Oleh Sunardian Wirodono
Para elite politik dengan partai politik masing-masing, bisa saja bertindak atas nama undang-undang, merampok harta kekayaan negara, dengan alasan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat jelata. |
Sampai detik ini, gambaran partai politik di Indonesia, masih saja lebih banyak menampakkan tiadanya manfaat mereka untuk bangsa dan Negara.
Reaksi politikus, para elite partai politik, dalam membaca
hasil pemilihan legislatif 9 April lalu,
menunjukkan dengan jelas. Kaum elite kelimpungan, karena begitu sedikitnya
dukungan yang mereka peroleh. Hitungan versi KPU, yang tidak adil (dengan tidak
menyertakan suara tidak sah sebagai bilangan pembagi), hanya mencapai angka
tertinggi 18,95% bagi PDI Perjuangan. Artinya, partai lainnya beroleh angka
lebih kecil dari itu.
Angka bahkan akan jauh lebih kecil lagi, jika kita memakai
suara tidak sah (entah itu sengaja atau tidak, golput atau kesalahan teknis)
digabungkan sebagai total suara pembagi, sejumlah 185 juta, maka akan didapat
suara perolehan murni. Karena angka suara tidak sah, sebagiannya disebut
golput, mencapai 31% (versi KPU 24%),
tetap jauh lebih tinggi dari dari perolehan pemenang Pemilu 2014. Dengan
hitungan ini, maka real perolehan suara PDI Perjuangan hanya mencapai sekitar
12%, dan yang lainnya tidak ada yang mencapai dua digit.
Sungguh hal itu menunjuk betapa kecilnya suara kepercayaan
rakyat diberikan. Dan akibatnya, untuk memenuhi tiket menuju pemilihan
presiden, di mana partai pengusung harus memenuhi angka minimal 20%, membuat
semua partai politik kelimpungan menghitungnya.
Mau tidak mau, partai satu dan lainnya harus berhimpun, agar
akumulasi perolehan suaranya memenuhi syarat untuk itu. Dan kita sudah tahu
kemudian, PDIP bersama Nasdem, PKB, dan Hanura, mengusung Joko Widodo–Jusuf
Kalla sebagai capres-cawapres. Sementara Gerindra mengusung Prabowo
Subianto-Hatta Radjasa bersama PPP, PKS, PAN, Golkar.
Sikap yang paling aneh, dan tidak relevan, adalah pernyataan
politik Demokrat, yang ingin melihat platform dan visi-misi capres
masing-masing, untuk kemudian nanti pada last-minute baru akan menentukan
sikap.
Sikap Demokrat menunjukkan ketidaksiapannya sebagai partai
pemenang dalam menerima kekalahan. Partai ini menurut versi KPU mendapat angka
10%, dan pada dinamika politik menjelang masa pendaftaran capres, Demokrat
gagal mendapatkan medan permainan. Bagaimana pun, SBY bermain dalam hal ini
(dengan menunggu, mengundang, dan bertemu ARB di berbagai tempat dan waktu),
untuk mendorong Golkar membentuk poros ke-tiga. Namun sikap politik ambigu khas
SBY, menyebabkan partai ini akhirnya kelimpungan. Apalagi ARB sebagai kawan
permainan, mempunyai agendanya sendiri yang harus diselamatkan sebelum kelak
terpental dari kepemimpinan Golkar.
Hingga akhirnya, Demokrat sampai pada pernyataan politiknya
yang asimetris dengan peran semestinya sebuah partai politik. Sebagai
incumbent, semestinya SBY memang menjaga netralitas dan mengantarkan proses
pemilihan yang bersih, adil, dan jujur.
Normatif akan seperti itu, dan akan lebih baik. Namun kalimat-kalimat
politiknya menjelang penutupan pendaftaran capres (20/5), menunjukkan Demokrat
tetap ingin bermain, tetapi tak siap resikonya, dan sudah terlambat. Partai
politik yang tidak berani menentukan arah, tetapi tetap ingin menikmati hasil
permainan, dengan menunggu perjuangan partai lain, memang terasa sebagai
pecundang. Jika demikian, buat apa membuat partai politik, jika tak mampu
memberi arah, tetapi justeru hanya sebagai penumpang gratisan?
Manfaat Partai
Politik. Pertanyaan yang sama, sesungguhnya bisa diberikan kepada banyak
partai politik lainnya. Apalagi dengan berbagai manuver para elitenya.
Bagaimana kisah tragisnya Aburizal Bakrie dengan Golkar sebagai peraih suara
tertinggi kedua setelah PDIP, namun akhirnya terserimpung bekerjasama dengan
Gerindra. Semula konon dijanjikan jabatan Menteri Senior Utama (sebuah istilah yang membingungkan) jika
Prabowo menang. Namun ketika hal itu ditanggapi negatif, buru-buru elite
pendukung ARB membantah, bahwa tidak ada deal semacam itu, walau sebelumnya
kepada pers ARB membenarkan menerima tawaran itu, sebagaimana hal itu terlanjur
sudah dikatakan oleh Prabowo.
ARB, jauh sebelum pemilu dilaksanakan, bahkan sudah paling
pasti sebagai capres RI 2014-2019, sebagaimana hal itu juga dilakukan oleh
Prabowo dengan Gerindra. Namun dengan tingkat elektabilitasnya yang rendah, dan
kontroversi yang menyertainya, ARB adalah kartu mati yang tidak layak jual.
Apalagi, ada banyak cacat sosial dari lumpur Lapindo hingga insiden boneka
Teddy Bear yang tidak bisa dijelaskannya. Dan ARB termakan tulahnya sendiri,
dengan mondar-mandir ke Megawati, SBY, Prabowo, dan tidak mendapatkan apa-apa.
Padahal, dengan perolehan sebesar 14%, mestinya Golkar berani dengan 1 atau 2
partai menengah saja. Namun kesalahan kalkulasi, menyebabkan dia “tidak menjadi
apa-apa” pun diterimanya pada last-minute, dengan penurunan posisi dari capres,
cawapres, menteri senior utama, dan entah apalagi nanti.
Jika yang beroleh suara seperti Golkar saja sudah
kelimpungan, bagaimana dengan partai-partai satu digit seperti PPP, PKS,
Hanura, PKB, PAN, Nasdem?
Nasdem dengan cepat dan tangkas, sebagai pemain baru,
mendapatkan mitra yang bisa merepresentasikan kepentingannya, yakni bergabung
dengan PDIP mengusung Jokowi. Meski dulu dalam deklarasinya, jika kalah Pemilu
Surya Paloh berpidato akan menjadi partai oposisi, partai penyeimbang, sebagai
tempat latihan yang baik untuk pemula.
Sementara itu, blunder dilakukan PPP, ketika Suryadharma Ali
sejak masa kampanye pileg memunculkan minatnya mendukung Prabowo sebagai
capres. Padahal, hasil mukernas PPP sama sekali tidak merekomendasikan Prabowo
sebagai capres. Elite PPP pun berada dalam konflik kepentingan.
Sikap Suryadharma Ali, tak bisa diputus dengan deal-deal
politik antara SDA dengan Prabowo pada pemilu 2009. Bau money politic antara
Prabowo dan SDA ini, sampai merebak dalam mukernas mereka usai pileg 9 April,
yang melengserkan SDA sebagai ketua umum. Namun dalam pertemuan berikutnya,
suara yang menolak Prabowo sebagai capres dukungan PPP, berbalik dan berhimpun.
Hal itu memunculkan rumors money politic bagaimana semuanya bisa diselesaikan
jika ada pembagian yang adil.
Namun ketika dalam perjalanannya Prabowo mencawapreskan
Hatta Radjasa dari PAN, PPP pun bereaksi akan mencabut dukungan. Bahkan dari
pihak PPP yang dulu keras mendukung Prabowo, tiba-tiba atas pencawapresan Hatta
Radjasa itu bisa berbalik menolak, dan mengancam akan mencabut dukungan karena
menganggap ketua umum PAN itu tidak laku dikalangan NU.
Politik Dagang Sapi. Apa yang dialami PKS, tidak separah PPP,
karena partai ini relatif solid. Meski sodoran tiga cawapres PKS tidak
terpilih, partai ini masih akomodatif, karena dua kemungkinan. Kemungkinan
pertama, perolehan suara yang kecil, membuat tak banyak pilihan. Kemungkinan
kedua; Sementara karakterisasi partai yang eksklusif, membuat partai ini juga
tak punya banyak pilihan. Dibutuhkan ijtihad politik luar biasa untuk PKS
bergabung dengan PDIP. Sementara mendorong Demokrat membuat poros sendiri,
membuat PKS takut dituding tidak konsisten dengan kritik-kritiknya atas SBY.
Sekali pun utamanya, PKS lebih suka mendorong poros tengah jilid dua yang
direkayasakan oleh Amien Rais.
Dalam posisi nothing
to lose, membuat partai ini lebih realistis menerima mahar dari ambisi
politik Prabowo. Jika kelak Prabowo kalah, toh sesuai janjinya mereka bisa
menjadi oposisi, tetapi buah pernikahan dengan Gerindra dalam hitungan lain,
memberikan keuntungan tersendiri, entah apapun bentuknya.
Seperti kita tahu, Hashim Djojohadikusumo, pengusaha dan
adik Prabowo, sangat berambisi mendorong kakaknya menjadi presiden, dan siap
dengan donasinya yang dikatakan unlimited
untuk tujuan itu. Bagaimana caranya? Hanya Hashim yang tahu. Meski untuk hal
ini masyarakat Aceh juga bisa tahu, bagaimana besarnya gelontoran uang ratusan
milyar dari Gerindra, sehingga partai ini tampak memperoleh suara fenomenal
empat kali lipat dari sebelumnya.
PKB melihat realitas yang ada, memilih bergabung dengan
PDIP, ketika rumusan poros tengah Amien Rais ditampiknya karena trauma.
Sementara respons Demokrat yang lamban, membuat PKB lebih merasa aman dengan
PDIP. Apalagi, pada akhirnya PDIP memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres. Nama
mantan ketua umum Golkar, adalah satu dari tiga cawapres dari PKB selain Mahfud
MD dan Rhoma Irama. Dan kita juga mengerti, apa reaksi-reaksi yang muncul dari
Rhoma Irama terutama, dan Mahfud MD. Politik pada akhirnya tak jauh beda dengan
dagang sapi. Bukan berarti dagang sapi lebih rendah nilainya, namun
memantas-mantas politik sama dengan
manakar-nakar harga seekor sapi. Dan itu menyedihkan.
Capres-Cawapres dan
Personalitas. Pada akhirnya, kita sudah tahu konfigurasi perkawinan partai
politik itu. Namun kemudian kita melihat reaksi-reaksi yang bermunculan.
Pilihan Golkar bergabung Gerindra, memunculkan perbedaan
tajam di kalangan elitenya. Politikus muda Golkar menolak pilihan ARB bergabung
ke Gerindra, demikian juga beberapa elite senior seperti Luhut M. Panjaitan,
memilih mendukung Jokowi dan mundur dari Golkar. Hal ini diikuti Fahmi Idris
yang juga mengundurkan diri dari Golkar karena lebih memilih Jokowi. Beberapa
DPD Golkar juga terbelah dalam pilihan-pilihannya.
Hal yang sama terjadi pada Harry Tanoe, serta Fuad Bawasyir,
yang memilih berseberangan dengan pilihan Wiranto, sebagai ketua umum, yang
konon mendapat mandate dalam rapimnas Hanura, ketika menentukan pilihan pada
Jokowi. Harry Tanoe dan Fuad Bawasyir mengatakan konon dengan gerbongnya,
memilih ke Prabowo, sementara Wiranto ke PDIP dikatakannya datang dengan
gerbong kosong.
Hal lain yang tak kalah seru, dengan gerakan Gerindra yang
mengaku bisa menembus semua akses. Dari Rachmawati Soekarnoputri, Guruh
Soekarnoputra, Mahfud MD, Rhoma Irama, bisa dihimpunnya untuk bergabung
mendukung Prabowo. Dengan terang-terangan, Gerindra memakai strategi
pecah-belah dan kuasai. Orang-orang “dari” poros PDIP yang tidak setuju dengan
pencapresan Jokowi, dibujuk dan entah diiming-imingi apa. Hanya Mahfud MD yang
mengaku diiming-imingi jabatan menteri. Sementara kita tidak tahu, Ahmad Dhani
yang masuk sebagai tim pendukung Prabowo diiming-imingi apa, karena musisi ini
semula ikut dalam tim kampanye PKB, selain posisinya sebagai Ketua Lesbumi,
badan kebudayaan NU. Oleh musisi Republik Cinta ini dikatakan, konon yang tidak
memilih Prabowo diragukan kejantanannya. Apakah untuk memilih capres harus
melalui prosedur ditest kejantanannya terlebih dulu?
Gerindra, sampai hari ini, bahkan masih akan terus mendorong
agar Demokrat menjatuhkan dukungan padanya. Hingga perlu beberapa kali Prabowo
minta audience dengan SBY, dan menyatakan bahwa dia akan siap melanjutkan
konsep pembangunan SBY.
Ambisi politik Prabowo, menyebakan capres ini terlihat tidak
konsisten dalam wacana-wacana politik yang disampaikan ke publik. Dan cenderung
berubah-ubah dalam perbedaan yang sangat tajam. Dalam manifesto politiknya ia
akan menasionalisasi asset-asset Negara, tetapi ketika dihantam SBY yang tidak
akan mendukung capres dengan program tidak rasional (antara lain
nasionalisasi), Prabowo dengan enteng mengatakan; bahwa ia akan melanjutkan
program pembangunan SBY. Itu demi Prabowo mendapat dukungan Demokrat.
Hal itu juga sama dengan ketika di hadapan para senior TNI,
Prabowo mengatakan dirinya telah keluar dari Golkar. Namun beberapa hari
kemudian, ketika mendapat dukungan dari ARB, ia menyatakan bagaimana pun juga
sebagai kader Golkar.
Pragmatisme Politik
Sebagai Agama. Pragmatisme politik, itu yang tampak menonjol di antara
berbagai partai politik. Dan hal itu bisa menjadi agama atau panutan baru. Mereka
mudah mengumbar kata-kata, menyatakan punya kesamaan platform, visi-misi, dan
sebagainya. Itu semua baru dinyatakan ketika mereka membutuhkan pembenaran,
tetapi tidak ketika mereka mencoba merebut suara rakyat sebanyak-banyaknya.
Inkonsistensi, adalah ciri khas dari praksis politik kita
karena politik pragmatism. Dalam pemilu kemarin, rakyat sudah memberikan suara
minimalnya, tetapi para elite partai politik tidak bisa menerima sebagai kritik
keras rakyat. Rakyat justeru dikatakan masih buta politik, bodoh, dan mudah
terkena money politics. Siapa yang membuat semua itu? Tentu saja adalah karena
partai politik tidak berfungsi, dan politikus kita tidak mempunyai preferensi
politik dalam proses demokratisasi. Menyalahkan rakyat, adalah pertanda
kegoblogan partai, tidak menyadari betapa mereka tidak berguna dan tidak
berfungsi.
Jika para elite politik merasa lebih pintar, sebagai elite,
semestinya mereka memberikan arah, hingga juga mampu melahirkan UU Politik dan
aturan main Pemilu yang baik dan benar. Namun, tak bisa menghasilkan produk hukum
yang memadai, tak mampu membuat jaringan system kerja yang baik, dan kemudian
menyalahkan pihak lain, adalah ciri politikus yang tidak jelas visi-misi dan
konsep mereka tentang bernegara. Alih-alih mau belajar, tetapi yang dilakukan
malah justeru memanfaatkan dan memanipulasi semuanya itu demi kepentingan
mereka sendiri. Mengritik rakyat bodoh, tetapi senyampang itu melakukan praktik
politik uang.
Para elite kini menunjukkan kembali kebodohannya, dalam
membaca pesan atau sinyal rakyat yang diberikan dengan perolehan suara yang
sedikit itu. Partai politik hanya bisa membaca angka-angka itu sebagai jumlah,
bukan nilai. Maka jumlah sekian ditambah jumlah sekian akan berjumlah sekian.
Namun semua jumlah itu sesungguhnya tidak bernilai. Apakah dengan dukungan 47%
(dan jika nanti Demokrat bergabung dan menjadi 57% suara) Prabowo yakin menang
presiden? Tak ada jaminan. Karena pileg tentu berbeda dengan pilpres.
Dalam pileg masih mungkin jumlah dihitung berdasarkan
perolehan masing-masing partai. Namun dalam pilpres, mereka akan terkecoh. Sebagaimana
sejak awalnya sudah ditunjukkan, bagaimana orang-orang yang berhimpun dalam
satu partai tidak mampu berhimpun dalam satu nilai. Sementara, presiden adalah
sosok nilai yang sangat berbeda dan memungkinkan pilihan-pilihan silang. Orang
Golkar bisa memilih Jokowi, orang PAN bisa memilih Jokowi, orang Nasdem atau
PKB bisa saja memilih Prabowo, dan seterusnya.
Dengan menghimpun AA Gym, Serikat Buruh, Pekerja Kreatif,
kelompok asosiasi ini dan itu, ormas, kelompok agama tertentu, alumni ini dan
itu, seolah itu semua merepresentasikan nilai suara yang akan berhimpun, untuk
memilih pilihan yang sama. Padahal kita sudah punya pengalaman itu ketika 2004,
di mana perolehan partai Demokrat tidak berbanding lurus dengan perolehan SBY
sebagai capres waktu itu. Artinya, hanya manusia celaka yang tidak bisa melihat
sejarah sebagai perbandingan.
Amien Rais, karena dulu sebagai ketua MPR, bisa membuat
merah-birunya capres, dengan menggeser Megawati ke Gus Dur, dan kemudian
sebaliknya melongsorkan Gus Dur dan menunjuk Megawati. Sekarang penentunya
bukan anggota DPR-MPR, melainkan rakyat secara langsung-sung. Dan segala
inisiasi Amien Rais dengan teori lamanya, sama sekali tidak berefek. Target
dia, dengan membentuk poros tengah kali ini, hanya menggoalkan Hatta Radjasa
menjadi cawapres dari Prabowo, dan ia berhasil menghimpun PPP, PKS, dan PAN
sebagai determinasi partai Islam. Apakah ini akan mulus? Justeru koalisi
pelangi, dengan memposisikan Amien Rais satu meja dengan Hilmy Aminuddin (ketua
dewan syuro PKS), akan menjadi jebakan batman di kalangan bawah. Kalangan grassroots
akan bisa memahami, bahwa koalisi elite hanya menguntungkan para elite itu
sendiri, tetapi tidak sinergi dengan arus bawah.
One Man One Vote .
Apalagi dalam pilpres, benar-benar one
man one vote. Suara satu orang diakumulasikan menjadi suara terbanyak.
Dengan pilihan hanya dua capres, semuanya akan menjadi lebih mudah bagi rakyat.
Tinggal menghitung saja berapa suara golput untuk dua calon yang ditawarkan
itu. Ketika kertas suara sudah ditangan pemilih, yang dinamakan mobilisasi itu
tidak akan punya arti sama sekali. Bahkan sekali pun Gerindra dan Golkar, juga
PKS, sudah mengintimidasi dengan kedisiplinan partai untuk memecat pengurus
partai yang berkhianat di level mana pun.
Itu semua karena selama ini, kita selalu terjebak dalam
citra personalitas. Sistem dan mekanisme politik kita mampat, tak mampu
memberikan output yang lebih produktif dalam apa yang dinamakan platform
politik. Hingga akhirnya, yang muncul kemudian sama dalam peraturan pemilihan
raja-raja jaman dulu. Hanya berdasar citra-citraan dan mitos-mitos yang
dibangun, selebaran gelap dan berbagai informasi hoax di mana-mana untuk saling menjatuhkan. Sampai-sampai Prabowo
perlu mengatakan bahwa dialah “yang pertama kali memakai baju putih, karena
putih itu lambang kesucian.” Itu pernyataan normatif. Tetapi ketika kalimat itu
dilanjutkan, “Yang di sana kan semula kotak-kotak?” Kita melihat tontonan
politik yang kerdil.
Sampai-sampai perlu membangun fisik diri bagaikan Sukarno,
dengan pakaian army-look, berpeci, bahkan kalau perlu berkuda. Berpidato yang
penuh retorika dan oratoris. Apakah semua teater politik itu masih memadai?
Rasanya masih, dan belum kapok tertipu kemasan luar sebagaimana dulu rakyat
mendapatkan SBY.
Ya, sudah, jika masih demikian tarafnya, maka yang
terbaiklah yang menang. Apakah yang terbaik Prabowo atau Jokowi? Hanya yang
mendapat suara terbanyak nanti yang membuktikan. Dan tidak ada yang ajaib
mengenai hal itu. Bagaimana yang baik itu diuraikan? Tidak bisa diuraikan di
sini dan sekarang, namun post-factum
nanti tetap akan ketahuan, capres yang dipilih rakyat itu seperti apa. Dan
suara rakyat tidak bisa diwakilkan oleh gegap-gempitanya suara elite berorasi
tentang mimpi-mimpi kemuliaan itu.
Sama seperti kita sulit menebak siapa yang menang antara
Barcelona atau Madrid, tapi nanti setelah usai pertandingan, kita dengan mudah
mengerti kenapa Madrid, atau Barca kalah. Kita tidak bisa mengatakan yang tidak
jujur yang akan kalah, tetapi setidaknya yang loveable di hati rakyat itu yang akan menang. Dan kalau sudah
bicara itu, itung-itungan obyektif di atas kertas sesungguhnya sudah bisa
dilihat.
Prabowo sebagai presiden yang tegas, sama sekali belum
terbukti. Apalagi sebagai komandan Kopasus ia diberhentikan dengan penilaian negatif. Sebagai tentara aktif, faktanya ia dipecat. Sementara performance perusahaannya,
sebagai pengusaha, juga belibet banyak masalah. Sedangkan Jokowi, sebagai
pejabat publik sudah teruji sebagai walikota dan Gubernur, juga mendapatkan
pengakuan internasional.
Ketegasannya, kemandiriannya, tidak parallel dengan gaya
komunikasinya yang sangat medok dan ndhesit. Konsep-konsep pembangunannya,
telah dibuktikan dan akan diinisiasi sebagai program nasional dengan distribusi
silang antar-daerah (untuk menekan volume impor), disamping sebagai pengendali
inflasi terbaik secara nasional. Itu semua menunjuk bahwa Jokowi seorang
pekerja, dengan konsep yang benar. Sementara Prabowo masih terjebak dalam
jargon politik, dan memanipulasi paradigma militer, sebagaimana ketika 2004 dan
2009 orang terpukau kegagahan Jenderal SBY, tetapi dialah satu-satunya presiden
Indonesia yang lamban dan tidak jelas.
Kita ingin melihat sebuah tontonan politik yang bagus dan
mendidik. Tapi tampaknya belum bisa kali ini. Karena masih banyak isyu yang
diproduksi tak penting bagi proses pendidikan politik itu sendiri. Kita
digiring pada personalitas dengan segala citranya, bukan pada konsep program ke
depannya, dan kenapa itu penting serta bagaimana bisa dijalankan.
Sekali lagi adagium dalam tulisan sebelum ini bisa dipakai;
Para elite partai politik dan para politikus merasa pandai membaca apa yang
belum ditulis rakyat (pilpres 9 Juli yang akan datang). Tetapi mereka tidak
bisa membaca sama sekali pada apa yang sudah dituliskan rakyat (lewat pileg 9
April lalu).
Dan itu tragedi elite, yang tega mengorbankan masa depan rakyatnya,
bangsa dan negaranya, dengan menyodorkan lakon teater yang miskin. Munculnya
karakter Sukarno, yang jadi rebutan dalam panggung teater keduanya, menunjukkan betapa mereka tidak mandiri dan berkepribadian sebagaimana Sukarno mengukur bangsanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar