Apakah
kampanye politik kita sepanjang Pemilu 2014 ini bermutu? Saya kira tidak. Bukan
kualitas masyarakat atau rakyat pemilihnya, tetapi justeru omongan comberan
para elite politiknya, baik yang ngaku berlatar agama kuat, professor politik,
atau pun para maling teriak maling.
Rakyat sudah
sangat bermutu tinggi, dengan hanya 66% yang memberikan suara sah, dan dari
jumlah itu dibagi rata kecil-kecil, hingga parpol dan elitenya montang-manting
kesulitan memposisikan capres-cawapresnya. Hiks, apa kabar Bang Ical, Pak Rhoma
Irama, dan Bung Beye?
Dengan modal
kecil dari rakyat, dengan ketidakpekaannya yang khas para elite politik main
itung-itungan, dan tak tahu diri dengan tidak memperdulikan lagi kepercayaan
minimalis yang diberikan rakyat. Koalisi asal banyak, dan kini semua mengaku
platformnya sama, visi-misinya sama. Padahal, jangankan dari sejak Mei 1998,
dari sepanjang kampanye sebelum Pileg 9 April lalu pun kita masih ingat,
omongan satu dan lainnya.
Amien Rais
menyatakan pilpres ini mirip Perang Badar. Logika sesatnya menyamakan peristiwa
17 Ramadan 2 Hijriah itu dengan pilpres
2014. Dari logika apapun, pendapat professor politik lulusan Amerika itu, hanya
menunjukkan diri sebagai pemain yang punya kepentingan. Karena itu subyektif,
dan karena itu tidak relevan. Bagaimana kalau logika itu dibalik, bahwa pasukan
kecil kaum muslim yang berjumlah 313 orang menghadapi pasukan Quraisy dari
Mekah yang jumlahnya 1.000 orang itu, dipadankan dengan koalisi kerempeng
dengan koalisi pipi tembem? Jadi bumerang bukan? Setelah bertempur
habis-habisan sekitar dua jam, pasukan muslim yang kecil bisa menghancurkan
barisan Quraisy yang tiga kali lipat jumlahnya.
Kampanye kekanak-kanakan itu mulai dari
komentar soal “Pilih dia karena tampan”, “Pilih yang ganteng dan banyak hartanya”, “Yang
tidak pilih dia diragukan kejantanannya”, “Saya yang lebih dulu pakai baju
putih”, “Yang dukung dia gila, yang dukung saya waras”, “NU sesat kalau milih
Anu”, “Kalau gitu, kita lomba ngaji aja”, “Ngurus rumahtangga nggak beres
gimana ngurus Negara”, dan pernyataan provokatif sejenis-jenis itu. Semuanya
sampah.
Sampah barang berguna? Tentu, kecuali
sampah mulut para elite politik yang lebih goblog dari hati-nurani rakyat.
Karena sampah pernyataan mereka tak bisa didaur-ulang, dan bahkan lebih mirip
predator berbentuk jasad renik yang menggerogoti akal-sehat manusia.
Dari kualitas elite semacam itu, wajar
jika yang dibawah menirunya. Pilpres seolah sorga dan neraka. Persis komentar
kaum fesbukiyah, twitteriyah, bloggeriyah, dan netizen di Indonesia, tak jauh beda. Lantas kenapa disebut elite,
pemimpin, jika tidak mampu mendistribusi dan mentransformasikan nilai-nilai
keadaban dan kepantasan pada publik? Apa yang perlu diherankan, jika di negeri
religius ini Menteri Agama bisa jadi tersangka kasus korupsi!
Pilpres mah urusan suka tidak suka. Dan
cara untuk dua hal itu cuma satu: Mengetahui latar-belakang, track-record
tindakannya. Bagaimana caranya tahu? Jokowi pernah ngapain. Prabowo pernah
ngapain. Dan apa buktinya. Gitu doang kok. Pelajari siapa mereka, dengan adil
dan beradab sesuai nilai-nilai Pancasila, titik.
Kalau sejak dalam pikiran tidak adil,
sebagaimana kata Pram, maka outputnya sama sekali tidak bermakna, bagi proses
berbangsa dan bernegara. Ciye, tinggi ya? Enggak sih, cuma lebih proporsional
dibanding mereka yang hilang akal dan nurani.
Mari kita hitung, berapa sih jumlah
elite politik dan elite masyarakat itu? Berapa sih jumlah aktivis fesbuk dan
media online itu? Tak lebih dari 10% dari 186 juta pemegang kartu suara. Apakah
suara mereka berpengaruh? Sombong banget jika menjawab iya, disamping rada
klenik juga sih. Di semua belahan dunia, rakyat pasti memilih pemimpin yang
tegas, berwibawa, jujur, amanah, tidak korup, bekerja untuk rakyat. Kodok buta
huruf yang males mandi pun, juga tahu soal itu.
Menganggap yang normatif masih penting
dikatakan, menunjuk para elite politik itu memang tak bisa menjabarkan kenapa
mereka harus dipilih. Politikus busuk ditandai dua ciri: Bagi duit, atau
diam-diam menerima mahar politik. Tanya saja Hashim Djojohadikusumo, Aburizal
Bakrie, Harry Tanoe, sudah habis berapa duit dan untuk apa saja. Untuk
tokoh-tokoh lain, pertanyaannya tinggal dibalik: Sudah dapat berapa saja, dan,
darimana saja?
Biar kelihatan agak religius, tulisan
ini perlu ditutup begini: Segala sampah itu pertanda mereka tidak bisa mengukur
dan mempraktikkan ketulusan dalam bersiyasah yang amanah. Dan hukuman untuk
itu, sebenarnyalah logis saja, sekiranya mereka berfikir. Tak ada urusan dengan
kerempeng dan pipi tembem. Salam lemper!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar