Dengan kemenangan koalisi pro Prabowo dalam pemilihan
pimpinan MPR (dini hari tadi 8/10), setidaknya, perjalanan pemerintahan Jokowi
akan mengalami kendala yang tidak ringan.
DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang menjanjikan kemennangan
bagi kubu pemerintahan Jokowi, agaknya justeru menjadi faktor kekalahan itu
sendiri. Bagaimana pun 130 suara DPD, setidaknya 40-an adalah politikus yang
semula dari partai-partai politik yang berafiliasi ke partai-partai kubu Prabowo,
sekali pun tak ada jaminan untuk itu. Namun setidaknya, bocornya surat rahasia
ARB untuk menarik anggota DPD dari Golkar (28 orang) dan sekitar 22 orang
berasal dari partai koalisi, ada hasilnya. Demikian pula turun langsungnya
Prabowo ke Senayan, cukup berpengaruh dalam lobi-lobi memecah suara DPD itu.
Kenapa DPD bisa dituding sebagai unsur kemenangan kubu
Prabowo? Dari kalkulasi di atas kertas, koalisi kubu Prabowo menguasai 313
suara (angka ini dihitung dari suara Gerindra, Golkar, PAN, PKS dan Demokrat.
Demokrat tak bisa disebut penyeimbang karena senyatanya partai ini berkoalisi
dengan kubu Prabowo. Dan hitungan angka itu tanpa menyertakan PPP yang dalam
kasus pemilihan pemimpin MPR berkoalisi ke kubu Jokowi).
Sementara koalisi kubu Jokowi (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura)
ditambah PPP, hanya mempunyai modal suara 247. Dari perbandingan angka itu
sudah jelas, koalisi kubu Prabowo sangat dominan. Penambahan dari kubu DPD yang
berjumlah 130 suara, memang memberi angka menjanjikan, yakni 377 suara bagi
kubu Jokowi. Namun siapa bisa menjamin, jika 40-an saja anggota DPD tidak kembali
berafiliasi ke koalisi Prabowo? Apalagi Osman Sapta Odang dalam pengusulan
internal DPD, hanya mengantongi dukungan 60%
dari anggota DPD sendiri untuk pengusulan sebagai ketua MPR?
Untuk memenangkan pertarungan, kubu Jokowi harus mendapatkan
90-an suara dukungan dari DPD, sedangkan kubu Prabowo hanya membutuhkan 30-an
suara. Tentu bukan pekerjaan yang ringan, karena keanggotaan DPD lebih sangat
individual, karena tak ada ikatan jelas seperti partai politik. Anggota DPD
konon mewakili daerah, namun ikatan struktural apa yang mengikatnya? Tak ada.
Karena yang ada hanya ukuran-ukuran kultural, dan itu pun sangatlah abstrak.
Apalagi, tidak semua individu anggota DPD itu kalis dari pengaruh partai
politik mereka sebelumnya. Karena kebanyakan mereka menjadi caleg DPD setelah
tidak laku atau terdepak dari partai politik.
Namun di tengah kekalahan itu, kubu Jokowi cukup
mengejutkan, karena kekalahan voting tertutup itu hanya berselisih 17 suara
(koalisi Prabowo mendapatkan 347 suara dan
koalisi Jokowi 330 suara), dengan
satu suara abstain. Hal ini menunjukkan gembar-gembor koalisi permanen dalam
politik adalah sesuatu yang nonsense. Karena selain pembelotan suara dari DPD
(juga PPP yang pro SDA dan Prabowo), suara-suara pembelotan dari Golkar,
Demokrat, PAN, ke kubu Jokowi sangat dimungkinkan. Maka selalu adagium politik
itu tak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan.
Dengan keputusan bergabung dengan koalisi kubu Jokowi, PPP
dipastikan akan dikoreksi posisinya di koalisi Prabowo, sekiranya mereka bisa
meyakinkan Demokrat secara terbuka dan solid bersama-sama. Ada banyak
keuntungan Demokrat di sini, berkaitan dengan agenda-agenda politik
ketatanegaraan yang bisa jadi dirancang oleh para die hard kubu Prabowo,
semacam Amien Rais, Akbar Tanjung dan PKS.
Beberapa agenda berbahaya kubu ini, dengan UUMD3 dan
beberapa paket rancangan untuk amandemen UUD 1945, sistem pemilihan presiden,
pembubaran KPK dan MK (ini sudah disuara oleh anggota DPR dari PAN dan katanya
harus tahun ini), bahkan impeachment, bisa mengubah peta politik nasional ke
depan. Kekuatan lama, bisa membangun benteng pengamanan dari rencana-rencana
penegakan dan penegasan hukum dalam pemerintahan Jokowi, serta upaya penegakan
pengadilan HAM atas berbagai kasus HAM di masa lalu.
Namun sepanjang pemerintahan Jokowi tetap bertaniah pada
janji-janji politiknya yang populis, dan mampu meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan menaikkan pendapatan Negara, posisinya relatif aman. Upaya
impeachment bukanlah sesuatu yang mudah, karena dengan pemerintahan yang baik,
rakyat akan jadi faktor penyeimbang kekuatan parlemen yang dikuasai total kubu
Prabowo. Tentu saja, rakyat yang
berdaulat, berani berbicara dalam berbagai cara dan saluran yang dimungkinkan
(termasuk sosmed).
Dominasi kubu prabowo di parlemen sebagai oposisi, sepanjang
proporsional ada baiknya. Pemerintahan terlalu kuat, tanpa penyeimbang di
parlemen, juga tidak bagus. Tetapi parlemen yang sangat kuat, apalagi tidak
proporsional, bisa menyandera jalannya pemerintahan.
Setelah UUMD3 kubu Prabowo sukses merampas hak suara anggota
parlemen (untuk membawa aspirasi rakyat dan menjadi artikulator kepentingan
rakyat), justeru rakyatlah kini yang mau tak mau harus mengawasi kerja-kerja
legislasi parlemen, termasuk dalam menentukan ketua-ketua lembaga tinggi Negara
seperti BPK, KPK, KJ, dan kemungkinan menentukan formasi hakim-hakim MK, yang
semuanya itu mesti mendapatkan persetujuan DPR.
Meski juga harus dikatakan, ketika MPR-DPR dikuasai kubu Prabowo,
tidaklah menjadi soal, selama pemerintahan Jokowi tetap on the track. Yang terpenting, pemerintah harus
berkhidmat pada kesejahteraan rakyat, serta tidak membiarkan kaum oligarkhis
partai berbuat seenaknya dengan agul-agul UUMD3 (yang memberi hak impunitas
pada anggota parlemen dari kasus korupsi, dan merampas hak anggota parlemen
yang diberikan oleh rakyat tapi disita oleh penguasa partai).
UUMD3 yang “dilegalkan” MK, setidaknya hanya akan bermain di
ruang pemerintah dan DPR, yang kesemuanya lebih pada kebijakan publik dan
bersifat teknis-administratif. Akan halnya penguasaan koalisi Prabowo juga
berada di ranah MPR, dengan ancaman-ancaman politik lebih mendasar karena
berkait isyu-isyu strategis dan ideologis kenegaraan, sekali lagi persoalannya
tidaklah sangat mudah.
Konstelasi politik setelah terpilihnya pimpinan MPR, setidaknya
menjadikan kekuatan koalisi kubu Prabowo semakin solid, sungguh pun dari
perolehan dalam voting tertutup itu menunjukkan kubu Jokowi juga mempunyai kekuatan
lebih berimbang, apalagi ketika PPP “berubah” ke kubu pro Jokowi, yang bisa
jadi paska 20 Oktober akan menyeret partai lain (sekalipun patut disayangkan
jika Jokowi menerima Demokrat, Golkar, atau PAN). Biarkan mereka di kubu
oposisi, dan itu lebih baik. Dengan komposisi pimpinan MPR seperti itu, Jokowi
tak perlu khawatir sekali pun didukung koalisi yang lebih kecil dibanding
kelompok Prabowo. Tidak soal, karena dalam politik ada koalisi on-off dengan
kubu lawan, dan itu soal kepiawaian berpolitik sebagai seni.
Warga Negara sipil, seperti kita, yang mestinya bisa hidup
tenang mengurusi diri-sendiri, kini dipaksa untuk bekerja mengawasi para elite
politik terus-menerus. Itu karena partai politik masih dimaknai sebagai alat
merebut kekuasaan, bukan untuk mengartikulasikan kesejahteraan rakyat, bangsa
dan Negara. Jadi? Jangan diam, sekali pun teman kita membujuk kita untuk diam
dan lebih baik mengurusi diri-sendiri. Bagaimana kita diam, kalau kehidupan
kita pribadi diusik oleh kegaduhan politik, yang berakibat pada hidup
keseharian kita?
Enambelas tahun usia reformasi, yang memakan banyak korban
nyawa, akankah kita ikhlaskan untuk dirampas kembali, oleh para elite atau
oligarkhis partai politik? Dan kita biarkan mereka bertransaksi seenaknya, atas
nama kita tapi untuk kerakusan mereka, tanpa kita bisa mengontrolnya? "Hanya karena Anda tidak mengambil
minat dalam politik, tidak berarti politik tidak akan mengambil minat pada
Anda," itu nasehat Pericles, mirip iklan rokok yang mengatakan tinggalkan
menikmati rokok sebelum rokok menikmati Anda.
Tentu saja tidak. Kita tak ingin Indonesia dalam demokrasi
jalan mundur, untuk kembali menikmati senyuman palsu Soeharto sang jenderal. Dan
para komprador menghisap kita kembali, dalam pertumbuhan ekonomi yang rendah,
utang luar negeri tak terbendung, korupsi tanpa terkontrol lagi, dan lagi-lagi
kita tepuruk jauh lebih buruk dari Orde Soeharto, dengan daya saing dan
kualitas sdm yang tetap saja rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar