20 Mei 1998 adalah Hari Kebangkrutan Orde
Baru. Tepat hari ini, 16 tahun lampau, Soeharto menyatakan mundur dari
jabatannya selaku presiden. Sebelumnya, terjadi pergolakan politik yang
memakan korban, kaum muda dan mahasiswa yang aktif turun berdemo melawan
tiran, rakyat jelata yang entah oleh siapa digerakkan untuk menjarah
toko dan mall-mall dan kemudian terpanggang hidup-hidup, dan perkosaan brutal pada kaum perempuan "WNI Keturunan" China.
Sebuah era dengan segala absolutismenya tak mampu bertahan pada gelinjang sang kala. Kita menyebutnya waktu itu sebagai era reformasi, bangkitnya sesuatu yang baru, sama sekali baru, sedikit aneh, dan sebenarnya asing. Karena era itu tidak mengubah apa-apa, kecuali tumbuhnya perilaku liar yang tak terkendali. Sebuah perubahan tanpa sikap, yang hanya menghadirkan kekuasaan absolut para elite, namun sama sekali tidak memiliki pijakan, dan apalagi akar, yang kuat.
Absolutisme Soeharto, dari sejak ditabalkan dalam Pemilu 1971, hingga Pemilu 1997, mengajarkan begitu banyak kebohongan dan mewariskan begitu banyak kekerdilan.
Periode-periode emas era 1908, 1928, dan puncaknya pada 1945 mengantarkan kita pada negara demokrasi dengan pemilu pertama kali 1955, yang dicatat sebagai peristiwa demokrasi terbesar di dunia, dari sebuah negara baru pada waktu itu, menunjukkan bagaimana proses kaum elite bangsa ini mendidik kaum warga pada jalan kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara.
Namun sesudahnya, ketidaksabaran elite politik, sejak jaman Demokrasi Terpimpin Sukarno 1957, dan kemudian dipraktikkan secara massif oleh Soeharto, membuat proses berbangsa dan bernegara ini perlahan meniadakan yang dinamakan proses kebersamaan dan partisipasi.
Elitisme sepanjang Orde Baru menyingkirkan rakyat dari peran-peran, sebagai subyek, dan memposisikannya sebagai obyek dan sekedar angka-angka. Soeharto membakukan absolutisme itu dalam berbagai nilai. Kita hanya mengenal kebenaran dan kesalahan absolute yang dikuasai dan berada dalam ranah negara. Kita dipaksa untuk sama, diseragamkan, hingga akhirnya tidak terdidik dalam diskusi, negosiasi, karena yang muncul adalah kemutlakan-kemutlakan. Dan kebenaran mutlak serta kesalahan mutlak itu, ditentukan oleh absolutisme Soeharto hingga menjadi apa yang kita kenal sebagai Soehartoisme.
Dan ketika Soeharto lengser, tiba-tiba semuanya linglung. Kita tidak terbiasa dan terlatih dalam beda pendapat, kita tidak mampu melakukan diskusi dan negosiasi. Semua orang telah terdidik dalam ajaran pragmatisme, yang segala sesuatu diukur dari tingkat kemanfaatn, yang tidak bermanfaat tak ambil bagian. Kita disodori orientasi management by product dan bukan management by process. Hingga kemudian sampai hari ini pun kita mengenali idiom; "Hallo, piye kabare? Isih enak jamanku to?"
Padahal pada pemilu 1997 Golkar waktu itu bisa mendapatkan suara absolut di atas 70%, PDI dan PPP waktu itu berebut sisanya. Namun dalam dua tahun kemudian, Pemilu 1999, Golkar rontok hanya mendapat 15% dan PDI Perjuangan memenangi pemilu itu dengan angka 34%. Hanya dalam dua tahun, pemilu tanpa Soeharto telah membalikkan sejarah absolutisme Golkar.
Tapi, kita tak pernah mau belajar dari sejarah, dan itu sejarah buruk peradaban manusia. Kemenangan PDI Perjuangan itu, kemudian jadi rebutan elite politik dengan isu-isu SARA dan bias gender, hingga menyingkirkan Megawati dan menyelipkan Gus Dur di tikungan, dan kita terus terjebak dalam isyu-isyu primorialisme sejenis, sampai pemilu kita hari ini, dan hampir dalam setiap perhelatan Pilkada. Tidak ada sama sekali pendidikan politik itu. Partai politik telah menjadi sebuah omong kosong. Dan perilaku politik bar-bar semakin tumbuh subur.
Pemilu 2014 ini pun menunjukkan itu. Pesan rakyat dengan kecilnya perolehan suara partai politik, justeru dikorupsi para elite dalam dagang sapi bernama koalisi untuk mengusung capres. Dan kita tahu, bagaimana pertarungan politik dimaknai oleh elite dan rakyatnya?
Dan hari ini, kita lebih suka mengenang 20 Mei 1908, yang berjarak waktu 106 tahun, dibanding 20 Mei 1998, yang berjarak waktu 16 tahun. Itu lebih sebagai penanda, bahwa kita lebih nikmat bermimpi daripada mempertanyakan konsep reformasi diri kita sebagai bangsa dan negara. Lebih memilih sebagai anak murid Soehartoisme, daripada anak didik peradaban sejarah dari dokter Wahidin dan kawan-kawannya. Dan mengaku sudah hebat, ketika berani berkata kotor kepada kompetitor. Ini tragedi bangsa tohor. Tidak bisa membangun system dan begitu mudah terpesona pada sang ksatria piningit. Konsep palsu kepemimpinan korup yang tak menghendaki rakyatnya tumbuh. Dan para politikus busuk serta mereka yang mengaku sebagai elite, merasa bisa membaca apa yang belum ditulis rakyat, tapi tak bisa membaca ketika pilihan rakyat sudah dituliskan. Tidak bisa membedakan antara kebangkitan dan kebangkrutan.
Sebuah era dengan segala absolutismenya tak mampu bertahan pada gelinjang sang kala. Kita menyebutnya waktu itu sebagai era reformasi, bangkitnya sesuatu yang baru, sama sekali baru, sedikit aneh, dan sebenarnya asing. Karena era itu tidak mengubah apa-apa, kecuali tumbuhnya perilaku liar yang tak terkendali. Sebuah perubahan tanpa sikap, yang hanya menghadirkan kekuasaan absolut para elite, namun sama sekali tidak memiliki pijakan, dan apalagi akar, yang kuat.
Absolutisme Soeharto, dari sejak ditabalkan dalam Pemilu 1971, hingga Pemilu 1997, mengajarkan begitu banyak kebohongan dan mewariskan begitu banyak kekerdilan.
Periode-periode emas era 1908, 1928, dan puncaknya pada 1945 mengantarkan kita pada negara demokrasi dengan pemilu pertama kali 1955, yang dicatat sebagai peristiwa demokrasi terbesar di dunia, dari sebuah negara baru pada waktu itu, menunjukkan bagaimana proses kaum elite bangsa ini mendidik kaum warga pada jalan kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara.
Namun sesudahnya, ketidaksabaran elite politik, sejak jaman Demokrasi Terpimpin Sukarno 1957, dan kemudian dipraktikkan secara massif oleh Soeharto, membuat proses berbangsa dan bernegara ini perlahan meniadakan yang dinamakan proses kebersamaan dan partisipasi.
Elitisme sepanjang Orde Baru menyingkirkan rakyat dari peran-peran, sebagai subyek, dan memposisikannya sebagai obyek dan sekedar angka-angka. Soeharto membakukan absolutisme itu dalam berbagai nilai. Kita hanya mengenal kebenaran dan kesalahan absolute yang dikuasai dan berada dalam ranah negara. Kita dipaksa untuk sama, diseragamkan, hingga akhirnya tidak terdidik dalam diskusi, negosiasi, karena yang muncul adalah kemutlakan-kemutlakan. Dan kebenaran mutlak serta kesalahan mutlak itu, ditentukan oleh absolutisme Soeharto hingga menjadi apa yang kita kenal sebagai Soehartoisme.
Dan ketika Soeharto lengser, tiba-tiba semuanya linglung. Kita tidak terbiasa dan terlatih dalam beda pendapat, kita tidak mampu melakukan diskusi dan negosiasi. Semua orang telah terdidik dalam ajaran pragmatisme, yang segala sesuatu diukur dari tingkat kemanfaatn, yang tidak bermanfaat tak ambil bagian. Kita disodori orientasi management by product dan bukan management by process. Hingga kemudian sampai hari ini pun kita mengenali idiom; "Hallo, piye kabare? Isih enak jamanku to?"
Padahal pada pemilu 1997 Golkar waktu itu bisa mendapatkan suara absolut di atas 70%, PDI dan PPP waktu itu berebut sisanya. Namun dalam dua tahun kemudian, Pemilu 1999, Golkar rontok hanya mendapat 15% dan PDI Perjuangan memenangi pemilu itu dengan angka 34%. Hanya dalam dua tahun, pemilu tanpa Soeharto telah membalikkan sejarah absolutisme Golkar.
Tapi, kita tak pernah mau belajar dari sejarah, dan itu sejarah buruk peradaban manusia. Kemenangan PDI Perjuangan itu, kemudian jadi rebutan elite politik dengan isu-isu SARA dan bias gender, hingga menyingkirkan Megawati dan menyelipkan Gus Dur di tikungan, dan kita terus terjebak dalam isyu-isyu primorialisme sejenis, sampai pemilu kita hari ini, dan hampir dalam setiap perhelatan Pilkada. Tidak ada sama sekali pendidikan politik itu. Partai politik telah menjadi sebuah omong kosong. Dan perilaku politik bar-bar semakin tumbuh subur.
Pemilu 2014 ini pun menunjukkan itu. Pesan rakyat dengan kecilnya perolehan suara partai politik, justeru dikorupsi para elite dalam dagang sapi bernama koalisi untuk mengusung capres. Dan kita tahu, bagaimana pertarungan politik dimaknai oleh elite dan rakyatnya?
Dan hari ini, kita lebih suka mengenang 20 Mei 1908, yang berjarak waktu 106 tahun, dibanding 20 Mei 1998, yang berjarak waktu 16 tahun. Itu lebih sebagai penanda, bahwa kita lebih nikmat bermimpi daripada mempertanyakan konsep reformasi diri kita sebagai bangsa dan negara. Lebih memilih sebagai anak murid Soehartoisme, daripada anak didik peradaban sejarah dari dokter Wahidin dan kawan-kawannya. Dan mengaku sudah hebat, ketika berani berkata kotor kepada kompetitor. Ini tragedi bangsa tohor. Tidak bisa membangun system dan begitu mudah terpesona pada sang ksatria piningit. Konsep palsu kepemimpinan korup yang tak menghendaki rakyatnya tumbuh. Dan para politikus busuk serta mereka yang mengaku sebagai elite, merasa bisa membaca apa yang belum ditulis rakyat, tapi tak bisa membaca ketika pilihan rakyat sudah dituliskan. Tidak bisa membedakan antara kebangkitan dan kebangkrutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar