Sesungguhnya, ketika kita memilih para caleg (calon legislatif),
adalah untuk kepentingan bagaimana kebutuhan-kebutuhan kita, rakyat, bisa
diwakili oleh para anggota legislatif. Untuk itu mereka disebut wakil rakyat.
Meski pada praktik politik selama ini, anggota legislatif
atau palemen belum meyakinkan dan memuaskan sebagai wakil rakyat, kini menjadi
lebih nyata lagi justeru setelah 16 tahun usia reformasi politik 1998 berjalan.
Kekuasaan otoriter Orde Baru yang dulu berhasil ditumbangkan, kini hendak dikukuhkan
kembali.
Koalisi Pro Prabowo (KKP), kini justeru memunculkan wajah
anggota legislatif yang lebih eksklusif, hak-hak suara rakyat yang diwakilkan
pada mereka kini bukan hanya disedot oleh fraksi (kepanjangan partai politik di
parlemen), melainkan justeru langsung diarahkan oleh partai politik itu
sendiri, dengan mempertimbangan kepentingan koalisi politik yang berhimpun di
dalamnya. Praktik yang terjadi jelas, bagaimana anggota parlemen yang berbeda
pendapat dengan koalisi tempat partai mereka berhimpun, langsung mendapat
sangsi dan bahkan pemecatan. Keanggotaannya, yang terjadi karena berhimpunnya
suara rakyat yang memilih, sama sekali dinihilkan oleh para oligarkhis partai,
yakni para elite penguasa, ketua umum dan/atau owner partai politik itu.
Rakyat kini terpaksa kembali ditarik ke politik praktis,
yakni harus juga mengawasi anggota legislatif ini, yang mestinya anggota
parlemen itu dipilih rakyat untuk mengawasi pemimpin yang dipilih rakyat.
Kenapa? Karena parlemen berpotensi mengabaikan suara rakyat, hanya karena
kalkulasi politik di mana mereka menguasai suara mayoritas parlemen yang bisa
mengubah segalanya.
Dengan komposisi majoritas koalisi kubu Prabowo, dan sudah
dibuktikan bagaimana mereka menghajar kubu pro pemerintah dengan kemenangan
UUMD3, UU Pilkada, dan berbagai implikasinya seperti menguasai unsur pimpinan
dan kelengkapan parlemen, maka bisa jadi parlemen ini akan produktif dalam
melahirkan undang-undang, yang bukan saja menguntungkan mereka tetapi memang
diarahkan bagi hiden agenda (kepentingan-kepentingan tersembunyi mereka), dan
sama sekali tak ada urusan dengan kepentingan rakyat.
Misal saja, mereka bukan hanya bisa mengarah untuk
melemahkan atau menggusur presiden, melainkan juga mengubah UU agar KPK menjadi
lemah atau dibubarkan (agar PKS bisa menyelamatkan diri dalam kasus korupsi
sapi, atau menggoalkan tujuan mereka mendirikan Negara Islam, misalnya), UU
untuk mengembalikan kekuasaan MPR (agar Prabowo terpilih sebagai presiden), UU
untuk pembayaran Lapindo 100% oleh pemerintah (agar ARB lepas bebas dari ganti
rugi), dan seterusnya, semua itu bisa dimungkinkan. Termasuk upaya untuk
menghalangi pemberantasan mafia energi dan pertambangan, dimana PAN dan
Demokrat tak perlu merasa khawatir, misalnya. Dan seterusnya.
Semua itu mungkin-mungkin saja terjadi. Dan dengan komposisi
koalisi kubu Prabowo (Gerindra, PKS, Golkar, PAN, PPP, dan Demokrat, partai
terakhir ini harus disebut karena pada praktiknya apapun yang dikatakan mereka,
fakta politiknya mereka berkhidmat pada kubu Prabowo, dan menikmati keuntungan
darinya. Perkara apa yang dikatakan SBY terlihat pro demokrasi, itu adalah
karakter khasnya dalam bermain drama).
Dalam posisi ini, sesungguhnya Jokowi-JK tak perlu terlalu
reaktif, dan semestinya kelak tetap proporsional dalam menjalankan roda
pemerintahan. Bahwa mereka didukung minoritas anggota parlemen yang
masing-masing suaranya dikendalikan kubu ‘musuh’ Jokowi (harus disebut
demikian, karena itulah juga yang dikatakan oleh Prabowo dan Amien Rais yang
selalu menyebut Jokowi sebagai ‘pihak sana’, bukan kita sebagai satu bangsa dan
Negara).
Karena reaksi-reaksi yang dimunculkan kubu Jokowi-JK justeru
akan berimbas secara negatif. Pemerintahan Jokowi-JK kelak, hanya harus
membuktikan bahwa mereka bekerja bagi bangsa dan Negara, kepada seluruh rakyat
Indonesia, baik yang waktu pilpres memilihnya atau pun tidak.
Ketentuasn demokrasi yang kita sepakati, yang mendapat suara
terbanyak itulah yang mendapatkan mandat. Tentu yang mendapat mandate harus
bertaniah pada seluruh rakyat, bangsa dan Negara, sebagaimana yang tidak
memilih juga harus memberi kepercayaan kepada pemenang untuk menjalankan
mandate itu.
Jika Amien Rais selalu menyoal antara popularitas Erick
Estrada dengan Jokowi, professor politik think-tanker koalisi kubu Prabowo ini,
seperti kata Bonie Hargens, tidak bisa membedakan antara popular dan populis.
Bahkan, sebetulnya, Erick Estrada waktu memenangkan pilpres Philipina itu hanya
memenangkan 25% suara (karenanya banyaknya capres), namun toh ia sah sebagai
menang dan presiden, dan setelahnya tak ada logika-logika yang dibangun para
lawannya bahwa 75% tidak memilih dan tidak mempercayainya. Erick Estrada tetap
terpilih sebagai presiden yang sah, dan yang dikalahkan, meski selisih suaranya
sedikit, menerima hal itu sebagai aturan demokrasi yang sudah disepakati (tidak
sebagaimana Prabowo, Amien Rais dan kubu PKS yang selalu mengungkit-ungkit
bahwa perolehan suara mereka –pemilih Prabowo, itu tak boleh dinafikan).
Dalam tinjauan sejarahnya, soal memilih pemimpin secara
langsung oleh rakyat, pemikiran Sukarno dan Mohamad Hatta sesungguhnya sama.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno jelas menguraikan itu, tapi perjalanan
situasi politik, membuat Sukarno membubarkan partai politik dan menegakkan
Demokrasi Terpimpin, yang oleh Hatta dikritik dalam Demokrasi Kita. Dalam
bukunya itu, Hatta menyebut bahwa sistem demokrasi langsung, sudah dilakukan di
desa-desa jauh sebelum Indonesia mengenal referensi mengenai demokrasi dari
Barat.
Memilih pemimpin langsung ini, juga hampir selalu
dipraktikkan pada munculnya ketokohan manusia seperti Pangeran Diponegoro,
Tuanku Imam Bonjol, Pattimura, Sukarno, dan lain sebagainya, dengan cara rakyat
melihat track-record dan mempercayainya.
Namun karena pekerjaan rakyat tak hanya mengikuti pemimpin,
mereka juga harus berkhidmat dan terikat pada kehidupan keseharian, mereka
membutuhkan wakil untuk mengawasi pemimpin yang dipercaya tersebut agar tidak
menyeleweng. Indonesia mengenal Volksraad (1918), semacam dewan perwakilan
rakyat jaman Hindia Belanda, setelah sebelumnya didorong dengan lahirnya
partai-partai politik untuk menangkap dan menyalurkan aspirasi rakyat dari
sejak awal abad 19.
Dalam perjalanan ahistoris kita paling mutakhir, setelah
pilpres 2014 dengan kekalahan Prabowo, peta politik itu terasa kembali ke titik
nadir. Demokrasi hanya milik elite, dan mereka menyimpulkan bahwa rakyat masih
bodoh. Makanya hak politik rakyat yang azasi, juga harus diwakilkan pula, meski
secara substansial sangat bisa terjadi pembiasan atau abuse of power yang tend
to corrupt itu!
Jika koalisi kubu Prabowo selalu mengatakan demokrasi
langsung kebarat-baratan, liberal, dan bertentangan dengan Pancasila,
percayalah mereka sedang ngelindur, atau memutar-balikkan fakta sejarah. Demokrasi
pada hakikatnya bukan soal barat dan timur, karena seperti kata Hatta,
demokrasi adalah hak azasi yang tumbuh pada masing-masing tanah peradaban
manusia itu tinggal.
Dalam pertumbuhan demokrasi di Perancis, Amerika, pada
awal-awalnya, tak pernah jauh berbeda dengan pertumbuhan demokrasi di mana pun,
ketika anggota masyarakat berhimpun menyuarakan kepentingannya. Demikian juga
itulah yang terjadi, ketika rakyat di negeri Nusantara ini, memilih para
pemimpinnya dan mendesakkan kepentingan-kepentingannya waktu itu, baik di
Minang, Jawa, Sunda, Bali, Dayak. Tentu saja dengan berbagai bentuknya, sesuai
dengan tingkat referensi dan keadaban saat itu.
Kita tidak sedang membela Jokowi atau pro pemerintah, namun
praktik politik koalisi kubu Prabowo, adalah sinyal berbahaya bagi pelanggaran
hak azasi manusia, di mana hak kedaulatan rakyat dalam bersuara dan
berpartisipasi dirampas atas nama demokrasi.
Atau dalam delusi demokrasi barat dan timur, sebetulnya ada
yang sedang mengagendakan demokrasi yang tidak barat dan tidak timur, yakni
demokrasi timur-tengah, demokrasi yang kafah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar