. Namun mengingat kebaikan adalah juga mengingat orang lain, untuk menjadi baik dan membantu.
“Orang-orang menghabiskan waktu seumur hidup, untuk mencari kebahagiaan, mencari kedamaian. Mereka mengejar mimpi, sukses, sorga, dan akhirnya kecanduan, dan berharap itu semua bisa mengisi kekosongan yang mereka sebut malapetaka.
Ironisnya, satu-satunya tempat yang sebenarnya perlu kita cari itu, semuanya ada di dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan berasal dari dalam, dan mencarinya di luar diri hanya akan membawa lebih dalam ke lubang kelinci, yang tak berujung. Sebagaimana sumur tanpa dasar dalam drama absurd Arifin C. Noer.
Mau gempa, berhasil. Mau gunung njebluk, berhasil. Mau banjir, berhasil. Mau lumpur Lapindo membludak, PT Minarak Lapindo milik ARB, juga berhasil mendorongnya tak terkendali. Dan SBY juga berhasil menalangi ganti rugi dengan APBN.
Masih menurut Engkong Lao Tzu pula, “Sebuah perjalanan yang baik tidak memiliki rencana tetap, dan tidak berniat datang.” Agak susah menangkapnya, jika dikaitkan dengan ucapan awalnya tadi. Tapi, cobalah resapi puisi ‘Hujan Bulan Juni’ Sapardi Djoko Damono, barangkali kita sedikit akan ngerti, bagaimana kesabaran dan konsistensi menjadi kunci. Dan alam mengajari kita kesabaran itu, sesuatu yang diperjuangkan inci demi inci dipersiapkan dengan baik, dan diikuti prosesnya.
Tak ada yang meloncat-loncat, kecuali kangguru, katak, dan manusia. Padahal, semua ada tahapannya. Memiliki rencana tentu saja boleh. Tapi menurut para empu pembuat keris, jangan kaku. Hadir dan fokuslah pada tugas masing-masing. Berpikir tentang tujuan akhir, kadang akan menyebabkan situasi under-pressure dan stress.
Berfokus, dalam ujaran Confucius, adalah “apa yang engkau ingin lakukan bagi diri sendiri, jangan lakukan kepada orang lain.” Memperlakukan orang lain dengan hormat dan kebaikan, itu intinya. Tidak saling mengganggu dan mengusili. Tentu konteksnya dalam kehidupan pribadi.
Jika berkait dengan pribadi yang menentukan kehidupan publik (kayak presiden, mentri, anggota parlemen, camat, lurah, bupati, etc), tentu saja kita hormat tapi boleh mengkritiknya, sebagaimana agama juga mengajarkan hal itu (kalau agama selalu dipakai dalih). Rakyat yang sopan adalah rakyat yang kritis.
Suatu hari kehidupan akan berkedip di depan matamu. Pastikan’s worth watching. Suatu hari kamu akan mati. Mengapa tidak membuat hidupmu berharga? “Jadilah baik untuk setiap orang yang engkau temui, dan itu adalah perjuangan keras,” ujar Plato.
Kita semua akan melalui perjalanan ini bersama-sama, dan kita semua memiliki masalah kita sendiri-sendiri. Kita bukan satu-satunya yang mempunyai masalah. Namun mengingat kebaikan adalah juga mengingat orang lain, untuk menjadi baik dan membantu.
“Orang-orang menghabiskan waktu seumur hidup, untuk mencari kebahagiaan, mencari kedamaian. Mereka mengejar mimpi, sukses, sorga, dan akhirnya kecanduan, dan berharap itu semua bisa mengisi kekosongan yang mereka sebut malapetaka.
Ironisnya, satu-satunya tempat yang sebenarnya perlu kita cari itu, semuanya ada di dalam diri kita sendiri. Kebahagiaan berasal dari dalam, dan mencarinya di luar diri hanya akan membawa lebih dalam ke lubang kelinci, yang tak berujung. Sebagaimana sumur tanpa dasar dalam drama absurd Arifin C. Noer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar