Tentu saja hadirnya revolusi teknologi, mengubah pola komunikasi yang bersifat konvensional, topdown dan mungkin bersifat demagog. Setidaknya, kini setiap manusia, yang mampu (dan dipaksa mampu) secara ekonomis, bisa merasakannya. Dengan gadget di tangan, bukan hanya kemampuan mengakses informasi, melainkan juga memproduksi dan mendistribusi pendapat dan pikirannya, bisa dilakukan. Dan semuanya berlangsung dengan sangat bebasnya, serta boleh dikata tanpa kendali. Termasuk dengan tidak mengetahuinya pun, kita semua boleh terlibat dalam lalu-lalang komunikasi lintas sektoral ini.
Twitter, facebook, dan berbagai jenis media sosial lainnya, langsung berada dalam genggaman siapapun yang memiliki perangkat teknologi itu. Bahkan, konon, dengan biaya yang sangat murah, meski tidak jika dibanding dengan apa yang bisa di nikmati beberapa negara di luar Indonesia.
Siapa saja bisa membaca apa saja, dan siapa saja bisa merespons dan bereaksi terhadap apa dan siapa saja. Tanpa kendala apapun, kecuali biaya mendapatkan jaringan tentu saja.
Dalam kaitan dengan Pemilu 2014, baik itu pileg maupun pilpres, kita bisa merasakan, bagaimana dunia maya kita khususnya twitter dan fesbuk (perlu juga ditambah media online yang menggunakan blog gratisan dan berbayar), tumpah ruah informasi dalam kelas apapun, dengan arus komunikasi salang-tunjang.
Indonesia yang tak pernah melampaui fase literasi (dengan tingkat pertumbuhan industri perbukuan yang stagnan dan cenderung turun), tiba-tiba berhadapan dengan media yang memaksa mau tak mau harus memakai "tulisan" sebagai alatnya. Maka dengan mudah kita mengenali, bagaimana masyarakat yang tidak terdidik dan terlatih menggunakan media komunikasi tulisan, tiba-tiba harus memakai perangkat teknologi seperti itu. Bahasa lisan, dengan begitu saja berpindah menjadi bahasa tulis.
Apakah ini baik atau buruk? Ada banyak pendapat bisa disampaikan, dengan berbagai latar belakang tinjauan. Dalam kaitan demokratisasi, atau dalam kaitan kualitas partisipasi, semuanya mempunyai positif dan negatifnya. Tentu, kita perlu secara hati-hati mengambil kesimpulan dengan masing-masing resikonya.
Tanpa bimbingan pengetahuan, dan kualitas pemahaman terhadap suatu masalah, tentu kemudahan berkomunikasi juga akan melahirkan efek bola salju. Tiadanya daya-kritis, misalnya, akan membuat kualitas komunikasi menjadi begitu bias, tidak bisa membedakan apa yang diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi. Informasi menjadi bola liar, yang ditendang ke sana-kemari, dan bisa jadi menjadi makin membesar.
Dalam kaitan pileg dan pilpres, misalnya, komunikasi dan informasi yang terjadi, lebih didorong aspek kepentingan masing-masing penggunanya. Sudah barang tentu, secara psikologi komunikasi, hal tersebut wajar. Namun sudah barang tentu pula, kualitas informasi dan kualitas komunikasi, menjadi tidak penting. Karena yang mesti dipenuhi, dan dipilih terlebih dulu, bagaimana faktor subyektif terpenuhi dalam kaitan kepentingan masing-masing pihak.
Daya kritis yang tak ada, atau karena karakter media yang dipakainya memberi kemudahan, membuat mata rantai komunikasi penuh bias, hingga komunike dari komunikan pertama ke komunikan berikutnya, bisa kembali ke komunikan pertama dalam bentuk yang sama sekali berbeda, dan bahkan bisa bertolak belakang.
Sementara itu, media-media massa yang semula mengabdi pada kepentingan massa, begitu mengabdi pada kepentingan kelompok, komunitas, dan bahkan pribadi lembaganya, akan juga mengalami akibat yang sama. Munculnya banyak pembiasan. Tidak ada lagi perbedaan antara berita dan opini, fakta dan fiksi, karena karakter media dan bias komunikasinya, memungkinkan untuk memilih, memilah, dan menentukan fakta-fakta apa yang patut dan tidak patut diproduksi dan didistribusi. Lihat contoh bagaimana ketika CEO Vivanews, Nindya Bakrie, marah pada awak medianya, yang dianggapnya kecolongan dengan memasang iklan Jokowi pada kolom yang dianggapnya keramat. Tak peduli itu iklan berbayar, karena Jokowi tentu harus dipandang sebagai lawan politik kompetitor ARB yang sesama maju sebagai Capres RI 2014. ARB kita semua tentu tahu, adalah owner dan sekaligus ayah Nindya Bakrie.
Contoh-contoh media massa (online) yang kemudian tak lebih sama dengan sosmed, terjadi pada media-media online lainnya pula, entah itu TribunNews, Merdeka, Rakyat Merdeka, atau bahkan media-media sejenis seperti Hidayatullah, VOA-Islam, dan lain sebagainya. Mereka tidak lagi mencerminkan sebagai media massa untuk kepentingan massa, melainkan media kelompok kepentingan untuk menyuarakan kepentingannya tentu. Sekali pun akan ada alasan kepentingannya adalah menjaga dan mengabdi kepentingan massa. Sayangnya, alasan yang sering dipakai ini tidak memiliki ukuran memadai, karena tolok ukurnya adalah kembali ke kepentingan masing-masing, sehingga kehilangan nalar untuk adil dalam menilai, dengan tolok ukur dan perbandingan obyektif, dan apalagi membuka ruang bagi perbedaan pendapat dan perbandingan.
Informasi (yang mestinya berangkat dari kebenaran dan fakta obyektif), perlahan berubah menjadi informasi yang muncul dari pendapat subyektif orang-perorang atau kelompok per kelompok kepentingan. Banyak media-media massa online yang kemudian pola kerjanya juga sama dengan para pemilik akun twitter dan fesbuk. Informasi-informasi tanpa konfirmasi seimbang, tak bisa diverifikasi, dan selalu muncul dalam satu sisi pandangnya semata.
Pada sisi itu, mau tak mau, masyarakat yang tidak ingin terjebak dan terombang-ambing dalam perang informasi, harus bisa melihat, apa pesan tersirat dan tersuratnya dalam konteks kepentingannya. Informasi itu dari mana dan siapa. Kepentingan-kepentingan mereka apa. Dan kemudian apa yang diinginkan dari pesannya?
Informasi yang memposisikan si A buruk dan jahat, tanpa perbandingan dan tanpa menyodorkan fakta-fakta peristiwa yang valid dan akurat, dan muncul dari pendapat seseorang atau lembaga yang tidak menyukai A, adalah informasi yang tidak berharga dari sisi kebenaran obyektif yang mesti dijunjung tinggi. Dan menjadi makin tidak berharga, ketika kemudian muncul pesan implisit maupun eksplisit dari sana, agar pembaca memilih si B yang menjadi lawan atau kompetitor si A.
Artinya, sesungguhnya mudah saja, jika kita hendak sedikit memakai nalar dan kewarasan kita. Tetapi, faktor kepentingan subyektif yang dominan, sering pada sisi lain sesunguhnya justeru membuat semua komunikasi dan informasi tersebut sama sekali tidak berarti, tidak efektif, karena satu-sama lain komunikan dan komunikator tidak terlatih dalam perbedaan pendapat. Yang muncul kemudian adalah pengelompokan kepentingan secara alamiah. Orang menghindari perbedaan (yang dinilai tidak penting, tidak produktif), dan lebih memilih kenyamanan dengan orang yang memiliki kesamaan pendapat, pilihan, dan kepentingan.
Itu artinya, kualitas komunikasi dan informasi kita tidak sangat efektif, dan bahkan tidak effisien digunakan. Mengapa?
Bisa jadi ada dua penyebab; Karena kuatnya situasi psikoideologis masing-masing pihak, atau justeru sebenarnya lebih karena kualitas komunikasi dan informasi yang tidak canggih.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi, tidak dengan sendirinya membawa perubahan sikap dan cara berkomunikasi kita. Sehingga berinternet pun, sesederhana apapun dengan twitter atau fesbuk, tidak dibarengi dengan peningkatan sikap dan cara memakai teknologi komunikasi itu dengan segala karakternya. Sebagaimana dalam musik campursari, alat musik modern yang lengkap seperti keyboard itu, sering diperlakukan sebagaimana alat perkusi, yang bilah-bilah nadanya diperlakukan sama dengan bilah-bilah saron sebagai alat musik perkusi.
Pasalnya, berapa orang Indonesia menggunakan internet dan memakainya sebagai alat berkomunikasi dan bertukar informasi, dalam konteks sosial dan apalagi politik? Dari sana, kita bisa tahu, bahwa Indonesia memang masih terbelakang, dan sering terjebak dalam hal-hal yang tidak penting dan substansial.
Twitter, facebook, dan berbagai jenis media sosial lainnya, langsung berada dalam genggaman siapapun yang memiliki perangkat teknologi itu. Bahkan, konon, dengan biaya yang sangat murah, meski tidak jika dibanding dengan apa yang bisa di nikmati beberapa negara di luar Indonesia.
Siapa saja bisa membaca apa saja, dan siapa saja bisa merespons dan bereaksi terhadap apa dan siapa saja. Tanpa kendala apapun, kecuali biaya mendapatkan jaringan tentu saja.
Dalam kaitan dengan Pemilu 2014, baik itu pileg maupun pilpres, kita bisa merasakan, bagaimana dunia maya kita khususnya twitter dan fesbuk (perlu juga ditambah media online yang menggunakan blog gratisan dan berbayar), tumpah ruah informasi dalam kelas apapun, dengan arus komunikasi salang-tunjang.
Indonesia yang tak pernah melampaui fase literasi (dengan tingkat pertumbuhan industri perbukuan yang stagnan dan cenderung turun), tiba-tiba berhadapan dengan media yang memaksa mau tak mau harus memakai "tulisan" sebagai alatnya. Maka dengan mudah kita mengenali, bagaimana masyarakat yang tidak terdidik dan terlatih menggunakan media komunikasi tulisan, tiba-tiba harus memakai perangkat teknologi seperti itu. Bahasa lisan, dengan begitu saja berpindah menjadi bahasa tulis.
Apakah ini baik atau buruk? Ada banyak pendapat bisa disampaikan, dengan berbagai latar belakang tinjauan. Dalam kaitan demokratisasi, atau dalam kaitan kualitas partisipasi, semuanya mempunyai positif dan negatifnya. Tentu, kita perlu secara hati-hati mengambil kesimpulan dengan masing-masing resikonya.
Tanpa bimbingan pengetahuan, dan kualitas pemahaman terhadap suatu masalah, tentu kemudahan berkomunikasi juga akan melahirkan efek bola salju. Tiadanya daya-kritis, misalnya, akan membuat kualitas komunikasi menjadi begitu bias, tidak bisa membedakan apa yang diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi. Informasi menjadi bola liar, yang ditendang ke sana-kemari, dan bisa jadi menjadi makin membesar.
Dalam kaitan pileg dan pilpres, misalnya, komunikasi dan informasi yang terjadi, lebih didorong aspek kepentingan masing-masing penggunanya. Sudah barang tentu, secara psikologi komunikasi, hal tersebut wajar. Namun sudah barang tentu pula, kualitas informasi dan kualitas komunikasi, menjadi tidak penting. Karena yang mesti dipenuhi, dan dipilih terlebih dulu, bagaimana faktor subyektif terpenuhi dalam kaitan kepentingan masing-masing pihak.
Daya kritis yang tak ada, atau karena karakter media yang dipakainya memberi kemudahan, membuat mata rantai komunikasi penuh bias, hingga komunike dari komunikan pertama ke komunikan berikutnya, bisa kembali ke komunikan pertama dalam bentuk yang sama sekali berbeda, dan bahkan bisa bertolak belakang.
Sementara itu, media-media massa yang semula mengabdi pada kepentingan massa, begitu mengabdi pada kepentingan kelompok, komunitas, dan bahkan pribadi lembaganya, akan juga mengalami akibat yang sama. Munculnya banyak pembiasan. Tidak ada lagi perbedaan antara berita dan opini, fakta dan fiksi, karena karakter media dan bias komunikasinya, memungkinkan untuk memilih, memilah, dan menentukan fakta-fakta apa yang patut dan tidak patut diproduksi dan didistribusi. Lihat contoh bagaimana ketika CEO Vivanews, Nindya Bakrie, marah pada awak medianya, yang dianggapnya kecolongan dengan memasang iklan Jokowi pada kolom yang dianggapnya keramat. Tak peduli itu iklan berbayar, karena Jokowi tentu harus dipandang sebagai lawan politik kompetitor ARB yang sesama maju sebagai Capres RI 2014. ARB kita semua tentu tahu, adalah owner dan sekaligus ayah Nindya Bakrie.
Contoh-contoh media massa (online) yang kemudian tak lebih sama dengan sosmed, terjadi pada media-media online lainnya pula, entah itu TribunNews, Merdeka, Rakyat Merdeka, atau bahkan media-media sejenis seperti Hidayatullah, VOA-Islam, dan lain sebagainya. Mereka tidak lagi mencerminkan sebagai media massa untuk kepentingan massa, melainkan media kelompok kepentingan untuk menyuarakan kepentingannya tentu. Sekali pun akan ada alasan kepentingannya adalah menjaga dan mengabdi kepentingan massa. Sayangnya, alasan yang sering dipakai ini tidak memiliki ukuran memadai, karena tolok ukurnya adalah kembali ke kepentingan masing-masing, sehingga kehilangan nalar untuk adil dalam menilai, dengan tolok ukur dan perbandingan obyektif, dan apalagi membuka ruang bagi perbedaan pendapat dan perbandingan.
Informasi (yang mestinya berangkat dari kebenaran dan fakta obyektif), perlahan berubah menjadi informasi yang muncul dari pendapat subyektif orang-perorang atau kelompok per kelompok kepentingan. Banyak media-media massa online yang kemudian pola kerjanya juga sama dengan para pemilik akun twitter dan fesbuk. Informasi-informasi tanpa konfirmasi seimbang, tak bisa diverifikasi, dan selalu muncul dalam satu sisi pandangnya semata.
Pada sisi itu, mau tak mau, masyarakat yang tidak ingin terjebak dan terombang-ambing dalam perang informasi, harus bisa melihat, apa pesan tersirat dan tersuratnya dalam konteks kepentingannya. Informasi itu dari mana dan siapa. Kepentingan-kepentingan mereka apa. Dan kemudian apa yang diinginkan dari pesannya?
Informasi yang memposisikan si A buruk dan jahat, tanpa perbandingan dan tanpa menyodorkan fakta-fakta peristiwa yang valid dan akurat, dan muncul dari pendapat seseorang atau lembaga yang tidak menyukai A, adalah informasi yang tidak berharga dari sisi kebenaran obyektif yang mesti dijunjung tinggi. Dan menjadi makin tidak berharga, ketika kemudian muncul pesan implisit maupun eksplisit dari sana, agar pembaca memilih si B yang menjadi lawan atau kompetitor si A.
Artinya, sesungguhnya mudah saja, jika kita hendak sedikit memakai nalar dan kewarasan kita. Tetapi, faktor kepentingan subyektif yang dominan, sering pada sisi lain sesunguhnya justeru membuat semua komunikasi dan informasi tersebut sama sekali tidak berarti, tidak efektif, karena satu-sama lain komunikan dan komunikator tidak terlatih dalam perbedaan pendapat. Yang muncul kemudian adalah pengelompokan kepentingan secara alamiah. Orang menghindari perbedaan (yang dinilai tidak penting, tidak produktif), dan lebih memilih kenyamanan dengan orang yang memiliki kesamaan pendapat, pilihan, dan kepentingan.
Itu artinya, kualitas komunikasi dan informasi kita tidak sangat efektif, dan bahkan tidak effisien digunakan. Mengapa?
Bisa jadi ada dua penyebab; Karena kuatnya situasi psikoideologis masing-masing pihak, atau justeru sebenarnya lebih karena kualitas komunikasi dan informasi yang tidak canggih.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi, tidak dengan sendirinya membawa perubahan sikap dan cara berkomunikasi kita. Sehingga berinternet pun, sesederhana apapun dengan twitter atau fesbuk, tidak dibarengi dengan peningkatan sikap dan cara memakai teknologi komunikasi itu dengan segala karakternya. Sebagaimana dalam musik campursari, alat musik modern yang lengkap seperti keyboard itu, sering diperlakukan sebagaimana alat perkusi, yang bilah-bilah nadanya diperlakukan sama dengan bilah-bilah saron sebagai alat musik perkusi.
Pasalnya, berapa orang Indonesia menggunakan internet dan memakainya sebagai alat berkomunikasi dan bertukar informasi, dalam konteks sosial dan apalagi politik? Dari sana, kita bisa tahu, bahwa Indonesia memang masih terbelakang, dan sering terjebak dalam hal-hal yang tidak penting dan substansial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar