Pangeran Dipanegara, umumnya ditulis Diponegoro, dikenal
sebagai pejuang, pahlawan nasional, yang mengobarkan semangat perlawanan pada
penjajah. Perang Jawa, atau Perang Dipanegara pada 1825-1830, dikenal sebagai
perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. Pemerintahan
Hindia Belanda mengalami banyak kerugian, termasuk dikuras habis-habisan
pundi-pundi uangnya, untuk membiayai operasi penumpasan pangeran Jawa itu.
Namun adakah yang mengerti, Pangeran Dipanegara juga
seorang penulis, sastrawan, yang dengan faset pemikirannya pantas disebut oleh
apa yang sekarang dikenal dengan nama “budayawan”? Dalam Serat Babad Dipanegara
yang diwariskannya pada generasi kemudian, kita akan melihat hal tersebut.
Dipanegara lahir di Yogyakarta. 11 Nopember 1785, putra
sulung Sri Sultan Hamengku Buwana III, raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
yang lahir dari garwa selir (bukan permaisuri) bernama Raden Ayu Mangkarawati.
Dipanegara kecil diberi nama Mustahar oleh ayahnya, yang kemudian pada waktu
remaja dan mendapat gelar, namanya menjadi Raden Mas Antawirya.
Dalam tradisi keningratan Jawa (keningratan adalah
nilai-nilai kemuliaan manusia, bedakan dengan faham feodalisme sebagai
life-style dan pandangan hidup), semua anak-anak dari Hamengku Buwana diasuh
dalam satu system pengasuhan oleh abdi-dalem (pekerja professional) di bidang
masing-masing. Termasuk untuk memperdalam Alquran dan mempelajari kitab-kita
agama.
Walaupun putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok
kraton, di lingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah asuhan nenek buyutnya,
Kanjeng Ratu Ageng (janda mendiang Sultan HB I).
Dalam naskah babad dikisahkan: beberapa hari
setelah Dipanegara lahir, Hamengku Buwana I meminta pada isterinya untuk
melihat cicitnya tersebut. Sambil mengamati bayi di pangkuannya, raja
pertama Mataram itu meyakini bahwa kelak anak tersebut akan menjadi tokoh yang
jauh lebih besar dari dirinya, dan akan menimbulkan kerusakan besar pada
Belanda. Selanjutnya pendiri kraton Mataram itu meminta agar isterinya merawat
sendiri bayi tersebut (Peter Carey, dalam makalah ceramahnya di Universitas
Diponegoro, Semarang, 26 Maret 1991, Masa Remaja Pangeran Dipanegara:
Pendidikan Seorang Satria yang Berbudi).
Sepeninggal suaminya, Ratu Ageng membawa cicitnya ke
kediamannya di Tegalrejo, sebuah desa terpencil beberapa kilometer arah
barat-daya istana karaton Ngayogyakarta. Di sanalah Dipanegara dibesarkan dan
dididik sebagai layaknya bangsawan Jawa, sekaligus seorang santri yang
taat beragama.
Namun di samping itu, Dipanegara juga banyak membaca
naskah-naskah sastra Jawa berupa suluk, kekawin dan babad. Di masa kecil, konon
ia sering dipanggil oleh kakek buyutnya, untuk membacakan naskah-naskah
tersebut.
Karena itu menarik mencermati catatan-catatan sejarah
mengenai Pangeran Dipanegara yang sangat beragam, dan susah dilacak sumber
asalinya. Terutama soal adanya pengakuan
Dipanegara bahwa dirinya tidak bisa membaca dan menulis. Pengakuan itu sering
muncul saat berurusan dengan pihak pemerintahan Belanda.
Namun dalam biografinya, yang kita kenal kemudian sebagai
Serat Babad Dipanegara, sang pangeran menulis saat sebagai Wali Sultan disodori
sebuah surat perjanjian yang dibuat Belanda;
Kangjeng Pangeran tan apti,
kinen maos kewala mapan tan bisa,
jinalukan tanda-asma,
ngandika tan bisa nulis.
Kanjeng Pangeran agaknya kurang berkenan,
disuruh membaca saja mengaku tak bisa, ketika diminta tanda tangan
mengatakan tak bisa menulis; Babad Dipanegara, hal. 91.
Dalam kasus tersebut jelas, pengakuan (tak bisa
baca-tulis) itu hanya dipakai sebagai alas an, untuk tidak menyangkutkan diri
pada perjanjian tersebut. Begitu juga dengan banyak pengakuan yang sama dalam
kasus lain.
Banyak orang menduga, hal tersebut dilakukan karena
terdorong oleh sifatnya yang rendah hati, sebagaimana ciri umum kalangan bangsa
Jawa pada masa itu. Namun kemungkinan lain, ialah keinginannya untuk sedapat
mungkin meniru jejak nabi Muhammad shallallahu allaihi wassallam. Sebagaimana
bisa kit abaca dalam sejarah Muhammad ketika didatangi Malaikat Jibril di gua
Hira’.
Sang malaikat atas perintah Allah, berkata pada Muhammad,
“Bacalah!”
Namun sang nabi menjawab, “Saya tak tahu membaca”
Namun pengakuan Dipanegara ini ditolak oleh pernyataan
Louw PJF., dalam tulisannya De Java Oorlog (1825-1830), Deel I, Batavia: M.
Nijhoff (1893) yang mengatakan: “Hij schrijft de Javaansche taal, doch zeer
slecht.” Dia dapat menulis dalam bahasa Jawa, tetapi jelek sekali.
Kesaksian lain muncul dari Letnan Knoerle, yang
mengantarkan Dipanegara dalam perjalanan ke Menado seusai penangkapan di
Magelang. Dalam laporan Knoerle antara lain menuliskan: "In de eerste
dagen van onze reis verzekerde mij de Prins, dat hij het schrijven onkundig
was; later echter zich op den toon eener meer vertrouwelijke mededeeling
gevestigd hebbende, dat mij Diepo Negoro te kennen, dat hij de Javaansche taal
gebrekkig schreef."
Pada hari-hari pertama dari perjalanan kami, demikian
laporan Knoerle, sang Pangeran memberitahu saya bahwa dia tak dapat menulis,
tetapi beberapa waktu kemudian, ketika kami sudah saling mengenal satu sama
lain dengan lebih baik, Dipanegara memberitahu bahwa dia dapat menulis bahasa
Jawa, tetapi tidak pandai.
Terlepas dari pengakuan tersebut, setelah
Dipanegara berada di tempat pengasingan di Menado dan Makasar, ternyata
berhasil menyusun naskah babad. Sebuah naskah dalam bentuk tulisan tangan tidak
kurang dari 800 halaman. Naskah dalam bentuk tembang itu, ternyata sangat susah
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Mengenai sulitnya penerjemahan Van Praag
menulis: Calon penterjemah amat banyak. Kontrolir-kontrolir dari
pendapatan negara dan perkebunan-perkebunan, seorang komisiner dari salah satu
departemen pemerintahan umum, seorang guru, memajukan lamaran. Masing-masing
dikirimi suatu bagian untuk diterjemahkan. Beberapa orang mengirimkannya
kembali, tanpa berbuat suatu apapun, yang lain mengirimkan hasil kerjanya, yang
membuat ahli bahasa Jawa Cohen Stuart ngeri melihatnya, . . . (S. van
Praag, Onrust op Java, Amsterdam,
1947).
Kenyataannya, naskah babad yang kemudian kita kenal
sebagai Babad Dipanegara itu memang luar biasa. Seluruhnya terdiri dari
2.439 bait. Terbagi menjadi 17 pupuh (stanza):
1). Sinom (46 bait),
2). Asmaradana (160),
3). Pangkur (134),
4). Mijil (168),
5). Kinanti (140),
6). Sinom (100),
7). Dandanggula (80),
8). Durma (150),
9). Asmaradana (109),
10). Girisa (133),
11). Maskumambang (109),
12). Pangkur (247),
13). Megatruh (160),
14). Pocung (218),
15). Sinom (116),
16). Dandanggula (100), dan
17). Asmaradana (149).
Penguasaan terhadap sastra Jawa terlihat sangat kuat. Hal
itu terbukti dari digunakannya sebelas jenis tembang macapat. Dari tembang gede
(tembang klasik dengan cengkok nada yang rumit, seperti Girisa, Megatruh,
Durma, Maskumambang), tembang tengahan (Sinom, Dhandhangula, Asmaradhana,
Pangkur), dan tembang alit (Mijil, Kinanti, Pocung).
Artinya, hampir seluruh tembang macapat dipakai untuk
mengungkap perasaan yang tersembunyi dalam kalbunya. Tembang macapat sebuah
puisi yang rumit, karena ia bukan sekedar mengekspresikan kata, melainkan juga
menyusun makna dengan aturan yang ketat, dari jenis tembang macapat yang satu
sama lain berkarakter berbeda (mewakili kegelisahan, kegembiraan, harapan,
kemarahan, permenungan jiwa).
Dan masing-masing jenis tembang tersebut diatur ketat
masing-masing jumlah barisnya, pola persanjakannya (guru lagu, suku kata akhir
dalam setiap barisnya), serta ketukan ritme (guru wilangan, jumlah suku kata
per-baris). Ketatnya aturan, tak sekedar penulis menghafal pola tersebut,
melainkan bagaimana mencari jenis tembang yang tepat dan sesuai dengan isi yang
dikandung. Dari sana kemudian bagaimana kekayaan bahasanya, kosakata, yang
membuat seorang penulis bisa berakrobat, jungkir-balik, meliuk-liuk untuk
memilih-milih kata yang bukan saja dari segi makna benar, namun dari segi
melodi juga harus nges (sesuai, indah, impressif).
Apa yang ditulis dalam Babad Dipanegara itu antara lain
mengenai situasi Yogyakarta pada masa Sultan HB II, termasuk adanya
Perang Sepehi pada waktu kekuasaan Inggris, juga permusuhannya dengan Daendels,
pecahnya Perang Jawa hingga dengan penangkapan dan pembuangannya ke Menado dan
Makasar.
Dalam Perang Jawa, Dipanegara figur sentral dalam sejarah
pemberontakan pada pemerintahan Hindia Belanda 1825-1830 itu. Dari apa yang
dituliskannya dalam Babad Dipanegara, terlihat ia memiliki faset kehidupan yang
memukau.
Dalam kaitannya dengan perang, orang melihat dia sebagai
sosok ksatria Jawa atau prajurit, panglima perang yang sakti dan
digdaya, tiada tanding. Hal itu barangkali muncul dari pesona pribadinya, yang
dibangun dalam suatu karakter yang ‘his lover’.
Bagaimana pun juga, Dipanegara kanak-kanak dan remaja,
masih merasakan euphoria kemenangan Hamengku Buwana I bagi berdirinya Kraton
Ngayogyakarta waktu itu.
Satu hal yang pasti, nilai idealitas pada waktu itu
adalah sosok super-hero. Dalam kehidupan sehari-hari, Dipanegara banyak
mencontoh dan mengikuti sifat serta perilaku nabi Muhammad. Hidupnya amat
bersahaja, baik dalam cara berpakaian, makan maupun pergaulannya dengan orang
kecil.
Dipanegara sering menyamar sebagai orang kebanyakan.
Mengenakan ikat kepala dan kain wulung, serta berbaju hitam. Ia sering
bergabung dengan santri di pondok-pondok pesantren di berbagai pedesaan dengan
nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera
pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu dia juga suka mengembara.
Masuk-keluar hutan, dan tinggal di gua-gua untuk bertapa (khalwat).
Apa yang dilakukan Dipanegara remaja, sesungguhnya tidak
sangat istimewa. Karena hal tersebut agaknya menjadi pola umum yang berlaku pada
kalangan pemuda di masa itu. Hingga masa pemerintahan Sultan HB II, masyarakat
Yogyakarta masih diliputi eforia kemenangan perang Mangukubumi (Hamengku Buwana
I). Maka upaya memperdalam ilmu kanuragan, ketrampilan bermain senjata,
menunggang kuda, juga landasan laku batin seperti tirakat, puasa, bertapa di
gua keramat, mendapat tempat khusus di kalangan anak muda. Sesuai dengan
situasi dan kondisi jamannya, Dipanegara muda tentunya juga kepo, dan tidak
terlepas dari kebiasaan yang berlaku saat itu.
Dari cara dia mengungkapkan perasaan serta kesaksiannya
terhadap berbagai peristiwa, atau pun mengurai suatu kasus, menunjukkan
ketajaman pikiran dan kuatnya daya ingat.
Selain sebagai karya sastra, tulisan Dipanegara tersebut
juga bisa dianggap sebagai naskah sejarah. Bagi peneliti sejarah, karya
tersebut memiliki nilai tersendiri karena memberi banyak informasi yang tidak
bakal dijumpai dalam arsip maupun dokumen resmi pemerintah kolonial, walaupun
untuk menggunakannya diperlukan sikap ekstra hati-hati. Namun, sebagaimana ujar
Khalifah Ali, ikatlah ilmu dengan menulis. Karena dengan demikian, ia
mewariskan pada generasi berikutnya untuk menjadi manusia pembelajar.
Sebagaimana Kartini menjadi penting, karena ia meninggalkan pokok-pokok pikiran
yang dituliskannya. Sebagaimana kemudian dari sana, untuk hal Dipanegara, Peter
Carrey dan Remy Sylado bisa menuliskan bagi generasi sekarang, untuk belajar
dari sejarah.
Pada sisi lain ternyata, Dipanegara memiliki
kemampuan kreatif dalam berimaginasi, dan memiliki citarasa estetis cukup tinggi,
khususnya dalam bidang arsitektur. Hal itu tercermin dari tata ruang kawasan
dan rancang bangun arsitektur di kawasan situs Tegalrejo, Seloharjo, Selarong,
dan Mataraman. Itulah sebabnya juga, dari sisi ego-pribadi, kemarahan
Dipanegara Nampak wajar, ketika pemerintahan Hindi Belanda dengan sengaja
merusak harmoni situs Tegalrejo, dengan membangun rel kereta api membelah
daerah kekuasaan Dipanegara tersebut. Ini hal wajar, sebagaimana munculnya
pahlawan-pahlawan Amerika ketika pemerintahan federal membangun jaringan kereta
api.
Dari karya biografinya terlihat bahwa bakatnya yang lain,
yang membuktikan bahwa pada dirinya mengalir darah sastrawan, sekaligus
juga sejarawan yang baik.
Pangeran Dipanegara wafat di Makassar, Sulawesi Selatan
pada 8 Januari 1855, dengan meninggalkan pesona yang bisa dibaca dan
dipelajari. Warisan tulisannya, adalah wasiat seorang pejuang dan sekaligus
budayawan. Artinya, kepahlawanan tidaklah harus dipandang dari sejarah heroisme
yang militeristik, melainkan juga impuls pemikirannya mengenai kehidupan itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar