Memperingati
delapan tahun tragedi semburan lumpur Lapindo (29 Mei 2014), Dadang Christanto,
membuat karya berupa 110 patung manusia setinggi sekitar 2 meter. Patung-patung
itu diletakkan di titik 21 tanggul lumpur di Sidoarjo (Jawa Timur). Patung-patung
itu ditata berbaris dengan dua tangan membopong aneka benda, seperti rongsokan
peralatan rumah tangga bahkan boneka Teddy Bear, yang sebagiannya dilumuri
lumpur.
Kenapa 110 patung? Menurut Dadang, perupa kelahiran Tegal tahun 1957 itu, 110 patung itu bisa ditafsirkan dari berbagai aspek, tergantung siapa yang memaknainya. "Patung berbaris menunjukkan korban lumpur yang kehidupannya dulu sangat bermasyarakat, tapi sekarang tercerai-berai," kata Dadang, yang sampai kini masih mukim di Australia.
Sedangkan tangan menengadah ke atas, kata dia, pertanda berkabungnya korban lumpur Lapindo atas bencana alam yang mungkin tak ada duanya di dunia ini. "Dalam ilmu seni, tangan menengadah memberi kesaksian bahwa sedang berduka cita."
Adapun alat-alat rumah tangga yang dibawa menunjukkan bahwa barang-barang serta rumah para korban lumpur sudah tenggelam. Oleh karena itu, peralatan rumah tangga itu sengaja dilumuri lumpur. "Benda-benda itu coba kami angkat kembali untuk mengingatkan soal barang-barang mereka," tambahnya.
Menurut Dadang, ketika karya seni rupa didasarkan pada pemikiran yang mendalam dan berangkat dari hati dengan kesungguhan untuk membela, maka bagi seniman seperti dirinya karya itu mempunyai rasa yang berbeda. Padahal, dia mengaku pernah membuat seni rupa yang sama pada 2006 lalu, tetapi getarannya ia rasakan berbeda dengan sekarang. "Saya melihat ini merinding karena seninya tinggi," katanya.
Kenapa 110 patung? Menurut Dadang, perupa kelahiran Tegal tahun 1957 itu, 110 patung itu bisa ditafsirkan dari berbagai aspek, tergantung siapa yang memaknainya. "Patung berbaris menunjukkan korban lumpur yang kehidupannya dulu sangat bermasyarakat, tapi sekarang tercerai-berai," kata Dadang, yang sampai kini masih mukim di Australia.
Sedangkan tangan menengadah ke atas, kata dia, pertanda berkabungnya korban lumpur Lapindo atas bencana alam yang mungkin tak ada duanya di dunia ini. "Dalam ilmu seni, tangan menengadah memberi kesaksian bahwa sedang berduka cita."
Adapun alat-alat rumah tangga yang dibawa menunjukkan bahwa barang-barang serta rumah para korban lumpur sudah tenggelam. Oleh karena itu, peralatan rumah tangga itu sengaja dilumuri lumpur. "Benda-benda itu coba kami angkat kembali untuk mengingatkan soal barang-barang mereka," tambahnya.
Menurut Dadang, ketika karya seni rupa didasarkan pada pemikiran yang mendalam dan berangkat dari hati dengan kesungguhan untuk membela, maka bagi seniman seperti dirinya karya itu mempunyai rasa yang berbeda. Padahal, dia mengaku pernah membuat seni rupa yang sama pada 2006 lalu, tetapi getarannya ia rasakan berbeda dengan sekarang. "Saya melihat ini merinding karena seninya tinggi," katanya.
Memang,
karya Dadang di Sidoarjo ini “bukan barang baru”. Setidaknya, ia pernah membuat
karya yang secara spirit dan konsep artistic, mempunyai kemiripan. Sebagaimana
awal 2005 ia pernah menggelar karyanya
yang bertajuk They give evidence (25 Februari hingga 15 Mei 2005), di Asian
galleries, Art Gallery of New South Wales, Australia. Atau, sebelumnya pada 1996
ia menggelar “1001 Manusia Bumi”, Marina Beach-Ancol, Jakarta, Indonesia.
Meski dalam
penilaian saya, karya Dadang Charistanto itu tak bisa dilepaskan dari “Pasukan Terakota” atau prajurit Terakota,
yakni kumpulan koleksi dari 8.099 patung berbentuk tokoh prajurit dan kuda
dengan ukuran asli yang terletak di dekat makam dari Kaisar pertama dinasti
Qin, Qin Shi Huang di China, yang Dadang juga sangat mengetahuinya. Patung
terracotta merupakan salah satu hasil karya manusia yang menakjubkan.
Patung-patung ini dibuat 210-209 SM yang lalu untuk mengawal patung Kaisar
pertama China, Qin (Qin Shi Huang). Dinasty Qin adalah dinasti pertama dan
sangat terkenal kekejamannya.
Bukan dalam
rangka mengatakan Dadang menjiplak atau tidak orisinal, namun pergulatan Dadang
sebagai seniman, dalam proses kreatif itu, mengagumkan.
Dadang Christanto, bersama perupa Heri Dono, dan juga sesungguhnya
Eddie Hara, adalah tiga sosok perupa penting di Indonesia. Ketiganya pernah
berproses di kota yang sama, di Yogyakarta pada masa-masa awalnya. Dalam sebuah
percakapan pribadi dengan saya, Dadang sering mengaku gamang untuk mengadakan
pameran senirupa di Indonesia, apalagi di Yogyakarta. Ia merasa jiper.
Perupa yang pernah sekolah di SSRI dan kemudian melanjutkan di ISI
serta aktif dalam aktivitas kesenian di Sanggar Bambu Yogyakarta, dari 1993
hingga 2003 menjadi Dosen,
Fakultas Seni dan Desain, Universitas Northern Territory, Darwin, dan 2004
sebagai dosen di College of Fine Arts, University of New South Wales, Sydney.
Sejak 2006, ia mengaku menganggur dan tinggal di Brisbane hingga kini.
Dadang Christanto pernah berpameran ke banyak kota di Indonesia dan international. Dalam kelas event kesenian yang cukup berbobot dan bergangsi, antara lain di Australia, Swiss, Jepang, Singapore, Kualalumpur, Philipina, Korea Selatan, dan Italia. Terlibat dalam isu-isu internasional mengenai kekerasan, penindasan, dan berbagai bentuk kejahatan humanitarian serta lingkungan.
Dadang Christanto pernah berpameran ke banyak kota di Indonesia dan international. Dalam kelas event kesenian yang cukup berbobot dan bergangsi, antara lain di Australia, Swiss, Jepang, Singapore, Kualalumpur, Philipina, Korea Selatan, dan Italia. Terlibat dalam isu-isu internasional mengenai kekerasan, penindasan, dan berbagai bentuk kejahatan humanitarian serta lingkungan.
Tahun 2004
ia mendapatkan penghargaan dan hibah dari Australian Art Council, Pollock-Krasner Foundation, New York (1997),
dan The Japan Foundation (1996).
Karya-karyanya
dikoleksi di berbagai museum modern art di Jepang (Fukuoka Museum of Modern
Art; Kanazu Forest of Creation, Fukui; dan Museum Seni Kontemporer, Tokyo),
Jerman (Museum Magdeburg), Australia (Art Gallery of New South Wales, Sydney;
Queensland Art Gallery, Brisbane; National Gallery of Australia: dan di The
Australia National University), disamping dikoleksi oleh kolektor pribadi
nasional-internasional.
Dalam
menggarap karyanya di Sidoarjo, Dadang membuat bengkel kerjanya di salah satu
rumah berukuran berukuran sedang di Glagah Arum, Sidoarjo. Meski halamannya
cukup luas, namun kesannya jadi sempit. Hampir semua sisi halaman dipenuhi
puluhan patung karyanya.
Sudah lebih dari sebulan dia menempati rumah itu. Hari-harinya dia habiskan untuk membuat patung. Dia tidak sendiri. Ada enam pegawai yang turut membantu. Sejumlah 101 patung yang dia hasilkan sebetulnya kurang, karena ia mengatakan tidak ada target terhadap jumlah patung yang akan dia buat. "Saya akan buat sebanyak-banyaknya," kata Dadang yang untuk sementara meninggalkan istri dan dua anaknya di Brisbanne, tempatnya menetap selama 15 tahun terakhir ini.
Setiap pagi Dadang beserta pegawainya siap untuk membuat lagi patung-patung itu. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat adonan berbahan dasar semen. Lalu, adonan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah ada. Jumlahnya empat. Semua berbentuk manusia, dua laki-laki dan dua perempuan. Tahap awal selesai, proses berikutnya dilanjutkan siang.
Saat matahari sudah meninggi, lelaki dengan rambut yang sudah mulai beruban itu kembali beraksi dengan patung-patungnya. Dia membuka cetakan pertama. Hal tersebut memang selalu dia lakukan dua jam sekali untuk memastikan tingkat kekeringan pada adonan patung. Hal yang sama dia lakukan untuk tiga cetakan lain. "Jika sudah kering, bisa langsung diangkat dari cetakan," jelasnya.
Menurut Dadang, ide itu tercetus pada 2008, saat dirinya menyaksikan aksi 400 warga korban Lapindo di Istana Merdeka, Jakarta. Meski dia bukan salah seorang korban, lelaki kelahiran Tegal, 12 Mei 1957, itu merasa iba. Tragedi tersebut sudah terjadi delapan tahun lalu. Tapi, masih ada masyarakat yang belum dapat ganti rugi atas tenggelamnya rumah mereka berikut harta bendanya. "Sepertinya tidak hanya rumah yang tenggelam. Mata pencaharian warga mungkin juga ikut tenggelam. Sawah atau kandang, misalnya," kata Dadang.
Bagi seorang seniman, membuat patung yang kemudian dijadikan isi galeri alam hanyalah satu bentuk bagian seni. Tapi, dia berharap lebih dari itu. Tujuannya, ingin membantu warga sekitar untuk membuat lautan lumpur menjadi menarik. Tidak peduli berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk itu. Hitung saja, harga produksi per patung dengan berat sekitar 20 kilogram itu, kata Dadang bisa sekitaran Rp 300 ribu.
Namun, sebagai seniman, pertimbangannya bukan semata nominal yang dikeluarkan. Justru kepuasan batin itulah yang tak ternilai. Lebih dari itu, hasil karyanya juga bisa bermanfaat bagi banyak orang. "Mudah-mudahan, kalau ada patungnya begini, pengunjung semakin banyak. Penghasilan mereka tentu bertambah," ujarnya kakak dari (almarhumah) Tuti Gintini itu.
Pembuatan patung tidak langsung jadi sekaligus. Bagian tangan dicetak secara terpisah. Sebab, patung dengan tinggi 2 meter tersebut didesain menyerupai orang memohon atau berdoa. Dua siku dilipat hingga rata-rata dada, sedangkan telapak tangan menghadap ke atas. "Jika sudah kering semua, baru kemudian disambungkan," jelas alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengenai proses produksinya.
Tahap akhir pembuatan patung adalah pengecatan. Warna senada dibubuhkan ke semua patung tersebut. Yakni, abu-abu. Dalihnya, agar patung tersebut memiliki warna yang menyerupai warna lumpur.
Namun, sebelum sampai ke tahap itu, beberapa bagian patung perlu dihaluskan. "Proses terlama ada di sini. Soalnya semua, dari atas sampai bawah," katanya sambil menunjuk bagian tepi patung yang tampak tidak rata.
Galeri alam Dadang dibuka pada 29 Mei. Hal itu dimaksudkan agar dibukanya galeri bertepatan dengan peringatan delapan tahun luapan lumpur Lapindo. Semua patung dipasang di semua sisi lautan lumpur. Tidak ada desain khusus soal peletakan itu. Namun, lanjut Dadang, berdirinya patung tersebut turut membawa barang-barang bekas. "Diibaratkan barang itu harta benda yang ikut tenggelam," jelasnya.
Sudah lebih dari sebulan dia menempati rumah itu. Hari-harinya dia habiskan untuk membuat patung. Dia tidak sendiri. Ada enam pegawai yang turut membantu. Sejumlah 101 patung yang dia hasilkan sebetulnya kurang, karena ia mengatakan tidak ada target terhadap jumlah patung yang akan dia buat. "Saya akan buat sebanyak-banyaknya," kata Dadang yang untuk sementara meninggalkan istri dan dua anaknya di Brisbanne, tempatnya menetap selama 15 tahun terakhir ini.
Setiap pagi Dadang beserta pegawainya siap untuk membuat lagi patung-patung itu. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat adonan berbahan dasar semen. Lalu, adonan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah ada. Jumlahnya empat. Semua berbentuk manusia, dua laki-laki dan dua perempuan. Tahap awal selesai, proses berikutnya dilanjutkan siang.
Saat matahari sudah meninggi, lelaki dengan rambut yang sudah mulai beruban itu kembali beraksi dengan patung-patungnya. Dia membuka cetakan pertama. Hal tersebut memang selalu dia lakukan dua jam sekali untuk memastikan tingkat kekeringan pada adonan patung. Hal yang sama dia lakukan untuk tiga cetakan lain. "Jika sudah kering, bisa langsung diangkat dari cetakan," jelasnya.
Menurut Dadang, ide itu tercetus pada 2008, saat dirinya menyaksikan aksi 400 warga korban Lapindo di Istana Merdeka, Jakarta. Meski dia bukan salah seorang korban, lelaki kelahiran Tegal, 12 Mei 1957, itu merasa iba. Tragedi tersebut sudah terjadi delapan tahun lalu. Tapi, masih ada masyarakat yang belum dapat ganti rugi atas tenggelamnya rumah mereka berikut harta bendanya. "Sepertinya tidak hanya rumah yang tenggelam. Mata pencaharian warga mungkin juga ikut tenggelam. Sawah atau kandang, misalnya," kata Dadang.
Bagi seorang seniman, membuat patung yang kemudian dijadikan isi galeri alam hanyalah satu bentuk bagian seni. Tapi, dia berharap lebih dari itu. Tujuannya, ingin membantu warga sekitar untuk membuat lautan lumpur menjadi menarik. Tidak peduli berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk itu. Hitung saja, harga produksi per patung dengan berat sekitar 20 kilogram itu, kata Dadang bisa sekitaran Rp 300 ribu.
Namun, sebagai seniman, pertimbangannya bukan semata nominal yang dikeluarkan. Justru kepuasan batin itulah yang tak ternilai. Lebih dari itu, hasil karyanya juga bisa bermanfaat bagi banyak orang. "Mudah-mudahan, kalau ada patungnya begini, pengunjung semakin banyak. Penghasilan mereka tentu bertambah," ujarnya kakak dari (almarhumah) Tuti Gintini itu.
Pembuatan patung tidak langsung jadi sekaligus. Bagian tangan dicetak secara terpisah. Sebab, patung dengan tinggi 2 meter tersebut didesain menyerupai orang memohon atau berdoa. Dua siku dilipat hingga rata-rata dada, sedangkan telapak tangan menghadap ke atas. "Jika sudah kering semua, baru kemudian disambungkan," jelas alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengenai proses produksinya.
Tahap akhir pembuatan patung adalah pengecatan. Warna senada dibubuhkan ke semua patung tersebut. Yakni, abu-abu. Dalihnya, agar patung tersebut memiliki warna yang menyerupai warna lumpur.
Namun, sebelum sampai ke tahap itu, beberapa bagian patung perlu dihaluskan. "Proses terlama ada di sini. Soalnya semua, dari atas sampai bawah," katanya sambil menunjuk bagian tepi patung yang tampak tidak rata.
Galeri alam Dadang dibuka pada 29 Mei. Hal itu dimaksudkan agar dibukanya galeri bertepatan dengan peringatan delapan tahun luapan lumpur Lapindo. Semua patung dipasang di semua sisi lautan lumpur. Tidak ada desain khusus soal peletakan itu. Namun, lanjut Dadang, berdirinya patung tersebut turut membawa barang-barang bekas. "Diibaratkan barang itu harta benda yang ikut tenggelam," jelasnya.
Dadang
menjelaskan, patung-patung tersebut didesain bukan tanpa arti. Bagi dia, patung
itu diibaratkan sedang bersaksi atas kehilangan besar pada hidupnya.
"Gayanya sama dengan gaya orang membawakan foto kerabat atau saudara yang
meninggal saat dibawa ke pemakaman," papar dia.
Galeri alam kali ini dinamai Survivor. Bagi dia, nama itu bisa mewakili kehidupan para korban lumpur. Mereka masih bisa survive meski lumpur sudah menenggelamkan rumah dan harta bendanya.
Impian Dadang untuk kali kesekian kembali terwujud. Dan dia akan kembali ke Australia dengan perasaan bangga, karena telah meninggalkan prestasi di tanah kelahirannya Indonesia.
Galeri alam kali ini dinamai Survivor. Bagi dia, nama itu bisa mewakili kehidupan para korban lumpur. Mereka masih bisa survive meski lumpur sudah menenggelamkan rumah dan harta bendanya.
Impian Dadang untuk kali kesekian kembali terwujud. Dan dia akan kembali ke Australia dengan perasaan bangga, karena telah meninggalkan prestasi di tanah kelahirannya Indonesia.
Taniah untuk
Dadang Christanto.