Jumat, Mei 30, 2014

Dadang Christanto di Lumpur Lapindo



Memperingati delapan tahun tragedi semburan lumpur Lapindo (29 Mei 2014), Dadang Christanto, membuat karya berupa 110 patung manusia setinggi sekitar 2 meter. Patung-patung itu diletakkan di titik 21 tanggul lumpur di Sidoarjo (Jawa Timur). Patung-patung itu ditata berbaris dengan dua tangan membopong aneka benda, seperti rongsokan peralatan rumah tangga bahkan boneka Teddy Bear, yang sebagiannya dilumuri lumpur.
Kenapa 110 patung? Menurut Dadang, perupa kelahiran Tegal tahun 1957 itu, 110 patung itu bisa ditafsirkan dari berbagai aspek, tergantung siapa yang memaknainya. "Patung berbaris menunjukkan korban lumpur yang kehidupannya dulu sangat bermasyarakat, tapi sekarang tercerai-berai," kata Dadang, yang sampai kini masih mukim di Australia.
Sedangkan tangan menengadah ke atas, kata dia, pertanda berkabungnya korban lumpur Lapindo atas bencana alam yang mungkin tak ada duanya di dunia ini. "Dalam ilmu seni, tangan menengadah memberi kesaksian bahwa sedang berduka cita."
Adapun alat-alat rumah tangga yang dibawa menunjukkan bahwa barang-barang serta rumah para korban lumpur sudah tenggelam. Oleh karena itu, peralatan rumah tangga itu sengaja dilumuri lumpur. "Benda-benda itu coba kami angkat kembali untuk mengingatkan soal barang-barang mereka," tambahnya.
Menurut Dadang, ketika karya seni rupa didasarkan pada pemikiran yang mendalam dan berangkat dari hati dengan kesungguhan untuk membela, maka bagi seniman seperti dirinya karya itu mempunyai rasa yang berbeda. Padahal, dia mengaku pernah membuat seni rupa yang sama pada 2006 lalu, tetapi getarannya ia rasakan berbeda dengan sekarang. "Saya melihat ini merinding karena seninya tinggi," katanya.
Memang, karya Dadang di Sidoarjo ini “bukan barang baru”. Setidaknya, ia pernah membuat karya yang secara spirit dan konsep artistic, mempunyai kemiripan. Sebagaimana awal 2005 ia pernah menggelar karyanya yang bertajuk They give evidence (25 Februari hingga 15 Mei 2005), di Asian galleries, Art Gallery of New South Wales, Australia. Atau, sebelumnya pada 1996 ia menggelar “1001 Manusia Bumi”, Marina Beach-Ancol, Jakarta, Indonesia.
Meski dalam penilaian saya, karya Dadang Charistanto itu tak bisa dilepaskan dari  “Pasukan Terakota” atau prajurit Terakota, yakni kumpulan koleksi dari 8.099 patung berbentuk tokoh prajurit dan kuda dengan ukuran asli yang terletak di dekat makam dari Kaisar pertama dinasti Qin, Qin Shi Huang di China, yang Dadang juga sangat mengetahuinya. Patung terracotta merupakan salah satu hasil karya manusia yang menakjubkan. Patung-patung ini dibuat 210-209 SM yang lalu untuk mengawal patung Kaisar pertama China, Qin (Qin Shi Huang). Dinasty Qin adalah dinasti pertama dan sangat terkenal kekejamannya.
Bukan dalam rangka mengatakan Dadang menjiplak atau tidak orisinal, namun pergulatan Dadang sebagai seniman, dalam proses kreatif itu, mengagumkan.
Dadang Christanto, bersama perupa Heri Dono, dan juga sesungguhnya Eddie Hara, adalah tiga sosok perupa penting di Indonesia. Ketiganya pernah berproses di kota yang sama, di Yogyakarta pada masa-masa awalnya. Dalam sebuah percakapan pribadi dengan saya, Dadang sering mengaku gamang untuk mengadakan pameran senirupa di Indonesia, apalagi di Yogyakarta. Ia merasa jiper.
Perupa yang pernah sekolah di SSRI dan kemudian melanjutkan di ISI serta aktif dalam aktivitas kesenian di Sanggar Bambu Yogyakarta, dari 1993 hingga 2003 menjadi Dosen, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Northern Territory, Darwin, dan 2004 sebagai dosen di College of Fine Arts, University of New South Wales, Sydney. Sejak 2006, ia mengaku menganggur dan tinggal di Brisbane hingga kini.
Dadang Christanto pernah berpameran ke banyak kota di Indonesia dan international. Dalam kelas event kesenian yang cukup berbobot dan bergangsi, antara lain di Australia, Swiss, Jepang, Singapore, Kualalumpur, Philipina, Korea Selatan, dan Italia. Terlibat dalam isu-isu internasional mengenai kekerasan, penindasan, dan berbagai bentuk kejahatan humanitarian serta lingkungan.
Tahun 2004 ia mendapatkan penghargaan dan hibah dari Australian Art Council,  Pollock-Krasner Foundation, New York (1997), dan The Japan Foundation (1996).
Karya-karyanya dikoleksi di berbagai museum modern art di Jepang (Fukuoka Museum of Modern Art; Kanazu Forest of Creation, Fukui; dan Museum Seni Kontemporer, Tokyo), Jerman (Museum Magdeburg), Australia (Art Gallery of New South Wales, Sydney; Queensland Art Gallery, Brisbane; National Gallery of Australia: dan di The Australia National University), disamping dikoleksi oleh kolektor pribadi nasional-internasional.
Dalam menggarap karyanya di Sidoarjo, Dadang membuat bengkel kerjanya di salah satu rumah berukuran berukuran sedang di Glagah Arum, Sidoarjo. Meski halamannya cukup luas, namun kesannya jadi sempit. Hampir semua sisi halaman dipenuhi puluhan patung karyanya.
Sudah lebih dari sebulan dia menempati rumah itu. Hari-harinya dia habiskan untuk membuat patung. Dia tidak sendiri. Ada enam pegawai yang turut membantu. Sejumlah 101 patung yang dia hasilkan sebetulnya kurang, karena ia mengatakan tidak ada target terhadap jumlah patung yang akan dia buat. "Saya akan buat sebanyak-banyaknya," kata Dadang yang untuk sementara meninggalkan istri dan dua anaknya di Brisbanne, tempatnya menetap selama 15 tahun terakhir ini.
Setiap pagi Dadang beserta pegawainya siap untuk membuat lagi patung-patung itu. Hal pertama yang dilakukan adalah membuat adonan berbahan dasar semen. Lalu, adonan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah ada. Jumlahnya empat. Semua berbentuk manusia, dua laki-laki dan dua perempuan. Tahap awal selesai, proses berikutnya dilanjutkan siang.
Saat matahari sudah meninggi, lelaki dengan rambut yang sudah mulai beruban itu kembali beraksi dengan patung-patungnya. Dia membuka cetakan pertama. Hal tersebut memang selalu dia lakukan dua jam sekali untuk memastikan tingkat kekeringan pada adonan patung. Hal yang sama dia lakukan untuk tiga cetakan lain. "Jika sudah kering, bisa langsung diangkat dari cetakan," jelasnya.
Menurut Dadang, ide itu tercetus pada 2008, saat dirinya menyaksikan aksi 400 warga korban Lapindo di Istana Merdeka, Jakarta. Meski dia bukan salah seorang korban, lelaki kelahiran Tegal, 12 Mei 1957, itu merasa iba. Tragedi tersebut sudah terjadi delapan tahun lalu. Tapi, masih ada masyarakat yang belum dapat ganti rugi atas tenggelamnya rumah mereka berikut harta bendanya. "Sepertinya tidak hanya rumah yang tenggelam. Mata pencaharian warga mungkin juga ikut tenggelam. Sawah atau kandang, misalnya," kata Dadang.
Bagi seorang seniman, membuat patung yang kemudian dijadikan isi galeri alam hanyalah satu bentuk bagian seni. Tapi, dia berharap lebih dari itu. Tujuannya, ingin membantu warga sekitar untuk membuat lautan lumpur menjadi menarik. Tidak peduli berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk itu. Hitung saja, harga produksi per patung dengan berat sekitar 20 kilogram itu, kata Dadang bisa sekitaran Rp 300 ribu.
Namun, sebagai seniman, pertimbangannya bukan semata nominal yang dikeluarkan. Justru kepuasan batin itulah yang tak ternilai. Lebih dari itu, hasil karyanya juga bisa bermanfaat bagi banyak orang. "Mudah-mudahan, kalau ada patungnya begini, pengunjung semakin banyak. Penghasilan mereka tentu bertambah," ujarnya kakak dari (almarhumah) Tuti Gintini itu.
Pembuatan patung tidak langsung jadi sekaligus. Bagian tangan dicetak secara terpisah. Sebab, patung dengan tinggi 2 meter tersebut didesain menyerupai orang memohon atau berdoa. Dua siku dilipat hingga rata-rata dada, sedangkan telapak tangan menghadap ke atas. "Jika sudah kering semua, baru kemudian disambungkan," jelas alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengenai proses produksinya.
Tahap akhir pembuatan patung adalah pengecatan. Warna senada dibubuhkan ke semua patung tersebut. Yakni, abu-abu. Dalihnya, agar patung tersebut memiliki warna yang menyerupai warna lumpur.
Namun, sebelum sampai ke tahap itu, beberapa bagian patung perlu dihaluskan. "Proses terlama ada di sini. Soalnya semua, dari atas sampai bawah," katanya sambil menunjuk bagian tepi patung yang tampak tidak rata.
Galeri alam Dadang dibuka pada 29 Mei. Hal itu dimaksudkan agar dibukanya galeri bertepatan dengan peringatan delapan tahun luapan lumpur Lapindo. Semua patung dipasang di semua sisi lautan lumpur. Tidak ada desain khusus soal peletakan itu. Namun, lanjut Dadang, berdirinya patung tersebut turut membawa barang-barang bekas. "Diibaratkan barang itu harta benda yang ikut tenggelam," jelasnya.
Dadang menjelaskan, patung-patung tersebut didesain bukan tanpa arti. Bagi dia, patung itu diibaratkan sedang bersaksi atas kehilangan besar pada hidupnya. "Gayanya sama dengan gaya orang membawakan foto kerabat atau saudara yang meninggal saat dibawa ke pemakaman," papar dia.
Galeri alam kali ini dinamai Survivor. Bagi dia, nama itu bisa mewakili kehidupan para korban lumpur. Mereka masih bisa survive meski lumpur sudah menenggelamkan rumah dan harta bendanya.
Impian Dadang untuk kali kesekian kembali terwujud. Dan dia akan kembali ke Australia dengan perasaan bangga, karena telah meninggalkan prestasi di tanah kelahirannya Indonesia.
Taniah untuk Dadang Christanto. 


Pilpres yang Tak Mutu Akibat Ulah Tak Mutu Elitenya


Apakah kampanye politik kita sepanjang Pemilu 2014 ini bermutu? Saya kira tidak. Bukan kualitas masyarakat atau rakyat pemilihnya, tetapi justeru omongan comberan para elite politiknya, baik yang ngaku berlatar agama kuat, professor politik, atau pun para maling teriak maling.

Rakyat sudah sangat bermutu tinggi, dengan hanya 66% yang memberikan suara sah, dan dari jumlah itu dibagi rata kecil-kecil, hingga parpol dan elitenya montang-manting kesulitan memposisikan capres-cawapresnya. Hiks, apa kabar Bang Ical, Pak Rhoma Irama, dan Bung Beye?

Dengan modal kecil dari rakyat, dengan ketidakpekaannya yang khas para elite politik main itung-itungan, dan tak tahu diri dengan tidak memperdulikan lagi kepercayaan minimalis yang diberikan rakyat. Koalisi asal banyak, dan kini semua mengaku platformnya sama, visi-misinya sama. Padahal, jangankan dari sejak Mei 1998, dari sepanjang kampanye sebelum Pileg 9 April lalu pun kita masih ingat, omongan satu dan lainnya.

Amien Rais menyatakan pilpres ini mirip Perang Badar. Logika sesatnya menyamakan peristiwa 17 Ramadan 2 Hijriah itu dengan pilpres 2014. Dari logika apapun, pendapat professor politik lulusan Amerika itu, hanya menunjukkan diri sebagai pemain yang punya kepentingan. Karena itu subyektif, dan karena itu tidak relevan. Bagaimana kalau logika itu dibalik, bahwa pasukan kecil kaum muslim yang berjumlah 313 orang menghadapi pasukan Quraisy dari Mekah yang jumlahnya 1.000 orang itu, dipadankan dengan koalisi kerempeng dengan koalisi pipi tembem? Jadi bumerang bukan? Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan muslim yang kecil bisa menghancurkan barisan Quraisy yang tiga kali lipat jumlahnya.

Kampanye kekanak-kanakan itu mulai dari komentar soal “Pilih dia karena tampan”, “Pilih yang ganteng dan banyak hartanya”, “Yang tidak pilih dia diragukan kejantanannya”, “Saya yang lebih dulu pakai baju putih”, “Yang dukung dia gila, yang dukung saya waras”, “NU sesat kalau milih Anu”, “Kalau gitu, kita lomba ngaji aja”, “Ngurus rumahtangga nggak beres gimana ngurus Negara”, dan pernyataan provokatif sejenis-jenis itu. Semuanya sampah.

Sampah barang berguna? Tentu, kecuali sampah mulut para elite politik yang lebih goblog dari hati-nurani rakyat. Karena sampah pernyataan mereka tak bisa didaur-ulang, dan bahkan lebih mirip predator berbentuk jasad renik yang menggerogoti akal-sehat manusia.

Dari kualitas elite semacam itu, wajar jika yang dibawah menirunya. Pilpres seolah sorga dan neraka. Persis komentar kaum fesbukiyah, twitteriyah, bloggeriyah, dan netizen di Indonesia, tak jauh beda. Lantas kenapa disebut elite, pemimpin, jika tidak mampu mendistribusi dan mentransformasikan nilai-nilai keadaban dan kepantasan pada publik? Apa yang perlu diherankan, jika di negeri religius ini Menteri Agama bisa jadi tersangka kasus korupsi!

Pilpres mah urusan suka tidak suka. Dan cara untuk dua hal itu cuma satu: Mengetahui latar-belakang, track-record tindakannya. Bagaimana caranya tahu? Jokowi pernah ngapain. Prabowo pernah ngapain. Dan apa buktinya. Gitu doang kok. Pelajari siapa mereka, dengan adil dan beradab sesuai nilai-nilai Pancasila, titik.

Kalau sejak dalam pikiran tidak adil, sebagaimana kata Pram, maka outputnya sama sekali tidak bermakna, bagi proses berbangsa dan bernegara. Ciye, tinggi ya? Enggak sih, cuma lebih proporsional dibanding mereka yang hilang akal dan nurani.

Mari kita hitung, berapa sih jumlah elite politik dan elite masyarakat itu? Berapa sih jumlah aktivis fesbuk dan media online itu? Tak lebih dari 10% dari 186 juta pemegang kartu suara. Apakah suara mereka berpengaruh? Sombong banget jika menjawab iya, disamping rada klenik juga sih. Di semua belahan dunia, rakyat pasti memilih pemimpin yang tegas, berwibawa, jujur, amanah, tidak korup, bekerja untuk rakyat. Kodok buta huruf yang males mandi pun, juga tahu soal itu.

Menganggap yang normatif masih penting dikatakan, menunjuk para elite politik itu memang tak bisa menjabarkan kenapa mereka harus dipilih. Politikus busuk ditandai dua ciri: Bagi duit, atau diam-diam menerima mahar politik. Tanya saja Hashim Djojohadikusumo, Aburizal Bakrie, Harry Tanoe, sudah habis berapa duit dan untuk apa saja. Untuk tokoh-tokoh lain, pertanyaannya tinggal dibalik: Sudah dapat berapa saja, dan, darimana saja?

Biar kelihatan agak religius, tulisan ini perlu ditutup begini: Segala sampah itu pertanda mereka tidak bisa mengukur dan mempraktikkan ketulusan dalam bersiyasah yang amanah. Dan hukuman untuk itu, sebenarnyalah logis saja, sekiranya mereka berfikir. Tak ada urusan dengan kerempeng dan pipi tembem. Salam lemper!

Rabu, Mei 28, 2014

Prabowo, Kecuali Dia Bisa Lebih Baik dari Jokowi


Catatan: Sunardian Wirodono

Dalam sebuah pertemuan dengan partai pendukungnya, Prabowo Subianto, capres dalam Pemilu 2014 mengatakan; "Seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak,..."
Kata-kata itu seolah menunjukkan kebijaksanaannya, tetapi itulah realitas politik yang dihadapinya saat ini dan ia salah membacanya.
Dengan adagium bahwa seribu kawan terasa kurang, maka ia merekrut semua, mengajak semua, bahkan kalau perlu membujuk semua. Karena dengan begitu maka ia akan didukung banyak pihak. Dalam kalkulasi perolehan suara pileg, maka partai-partai pendukungnya, dengan perolehan masing-masing seperti PPP, PKS, Golkar, PAN, PBB, dan bahkan bisa dipastikan nantinya Demokrat, seolah telah memposisikan capres Prabowo sebagai pemenang Pilpres 9 Juli 2014 mendatang.
Prabowo menjadi tokoh yang sangat ambisius. Jauh sebelum penyelenggaraan pileg 9 April 2014, Hashim Djojohadikusumo sudah sesumbar, bahwa dia menyiapkan dana unlimited untuk kakaknya itu. Dana untuk apa? Tentu saja dana politik. Bukan hanya pada partai nasional, pada 3 partai lokal di Aceh pun, kita bisa dapatkan informasi, bagaimana dana politik Gerindra menyebar ke mana-mana. Belum lagi fenomena kisruh dukungan SDA yang maju-mundur, juga PKS, yang keduanya mengancam keluar dari dukungan, ketika masuk Hatta Radjasa dari PAN. Belum lagi negosiasi alotnya Golkar dan Gerindra. Hingga kemudian muncul janji soal posisi menteri utama, negosiasi uang sampai Rp 3 trilyun.
Berbagai manuver Gerindra kemudian adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya pihak. Hampir semua pihak yang "dikecewakan" kubu Jokowi, dibujuk dan dimanfaatkan, seperti pada Rhoma Irama, Mahfud MD, demikian juga Guruh Soekarnoputra dan Rachmawati Soekarnoputri (kenapa tidak sekalian Guntur Soekarnoputra dan Sukamawati Soekarnoputri?), meski Guruh dan Rachma tidak secara eksplisit menyatakan dukungan.
Dengan keyakinan "seribu kawan masih terlalu sedikit", maka Gerindra dan koalisinya mengembangkan berbagai cara. Hingga perlu menjadikan kepala daerah, bupati, camat, sampai kepala desa untuk menjadi tim pemenangan di wilayah masing-masing.
Cara-cara terakhir itu, dengan melibatkan pejabat publik (apalagi yang dipilih berdasar demokrasi), akan menjadi gangguan yang serius. Meski pejabat publik dimenangkan oleh kelompok pemilihnya, bukan berarti kelompok yang tidak memilihnya waktu itu, kemudian diposisikan bukan alamat bagi kebijakan dan kebajikannya. Apalagi jika pada prakteknya kemudian tak jauh beda dengan jaman Orde Baru Soeharto, yang dijalankan dengan ancaman, intimidasi, dan bahkan penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Cara-cara Prabowo tak jauh beda dengan cara-cara militer. Politik didekati dengan indoktrinasi. Dan semua kawan koalisi Gerindra, kini berperilaku sama, meskipun itu bernama Mahfud MD atau Amien Rais. Statemen mereka, kemudian tak jauh beda dengan komentator fesbuker atau netizen amatiran.
Sementara hanya dua kandidat yang maju, maka rakyat akan dihadapkan secara head to head, untuk memilih siapa yang disukai dan dipercaya. Dan ini sesuatu yang sangat mudah pembacaannya, karena dua kubu menampilkan sebuah kontras.
Dalam visi dan misi, semua orang boleh berbusa-busa. Dan apa sebetulnya yang tertuang di sana, semua bisa dianggap baik, ideal, penuh harapan dan sebagainya. Namun, yang harus segera di sadari oleh kubu Prabowo, adalah soal rekam jejak.
Secara obyektif harus dikatakan, bahwa Prabowo sama sekali tidak punya rekam jejak yang meyakinkan dalam kepemimpinan. Bahwa ia anak manis, anak orang kaya, dan menantu orang yang sangat berkuasa, yang menjadikan begitu lulus AMN terus masuk dalam rising star, sampai kemudian menjadi Danjen Kopasus dan kemudian Pangkostrad. Celakanya, fakta sejarah yang tidak bisa ditolak, dalam karir militernya itu, Prabowo dipecat. Tidak mudah menerima tentara dipecat itu kelak menjadi Panglima Tertinggi TNI.
Sementara itu, mengukur kepemimpinan di militer, tentu berbeda dengan kepemimpinan di dunia sipil. Buktinya? Dalam membangun komunikasi politik, watak otoritarian Prabowo tampak menonjol. Dan keputusan-keputusan politiknya sering terlihat blunder. Dalam gesture pun hal itu tampak jelas, bagaimana ia adalah pribadi yang dominan, namun sangat pragmatis.
Dalam manifesto politiknya, Gerindra menyiratkan bahwa negara akan menjadi penentu soal agama yang benar dan tidak benar, akan menjadi pembina bagi yang dianggapnya melenceng dari syariat, dan senyampang dengan itu Prabowo mengisyaratkan mau bekerjasama dengan FPI. Tetapi ketika diserang dalam hal konsepsi keagamaannya, dengan tingan dibantah dalam permainan kata-kata belaka.
Begitu juga ketika dalam manifestonya, untuk menonjolkan sisi nasionalisme, ia akan menasionalisasi beberapa perusahaan multi-nasional. Dan ketika hal itu dikritik oleh SBY, dengan menyatakan bahwa Demokrat tak mungkin mendukung capres yang akan membuat kekacauan ekonomi (karena nasionalisasi tadi), Prabowo pada waktu yang tak lama berselang, berjanji akan melanjutkan konsepsi pembangunan yang sudah dilakukan oleh Demokrat. Padahal, sampai pada saat deklarasi pencapresannya, Prabowo masih mengkritik konsepso pembangunan pemerintahan SBY.
Hal yang sama dan sebangun dikatakan berkait pengakuan siapa dirinya. Ketika berkunjung pada para purnawirawan, Prabowo mengatakan bukan kader Golkar dan sudah menyatakan keluar. Tetapi hanya selang seminggu kemudian, ketika akhirnya Golkar sepakat bergabung dengan koalisi Gerindra, Prabowo dengan enteng mengatakan mereka berdua (Prabowo dan ARB) adalah sama-sama kader Golkar.
Hal-hal semacam itu, memposisikan Prabowo sebagai calon pemimpin yang belum matang, ketika selalu pihak mereka menyerang Jokowi sebagai orang yang belum mempunyai pengalaman nasional. Kalau ingin mencari orang yang berpengalaman nasional, sesungguhnya mudah saja, pilih saja pensiunan presiden!
Tetapi kenapa para pensiunan presiden tidak mencalonkan, atau kenapa tidak diinginkan oleh rakyat? Karena ukurannya tentu berbeda. Pemilu sebagai daulat rakyat, adalah otoritas rakyat yang akan menentukan. Boleh saja para elite, penggede dan orang pintar mengaku bisa punya pengaruh, tetapi kenyataannya, pileg kemarin hanya menghasilkan 76% suara sah, artinya ada 24% suara tidak sah. Dan dengan perolehan suara yang hanya 18%, 14%, 12% dan 10%, itu sungguh sangat kecil, apalagi partai-partai politik yang perolehannya dibawah itu.
PKB mengklaim sebaca partainya NU, dan kita tahu konon NU memiliki jemaat hingga 60-an juta. Tapi bagaimana perolehan PKB pada pileg kemarin? Hanya sekitar 11 juta suara. Ke mana yang 50-an juta? Pertanyaan sama perlu dilakukan pada Golkar, PKS, Gerindra, PAN, Demokrat, PPP, dan lain sebagainya. Toh pada kenyataannya, sistem politik di Indonesia memakai sistem floating mass, dan one man one vote yang membuat siapapun pemegang kartu suara mempunyai nilai sama, tak peduli dia pemimpin ormas, kyai, atau pun tukang becak dan pelacur pinggir jalan.
Preferensi yang dikedepankan bahwa Prabowo adalah pemimpin yang tegas dan berwibawa, dengan hal-hal di atas sesungguhnya sama sekali tidak terasa. Bahwa secara postur dan wajah, fisik, dia "lebih baik" dari Jokowi, barangkali bisa betul. Namun sama sekali tidak terbuktikan bahwa postur tubuhnya itu, mencerminkan ketegasan dan kewibawaan, sekali pun ia dari militer. Karena ketika terjadi pilihan langsung dari rakyat yang pertama, dan mereka terpesona pada SBY (yang lebih gagah dari Megawati), toh pada akhirnya SBY adalah sosok kepemimpinan yang dianggap lemah, lamban, peragu, dan sering tidak hadir dalam situasi-situasi critical.
Tulisan ini tidak ingin menyinggung pada masalah-masalah diluar "kepemimpinan nasional", misalnya soal bagaimana Prabowo menjadi pengusaha dan bagaimana kehidupan rumah-tangganya. Meski pun dua hal ini akan menjadi sorotan penting bagi pemilih, karena pemilih bukan hanya fesbuker dan aktivis dunia maya.
Mayoritas pemilih di Indonesia akan melihat karakter tokoh, kepribadiannya, sikap-sikapnya, dan apa yang sudah dikerjakan, Pada faktor apa yang dikerjakannya itu, Jokowi lebih leading. Sentimen yang dibangun kelompok Prabowo, dengan mendeligitimasi Jokowi sebagai bodoh, tidak cerdas, boneka, tidak bisa shalat, Cina, bukan Islam, hanya akan menjadi bumerang, karena pada faktanya Prabowo semula adalah Kristen, yang kemudian pindah Islam karena menikah dengan Titiek Soeharto. Mama Prabowo, adiknya, adalah Kristen, meski Sumitro adalah Islam. Dua adiknya lagi, bahkan adalah Katholik. Ini fakta dan bukan fitnah, dan apakah PKS atau partai-partai yang mendaku sangat Islami itu mengerti soal ini? Ini sisi lemah black campaign dengan isyu SARA yang bisa dipakai. Tetapi apa relevansinya? 
Sementara Jokowi, anak orang miskin dari pinggiran sungai, ditarik ke pusaran arus kekuasaan oleh anak Sukarno bernama Megawati (ketua umum partai politik pemenang Pemilu 2014, dan pemegang mandat kongres partai yang mempercayakan padanya untuk menentukan siapa saja), siapa yang tidak gonjang-ganjing dengan hal ini, ketika semua partai percundang berebutan kekuasaan, sampai kehilangan harkat dan martabatnya dari capres, menjadi wapres, kemudian mentri utama, dan kemudian atas nama kamuflase tidak menjadi apa-apa?
"Seribu musuh terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak," itu dilema Prabowo sekarang. Gara-gara satu orang bernama Jokowi, dia jadi kelimpungan. Sebelum Jokowi masuk bursa kepemimpinan nasional, Prabowo selalu teratas dalam survey dari sejak 2010-2012. Namun akhir 2012, ketika muncul Jokowi, Prabowo rontok elektabilitasnya.
Dan kini, peta politiknya menjadi lebih sederhana, David lawan Goliath. Jokowi yang kerempeng menjadi penantang serius Prabowo yang gemuk tembem, meski pendek. Pertarungannya kini mengerucut antara "orang kota" dengan "orang desa", "orang pusat" dengan "orang pinggiran", "orang kaya" dengan "orang miskin", "orang tampan dan priyayi" dengan "orang jelek dan ndesit".
Dan rakyat akan selalu memberikan antitesisnya. Sebuah hukuman sejarah ketika elite partai politik tak bisa membaca signal kejengkelan rakyat, melalui hasil pileg 9 April kemarin.
Pemilu, dengan pileg atau pilpres, bukanlah sesuatu yang ajaib-ajaib banget. Dia masih dalam ranah manusia. Namun karena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak, pastilah nilai-nilai kemuliaan dengan sendirinya menjadi ukuran di sana. Siapa capres yang tidak punya, atau bahkan berkhianat pada nilai-nilai kemuliaan itu, akan dijauhi rakyatnya, meski dia ganteng dan gagah. Karena untuk memuliakan bangsa dan negara, bukan ditentukah oleh sosok fisik, melainkan kemuliaan jiwanya yang dimanifestasikan dengan apa yang dipikirkan dan apa yang sudah dikerjakan. Dan ini, hampir menjadi harga mati dalam pemilu mana pun.
Dalam sebuah tulisannya; The Science of Leadership, "WHY TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP WORKS", Joseph H. Boyett, Ph.D., dari Boyett & Associates mengatakan; Pemimpin transformasional sukses karena mereka menyadap (mungkin tepatnya 'menyerap') beberapa kebutuhan paling dasar manusia, seperti kebutuhan untuk rasa identitas, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk merasa baik tentang upaya kita, kebutuhan untuk merasa bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang istimewa, kebutuhan untuk percaya bahwa masa depan kita adalah perpanjangan harapan masa lalu kita, dan kebutuhan untuk merasa bahwa kita mencapai sesuatu worthwhile dengan kehidupan kita. Singkatnya, kepemimpinan transformasional bekerja karena kebanyakan dari kita sebagai pengikutnya sangat ingin bekerja.
Dan hal itu terlihat lekat pada Jokowi. Keterikatan kita pada pemimpin, didasarkan pada rasa ke-putusasa-an kita untuk merebut kembali bahwa "kami kehilangan surga masa kecil kami”. Dengan adanya pemimpin kharismatik, 'kami' kembali menjadi lengkap dan berharga. Pemimpin sebagai jawaban untuk ruang kosong dalam jiwa kita. Tidak ada rasa rasa komunitas, tradisi, dan berbagi makna yang memberi generasi sebelumnya rasa penguasaan, keyakinan pribadi dan harga diri.
Kepemimpinan kita yang tidak partisipatif, korup dan miskin keteladanan, menjadikan rakyat hanya sebagai obyek dan bukan subyek, telah meletakkan rakyat dan penguasa vis a vis berhadapan, secara diametral, bermusuhan. Hal tersebut menumbuhkan kelaparan yang bersifat psiko-sosial. Kelaparan untuk bimbingan rohani. Keinginan untuk diisi oleh dzat Tuhan, oleh agama, kebenaran, oleh kekuatan dan kepribadian seorang pemimpin atau guru. Dan terutama konsumerisme kronis.
Keharusan untuk mengisi kekosongan dengan barang-barang konsumen dan pengalaman "menerima" sesuatu dari dunia. Pemimpin sebagai "Good Parent", sebagaimana Soeharto memerankan dirinya, atau ada orang mendaku sebagai keturunan Pangeran Diponegoro, dan sebagainya (contoh soal dari SW).
'Kami' (kumpulan individu) ingin merasa penuh harapan tentang masa depan. Pemimpin karismatik menanamkan dalam diri kita keyakinan; bahwa semua akan baik sekali jika kita hanya mengikuti dia.
Sementara, pendapat lain tentang kepemimpinan transformatif, mempunyai ikatan yang jauh lebih efektif, karena model kepemimpin transformasional lebih memberikan perhatian individu: mendengarkan, sensitif, terutama dibutuhkan untuk kebutuhan pribadi, dan untuk pengembangan serta pertumbuhan.
“Pemimpin Transformasional” berkomunikasi menggunakan pesan emosional. Terbuka dan ekspresif. Terlibat dalam hangat, penuh kasih, dan menerima komunikasi emosional. Ia mengatur tantangan realistis dan menginspirasi kemampuan seseorang untuk mencapainya. Karena itu, ia lebih mengembangkan otonomi, motivasi dan inisiatif dalam diri pengikutnya.
Menciptakan rasa identitas, nilai dan kompetensi, pada tingkat individu dan kelompok. Menerima dan memperkuat individu mengembangkan kebutuhan untuk mandiri. Memperkuat rasa berharga, identitas, dan kompetensi. Bertujuan kerja dengan standar kinerja, tetapi tidak kritis menghakimi. Mengatur keterbatasan, menetapkan aturan bagi yang tidak disiplin, tetapi tidak mengkritik, tidak dominan, menekan atau melarang tanpa alasan.
Pemimpin transformasional menyediakan kesempatan untuk pengalaman dan re-inforces kesuksesan. Memberikan stimulasi intelektual; merangsang imajinasi dan berpikir, serta mengembangkan kreativitas.
Pemimpin transformasional membangun perasaan harga diri, self generations, kompetensi, kemandirian, motivasi batin diarahkan, kemauan untuk menginvestasikan upaya lebih lanjut dan berusaha untuk sukses. Memungkinkan orang untuk memanfaatkan potensi individu dan organisasi mereka. Menghasilkan rasa harga diri, kematangan emosional, kompetensi, kemerdekaan, berorientasi prestasi. Pemimpin transformasional mempunyai kepercayaan penuh dan rasa hormat, dan menciptakan perasaan kekaguman dan bangga berada di dekatnya. Menjadi contoh pribadi. Berfungsi sebagai model imitasi dan identifikasi.
Orang-orang termotivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri mereka (identitas dan komunitas) dan harga diri-sendiri. Penghargaan didasarkan pada rasa kompetensi, kekuasaan, prestasi atau kemampuan untuk mengatasi dan mengendalikan lingkungan seseorang. Harga diri didasarkan pada rasa kebajikan dan nilai moral, dan didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai tentang perilaku.
Bagaimana kepemimpinan transformasional melakukan pekerjaannya? Apa itu pemimpin transformasional yang membuat begitu menarik? Mengapa kita menginginkan perubahan dalam cara kepemimpinan kita? Ada apa dengan jiwa kita yang membuat kita begitu terbuai atas ‘upaya’ tipu muslihat pemimpin transformasional ini?
Tidak ada jawaban yang pasti untuk hal itu. Namun mimpi rakyat bertumpu pada Jokowi. Jokowi mampu memformulasikan yang tak bisa diteorikan oleh para pengamat politik. Mungkin jawaban sederhana adalah; ia bekerja karena 'kami' menginginkannya untuk bekerja. Kami perlu untuk hal itu, yakni bekerja. Kami menginginkan memiliki identitas. Kami ingin merasa bahwa kita memiliki. Kami ingin untuk merasa baik tentang upaya kita dan diri kita sendiri. Kami ingin merasa, bahwa kita mencapai sesuatu yang berharga dengan hidup kita. Kami ingin melihat masa depan kita sebagai perpanjangan harapan masa lalu kita. Kami ingin membuat perbedaan. 
Dan siapa yang berada dalam aras bawah sadar atau harapan itu, dan bisa meyakinkan rakyat, bahwa dengan mengikutinya kita dapat memenuhi keinginan tersebut, jadilah ia pemimpin transformatif. Jika ia tidak berada dalam aras bawah sadar masyarakatnya, sebanyak apapun uang dibuangnya, rekayasa diciptakannya, media memuja-mujanya, semuanya juga akan sia-sia. 
Atau pun jika sebaliknya, ketika pemimpin transformational itu dituding hanya bagian dari rekayasa, boneka, punya konspirasi dengan Yahudi, China, AS (kok nggak dituding dengan Arab Saudi ya, misal dengan kaum wahabi), semuanya juga akan sia-sia belaka. 
Kepemimpinan tidak berada di ruang hampa. Ia nyata, hidup, dan berinteraksi.
Jokowi adalah representasi dari mimpi dan harapan rakyat, kecuali jika Prabowo dan pendukungnya bisa meyakinkan bahwa dirinya tidak lebih buruk. Amien Rais, juga para kader PKS, atau Mahfud MD, bisa mengatakan apa saja tentang Jokowi, tetapi mereka hanyalah bagian kecil dari 186 juta pemilik suara dalam permainan ini.







Jumat, Mei 23, 2014

Korupsi di Ranah Suci Dana Haji

Dan kita kaget, menteri agama tersangkut korupsi dana haji? Seperti tidak mungkin!
Tentu saja mungkin, wong namanya uwong urip. Dikiranya di Arab Saudi tidak ada korupsi, tindak kejahatan dan pelacuran? Ada. Kita saja yang suka mengaitkan agama dengan kesucian, tapi tak bisa membedakan beragama dengan berkesucian.
Dalam data ITI (Internasional Tranparancy Indonesia), Kemenag dan Kemendiknas adalah lembaga pemerintah yang menduduki peringkat tindak korupsi tertinggi. Bayangkan, agama dan pendidikan, yang konon berkait dengan marwah kemuliaan dan keberadaban manusia.
Cara pandang kita, sering tersesat dengan tipologi-tipologi, karena sejak awal dididik dengan cara pandang tipologis. Sebelum terkena kasus dana haji, kemenag sudah terkena proyek penerbitan Alquran. Dan itu fakta hukum, karena sudah masuk ranah lembaga peradilan dan ada terpidananya.
Indonesia termasuk pemasok jemaah haji terbesar di dunia, karena umat Islam di Indonesia terbesar, mengalahkan negara-negara Islam di Timur Tengah. Biaya haji Indonesia termahal di dunia. Tentu itu perputaran uang yang luar biasa. Tapi fakta menunjukkan, kualitas lobby pengurusan pelayanan haji di Indonesia terjelek, kalah dengan Malaysia dan bahkan Filipina. Besarnya jumlah jemaah dan besarnya pasokan devisa tak bisa dipakai alat negosiasi. Logika awam tak bisa hanya mengatakan kualitas kepengurusan haji kita jelek, tapi PPATK kemudian faktual bisa menengarai itu. Bayangkan Kemenag bisa mengelola sendiri perputaran uang sebesar Rp 80 trilliun dengan bunga Rp 3,2 trilliun, dan menolak lembaga perbankan umum untuk mengelolanya. Sistem yang tanpa pengawasan, membuat siapapun tergoda untuk menelikungnya. Bukan karena adanya kesempatan, tetapi kesempatan diciptakan, melalui sistem.
Kasus SDA bukan istimewa, tapi menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi, mengaitkan masalah ini dengan politik nasional kita hari ini. Tak ada hubungannya. Momentumnya saja pas sama waktu. 

Komentar Ahok, wagub DKI Jakarta yang bukan muslim itu, terasa mewakili kita, "Kalau orang mensinyalir naik haji tambah mahal, dan mendapat tempat tidak di ring 1 dan 2, itu yang diprotes orang. Kita bayar mahal, dapat tempatnya jauh. Orang naik haji kan selalu diwanti-wanti dalam manasik haji jangan suudzon, jangan menghakimi orang, jangan curigain orang, nanti enggak jadi haji mabrur. Itu juga saya sebetulnya susah (menilai). Kiai-kiai yang jawab lah. Itu buat orang-orang kita naik haji, enggak berani protes," (Okezone, 23/05).
Tapi KPK adalah lembaga hukum yang kredibilitasnya diakui dunia. Peralatannya tercanggih ke-4 di dunia. Dan tak banyak yang tahu, dari penyidik, staf, hingga office boy di KPK, dididik dengan tingkat disiplin yang tinggi. Mereka bahkan juga merasa perlu mendapat pelatihan dari Kopassus, mereka juga mengundang para seniman dari kelas nyleneh hingga seniman-seniman tukang protes. Mengundang tokoh-tokoh agama dan filsuf sekular, juga ikut latihan kepemimpinan di Lemhanas. Semuanya dengan tingkat ukuran jauh lebih ketat dibanding sistem rekrutmen anggota DPR dan para politikus. Kualitas mental penyidik KPK boleh dipertandingkan dengan kualitas Fahri Hamzah dari PKS yang ambisius membubarkan KPK. Dibanding pada PKS, rakyat masih lebih percaya KPK, apalagi lembaga pengadilan sudah membuktikan presiden PKS (LHI) melakukan tindak pidana korupsi daging sapi.
Mereka yang menganggap KPK berpolitik, harus tahu bagaimana sistem kerja KPK. Tanpa tahu kerjanya, namun menyangkal hasil kerja KPK, adalah sesat pikir dan akan sesat bicara. KPK tentu tak main-main. Semua data PPATK, dalam kasus SDA, harus bisa dibuktikan secara presisi, dan KPK tinggal mengafirmasi dengan data lapangan. Ketika berani menetapkan, itu karena akurasi datanya semua firm. Lihat saja semua tersangka KPK selama ini, termasuk Rudi Rubiandini, Ratu Atut, juga Akil Mochtar, yang semuanya dulu berkilah. Pengacara mereka, pada awal-awalnya galak dan ngomong macem-macem. Namun perlahan, semuanya hanya mempertahankan diri agar tidak lebih malu lagi. Biasanya menjelang jatuhnya vonis, para lawyer yang galak akan lebih banyak diam dan mulai menghindari dari wartawan. Toh fee sudah didapat.
SDA berharap semoga KPK salah paham. Sebagai orang religius, berharap, atau bahkan berdoa, boleh saja. Prabowo bilang agar KPK berfikir. Amin Rais berkata agar tidak dipolitisasi. Kita balik bertanya, siapa yang berpolitik dan tidak berfikir, hingga kemudian salah paham? Bayangkan resiko hukumnya, menuduh orang tanpa bukti.
Sebagai lembaga hukum, KPK tentu tak sembarang mengambil keputusan. Bukan soal reputasi, tetapi itu mekanisme kerja hukum. Kenapa sekarang pas pencapresan? Ya, kenapa harus besok? Kenapa tidak kemaren-kemaren? Lha kalau datanya belum terkumpul? Bayangkan, dengan jumlah penyidik jauh lebih kecil dari 'kpk' Hong Kong, untuk jumlah koruptor terbesar di dunia ini, KPK sudah luar biasa. Apalagi KPK hidup ditengah ancaman, justeru dari pemerintah dan parlemennya yang sok gagah perkasa, mengesankan membela rakyat tapi dengan ukuran subyektif.
Sistem kerja koruptor di Indonesia, sangat njelimet dan KPK tak ingin salah langkah tentu, karena implikasi hukumnya akan sangat berat. Jadi, lihatlah kasus SDA dengan akal sehat. Yang suka mempolitisasi hukum, tentulah politisi dan followernya yang gelap mata dan sesat pikir. Lihat saja ciri kalimat-kalimatnya, penuh paradoks dan ambigu. Menyerang eksistensi KPK tapi mengaku pro pemberantasan korupsi, dengan bungkus kalimat jungkir-balik.
Hukum, yang benar, pasti bisa membuktikan fakta dan data. Kita tunggu saja, siapa yang tidak bersungguh-sungguh tentang Indonesia ini. Kaitannya dengan copras-capres? Hanya otak jorok saja yang suka nyangkut-nyangkutin. Korupsi mah korupsi aja, jangan sok imut kalau sudah ketahuan. Tak perlu bawa-bawa politik, apalagi agama. Bodoh sih nggak usah ngajak-ajak.

Kamis, Mei 22, 2014

Pemilu 2014, Teater Politik dan Sirkus Elite Membaca Pesan Rakyat


Oleh Sunardian Wirodono

Para elite politik dengan partai politik masing-masing, bisa saja bertindak atas nama undang-undang,
merampok harta kekayaan negara, dengan alasan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat jelata.

Sampai detik ini, gambaran partai politik di Indonesia, masih saja lebih banyak menampakkan tiadanya manfaat mereka untuk bangsa dan Negara.
Reaksi politikus, para elite partai politik, dalam membaca hasil pemilihan legislatif 9 April  lalu, menunjukkan dengan jelas. Kaum elite kelimpungan, karena begitu sedikitnya dukungan yang mereka peroleh. Hitungan versi KPU, yang tidak adil (dengan tidak menyertakan suara tidak sah sebagai bilangan pembagi), hanya mencapai angka tertinggi 18,95% bagi PDI Perjuangan. Artinya, partai lainnya beroleh angka lebih kecil dari itu.
Angka bahkan akan jauh lebih kecil lagi, jika kita memakai suara tidak sah (entah itu sengaja atau tidak, golput atau kesalahan teknis) digabungkan sebagai total suara pembagi, sejumlah 185 juta, maka akan didapat suara perolehan murni. Karena angka suara tidak sah, sebagiannya disebut golput,  mencapai 31% (versi KPU 24%), tetap jauh lebih tinggi dari dari perolehan pemenang Pemilu 2014. Dengan hitungan ini, maka real perolehan suara PDI Perjuangan hanya mencapai sekitar 12%, dan yang lainnya tidak ada yang mencapai dua digit.
Sungguh hal itu menunjuk betapa kecilnya suara kepercayaan rakyat diberikan. Dan akibatnya, untuk memenuhi tiket menuju pemilihan presiden, di mana partai pengusung harus memenuhi angka minimal 20%, membuat semua partai politik kelimpungan menghitungnya.
Mau tidak mau, partai satu dan lainnya harus berhimpun, agar akumulasi perolehan suaranya memenuhi syarat untuk itu. Dan kita sudah tahu kemudian, PDIP bersama Nasdem, PKB, dan Hanura, mengusung Joko Widodo–Jusuf Kalla sebagai capres-cawapres. Sementara Gerindra mengusung Prabowo
Subianto-Hatta Radjasa bersama PPP, PKS, PAN, Golkar.
Sikap yang paling aneh, dan tidak relevan, adalah pernyataan politik Demokrat, yang ingin melihat platform dan visi-misi capres masing-masing, untuk kemudian nanti pada last-minute baru akan menentukan sikap.
Sikap Demokrat menunjukkan ketidaksiapannya sebagai partai pemenang dalam menerima kekalahan. Partai ini menurut versi KPU mendapat angka 10%, dan pada dinamika politik menjelang masa pendaftaran capres, Demokrat gagal mendapatkan medan permainan. Bagaimana pun, SBY bermain dalam hal ini (dengan menunggu, mengundang, dan bertemu ARB di berbagai tempat dan waktu), untuk mendorong Golkar membentuk poros ke-tiga. Namun sikap politik ambigu khas SBY, menyebabkan partai ini akhirnya kelimpungan. Apalagi ARB sebagai kawan permainan, mempunyai agendanya sendiri yang harus diselamatkan sebelum kelak terpental dari kepemimpinan Golkar.
Hingga akhirnya, Demokrat sampai pada pernyataan politiknya yang asimetris dengan peran semestinya sebuah partai politik. Sebagai incumbent, semestinya SBY memang menjaga netralitas dan mengantarkan proses pemilihan yang bersih, adil, dan jujur.  Normatif akan seperti itu, dan akan lebih baik. Namun kalimat-kalimat politiknya menjelang penutupan pendaftaran capres (20/5), menunjukkan Demokrat tetap ingin bermain, tetapi tak siap resikonya, dan sudah terlambat. Partai politik yang tidak berani menentukan arah, tetapi tetap ingin menikmati hasil permainan, dengan menunggu perjuangan partai lain, memang terasa sebagai pecundang. Jika demikian, buat apa membuat partai politik, jika tak mampu memberi arah, tetapi justeru hanya sebagai penumpang gratisan?

Manfaat Partai Politik. Pertanyaan yang sama, sesungguhnya bisa diberikan kepada banyak partai politik lainnya. Apalagi dengan berbagai manuver para elitenya. Bagaimana kisah tragisnya Aburizal Bakrie dengan Golkar sebagai peraih suara tertinggi kedua setelah PDIP, namun akhirnya terserimpung bekerjasama dengan Gerindra. Semula konon dijanjikan jabatan Menteri Senior Utama (sebuah istilah yang membingungkan) jika Prabowo menang. Namun ketika hal itu ditanggapi negatif, buru-buru elite pendukung ARB membantah, bahwa tidak ada deal semacam itu, walau sebelumnya kepada pers ARB membenarkan menerima tawaran itu, sebagaimana hal itu terlanjur sudah dikatakan oleh Prabowo.
ARB, jauh sebelum pemilu dilaksanakan, bahkan sudah paling pasti sebagai capres RI 2014-2019, sebagaimana hal itu juga dilakukan oleh Prabowo dengan Gerindra. Namun dengan tingkat elektabilitasnya yang rendah, dan kontroversi yang menyertainya, ARB adalah kartu mati yang tidak layak jual. Apalagi, ada banyak cacat sosial dari lumpur Lapindo hingga insiden boneka Teddy Bear yang tidak bisa dijelaskannya. Dan ARB termakan tulahnya sendiri, dengan mondar-mandir ke Megawati, SBY, Prabowo, dan tidak mendapatkan apa-apa. Padahal, dengan perolehan sebesar 14%, mestinya Golkar berani dengan 1 atau 2 partai menengah saja. Namun kesalahan kalkulasi, menyebabkan dia “tidak menjadi apa-apa” pun diterimanya pada last-minute, dengan penurunan posisi dari capres, cawapres, menteri senior utama, dan entah apalagi nanti.
Jika yang beroleh suara seperti Golkar saja sudah kelimpungan, bagaimana dengan partai-partai satu digit seperti PPP, PKS, Hanura, PKB, PAN, Nasdem?
Nasdem dengan cepat dan tangkas, sebagai pemain baru, mendapatkan mitra yang bisa merepresentasikan kepentingannya, yakni bergabung dengan PDIP mengusung Jokowi. Meski dulu dalam deklarasinya, jika kalah Pemilu Surya Paloh berpidato akan menjadi partai oposisi, partai penyeimbang, sebagai tempat latihan yang baik untuk pemula.
Sementara itu, blunder dilakukan PPP, ketika Suryadharma Ali sejak masa kampanye pileg memunculkan minatnya mendukung Prabowo sebagai capres. Padahal, hasil mukernas PPP sama sekali tidak merekomendasikan Prabowo sebagai capres. Elite PPP pun berada dalam konflik kepentingan.
Sikap Suryadharma Ali, tak bisa diputus dengan deal-deal politik antara SDA dengan Prabowo pada pemilu 2009. Bau money politic antara Prabowo dan SDA ini, sampai merebak dalam mukernas mereka usai pileg 9 April, yang melengserkan SDA sebagai ketua umum. Namun dalam pertemuan berikutnya, suara yang menolak Prabowo sebagai capres dukungan PPP, berbalik dan berhimpun. Hal itu memunculkan rumors money politic bagaimana semuanya bisa diselesaikan jika ada pembagian yang adil.
Namun ketika dalam perjalanannya Prabowo mencawapreskan Hatta Radjasa dari PAN, PPP pun bereaksi akan mencabut dukungan. Bahkan dari pihak PPP yang dulu keras mendukung Prabowo, tiba-tiba atas pencawapresan Hatta Radjasa itu bisa berbalik menolak, dan mengancam akan mencabut dukungan karena menganggap ketua umum PAN itu tidak laku dikalangan NU.

Politik Dagang Sapi.  Apa yang dialami PKS, tidak separah PPP, karena partai ini relatif solid. Meski sodoran tiga cawapres PKS tidak terpilih, partai ini masih akomodatif, karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perolehan suara yang kecil, membuat tak banyak pilihan. Kemungkinan kedua; Sementara karakterisasi partai yang eksklusif, membuat partai ini juga tak punya banyak pilihan. Dibutuhkan ijtihad politik luar biasa untuk PKS bergabung dengan PDIP. Sementara mendorong Demokrat membuat poros sendiri, membuat PKS takut dituding tidak konsisten dengan kritik-kritiknya atas SBY. Sekali pun utamanya, PKS lebih suka mendorong poros tengah jilid dua yang direkayasakan oleh Amien Rais.
Dalam posisi nothing to lose, membuat partai ini lebih realistis menerima mahar dari ambisi politik Prabowo. Jika kelak Prabowo kalah, toh sesuai janjinya mereka bisa menjadi oposisi, tetapi buah pernikahan dengan Gerindra dalam hitungan lain, memberikan keuntungan tersendiri, entah apapun bentuknya.
Seperti kita tahu, Hashim Djojohadikusumo, pengusaha dan adik Prabowo, sangat berambisi mendorong kakaknya menjadi presiden, dan siap dengan donasinya yang dikatakan unlimited untuk tujuan itu. Bagaimana caranya? Hanya Hashim yang tahu. Meski untuk hal ini masyarakat Aceh juga bisa tahu, bagaimana besarnya gelontoran uang ratusan milyar dari Gerindra, sehingga partai ini tampak memperoleh suara fenomenal empat kali lipat dari sebelumnya.
PKB melihat realitas yang ada, memilih bergabung dengan PDIP, ketika rumusan poros tengah Amien Rais ditampiknya karena trauma. Sementara respons Demokrat yang lamban, membuat PKB lebih merasa aman dengan PDIP. Apalagi, pada akhirnya PDIP memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres. Nama mantan ketua umum Golkar, adalah satu dari tiga cawapres dari PKB selain Mahfud MD dan Rhoma Irama. Dan kita juga mengerti, apa reaksi-reaksi yang muncul dari Rhoma Irama terutama, dan Mahfud MD. Politik pada akhirnya tak jauh beda dengan dagang sapi. Bukan berarti dagang sapi lebih rendah nilainya, namun memantas-mantas politik sama dengan  manakar-nakar harga seekor sapi. Dan itu menyedihkan.

Capres-Cawapres dan Personalitas. Pada akhirnya, kita sudah tahu konfigurasi perkawinan partai politik itu. Namun kemudian kita melihat reaksi-reaksi yang bermunculan.
Pilihan Golkar bergabung Gerindra, memunculkan perbedaan tajam di kalangan elitenya. Politikus muda Golkar menolak pilihan ARB bergabung ke Gerindra, demikian juga beberapa elite senior seperti Luhut M. Panjaitan, memilih mendukung Jokowi dan mundur dari Golkar. Hal ini diikuti Fahmi Idris yang juga mengundurkan diri dari Golkar karena lebih memilih Jokowi. Beberapa DPD Golkar juga terbelah dalam pilihan-pilihannya.
Hal yang sama terjadi pada Harry Tanoe, serta Fuad Bawasyir, yang memilih berseberangan dengan pilihan Wiranto, sebagai ketua umum, yang konon mendapat mandate dalam rapimnas Hanura, ketika menentukan pilihan pada Jokowi. Harry Tanoe dan Fuad Bawasyir mengatakan konon dengan gerbongnya, memilih ke Prabowo, sementara Wiranto ke PDIP dikatakannya datang dengan gerbong kosong.
Hal lain yang tak kalah seru, dengan gerakan Gerindra yang mengaku bisa menembus semua akses. Dari Rachmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Mahfud MD, Rhoma Irama, bisa dihimpunnya untuk bergabung mendukung Prabowo. Dengan terang-terangan, Gerindra memakai strategi pecah-belah dan kuasai. Orang-orang “dari” poros PDIP yang tidak setuju dengan pencapresan Jokowi, dibujuk dan entah diiming-imingi apa. Hanya Mahfud MD yang mengaku diiming-imingi jabatan menteri. Sementara kita tidak tahu, Ahmad Dhani yang masuk sebagai tim pendukung Prabowo diiming-imingi apa, karena musisi ini semula ikut dalam tim kampanye PKB, selain posisinya sebagai Ketua Lesbumi, badan kebudayaan NU. Oleh musisi Republik Cinta ini dikatakan, konon yang tidak memilih Prabowo diragukan kejantanannya. Apakah untuk memilih capres harus melalui prosedur ditest kejantanannya terlebih dulu?
Gerindra, sampai hari ini, bahkan masih akan terus mendorong agar Demokrat menjatuhkan dukungan padanya. Hingga perlu beberapa kali Prabowo minta audience dengan SBY, dan menyatakan bahwa dia akan siap melanjutkan konsep pembangunan SBY.
Ambisi politik Prabowo, menyebakan capres ini terlihat tidak konsisten dalam wacana-wacana politik yang disampaikan ke publik. Dan cenderung berubah-ubah dalam perbedaan yang sangat tajam. Dalam manifesto politiknya ia akan menasionalisasi asset-asset Negara, tetapi ketika dihantam SBY yang tidak akan mendukung capres dengan program tidak rasional (antara lain nasionalisasi), Prabowo dengan enteng mengatakan; bahwa ia akan melanjutkan program pembangunan SBY. Itu demi Prabowo mendapat dukungan Demokrat.
Hal itu juga sama dengan ketika di hadapan para senior TNI, Prabowo mengatakan dirinya telah keluar dari Golkar. Namun beberapa hari kemudian, ketika mendapat dukungan dari ARB, ia menyatakan bagaimana pun juga sebagai kader Golkar.

Pragmatisme Politik Sebagai Agama. Pragmatisme politik, itu yang tampak menonjol di antara berbagai partai politik. Dan hal itu bisa menjadi agama atau panutan baru. Mereka mudah mengumbar kata-kata, menyatakan punya kesamaan platform, visi-misi, dan sebagainya. Itu semua baru dinyatakan ketika mereka membutuhkan pembenaran, tetapi tidak ketika mereka mencoba merebut suara rakyat sebanyak-banyaknya.
Inkonsistensi, adalah ciri khas dari praksis politik kita karena politik pragmatism. Dalam pemilu kemarin, rakyat sudah memberikan suara minimalnya, tetapi para elite partai politik tidak bisa menerima sebagai kritik keras rakyat. Rakyat justeru dikatakan masih buta politik, bodoh, dan mudah terkena money politics. Siapa yang membuat semua itu? Tentu saja adalah karena partai politik tidak berfungsi, dan politikus kita tidak mempunyai preferensi politik dalam proses demokratisasi. Menyalahkan rakyat, adalah pertanda kegoblogan partai, tidak menyadari betapa mereka tidak berguna dan tidak berfungsi.
Jika para elite politik merasa lebih pintar, sebagai elite, semestinya mereka memberikan arah, hingga juga mampu melahirkan UU Politik dan aturan main Pemilu yang baik dan benar. Namun, tak bisa menghasilkan produk hukum yang memadai, tak mampu membuat jaringan system kerja yang baik, dan kemudian menyalahkan pihak lain, adalah ciri politikus yang tidak jelas visi-misi dan konsep mereka tentang bernegara. Alih-alih mau belajar, tetapi yang dilakukan malah justeru memanfaatkan dan memanipulasi semuanya itu demi kepentingan mereka sendiri. Mengritik rakyat bodoh, tetapi senyampang itu melakukan praktik politik uang.
Para elite kini menunjukkan kembali kebodohannya, dalam membaca pesan atau sinyal rakyat yang diberikan dengan perolehan suara yang sedikit itu. Partai politik hanya bisa membaca angka-angka itu sebagai jumlah, bukan nilai. Maka jumlah sekian ditambah jumlah sekian akan berjumlah sekian. Namun semua jumlah itu sesungguhnya tidak bernilai. Apakah dengan dukungan 47% (dan jika nanti Demokrat bergabung dan menjadi 57% suara) Prabowo yakin menang presiden? Tak ada jaminan. Karena pileg tentu berbeda dengan pilpres.
Dalam pileg masih mungkin jumlah dihitung berdasarkan perolehan masing-masing partai. Namun dalam pilpres, mereka akan terkecoh. Sebagaimana sejak awalnya sudah ditunjukkan, bagaimana orang-orang yang berhimpun dalam satu partai tidak mampu berhimpun dalam satu nilai. Sementara, presiden adalah sosok nilai yang sangat berbeda dan memungkinkan pilihan-pilihan silang. Orang Golkar bisa memilih Jokowi, orang PAN bisa memilih Jokowi, orang Nasdem atau PKB bisa saja memilih Prabowo, dan seterusnya.
Dengan menghimpun AA Gym, Serikat Buruh, Pekerja Kreatif, kelompok asosiasi ini dan itu, ormas, kelompok agama tertentu, alumni ini dan itu, seolah itu semua merepresentasikan nilai suara yang akan berhimpun, untuk memilih pilihan yang sama. Padahal kita sudah punya pengalaman itu ketika 2004, di mana perolehan partai Demokrat tidak berbanding lurus dengan perolehan SBY sebagai capres waktu itu. Artinya, hanya manusia celaka yang tidak bisa melihat sejarah sebagai perbandingan.
Amien Rais, karena dulu sebagai ketua MPR, bisa membuat merah-birunya capres, dengan menggeser Megawati ke Gus Dur, dan kemudian sebaliknya melongsorkan Gus Dur dan menunjuk Megawati. Sekarang penentunya bukan anggota DPR-MPR, melainkan rakyat secara langsung-sung. Dan segala inisiasi Amien Rais dengan teori lamanya, sama sekali tidak berefek. Target dia, dengan membentuk poros tengah kali ini, hanya menggoalkan Hatta Radjasa menjadi cawapres dari Prabowo, dan ia berhasil menghimpun PPP, PKS, dan PAN sebagai determinasi partai Islam. Apakah ini akan mulus? Justeru koalisi pelangi, dengan memposisikan Amien Rais satu meja dengan Hilmy Aminuddin (ketua dewan syuro PKS), akan menjadi jebakan batman di kalangan bawah.  Kalangan grassroots akan bisa memahami, bahwa koalisi elite hanya menguntungkan para elite itu sendiri, tetapi tidak sinergi dengan arus bawah.

One Man One Vote . Apalagi dalam pilpres, benar-benar one man one vote. Suara satu orang diakumulasikan menjadi suara terbanyak. Dengan pilihan hanya dua capres, semuanya akan menjadi lebih mudah bagi rakyat. Tinggal menghitung saja berapa suara golput untuk dua calon yang ditawarkan itu. Ketika kertas suara sudah ditangan pemilih, yang dinamakan mobilisasi itu tidak akan punya arti sama sekali. Bahkan sekali pun Gerindra dan Golkar, juga PKS, sudah mengintimidasi dengan kedisiplinan partai untuk memecat pengurus partai yang berkhianat di level mana pun.
Itu semua karena selama ini, kita selalu terjebak dalam citra personalitas. Sistem dan mekanisme politik kita mampat, tak mampu memberikan output yang lebih produktif dalam apa yang dinamakan platform politik. Hingga akhirnya, yang muncul kemudian sama dalam peraturan pemilihan raja-raja jaman dulu. Hanya berdasar citra-citraan dan mitos-mitos yang dibangun, selebaran gelap dan berbagai informasi hoax di mana-mana untuk saling menjatuhkan. Sampai-sampai Prabowo perlu mengatakan bahwa dialah “yang pertama kali memakai baju putih, karena putih itu lambang kesucian.” Itu pernyataan normatif. Tetapi ketika kalimat itu dilanjutkan, “Yang di sana kan semula kotak-kotak?” Kita melihat tontonan politik yang kerdil.
Sampai-sampai perlu membangun fisik diri bagaikan Sukarno, dengan pakaian army-look, berpeci, bahkan kalau perlu berkuda. Berpidato yang penuh retorika dan oratoris. Apakah semua teater politik itu masih memadai? Rasanya masih, dan belum kapok tertipu kemasan luar sebagaimana dulu rakyat mendapatkan SBY.
Ya, sudah, jika masih demikian tarafnya, maka yang terbaiklah yang menang. Apakah yang terbaik Prabowo atau Jokowi? Hanya yang mendapat suara terbanyak nanti yang membuktikan. Dan tidak ada yang ajaib mengenai hal itu. Bagaimana yang baik itu diuraikan? Tidak bisa diuraikan di sini dan sekarang, namun post-factum nanti tetap akan ketahuan, capres yang dipilih rakyat itu seperti apa. Dan suara rakyat tidak bisa diwakilkan oleh gegap-gempitanya suara elite berorasi tentang mimpi-mimpi kemuliaan itu.
Sama seperti kita sulit menebak siapa yang menang antara Barcelona atau Madrid, tapi nanti setelah usai pertandingan, kita dengan mudah mengerti kenapa Madrid, atau Barca kalah. Kita tidak bisa mengatakan yang tidak jujur yang akan kalah, tetapi setidaknya yang loveable di hati rakyat itu yang akan menang. Dan kalau sudah bicara itu, itung-itungan obyektif di atas kertas sesungguhnya sudah bisa dilihat.
Prabowo sebagai presiden yang tegas, sama sekali belum terbukti. Apalagi sebagai komandan Kopasus ia diberhentikan dengan penilaian negatif. Sebagai tentara aktif, faktanya ia dipecat. Sementara performance perusahaannya, sebagai pengusaha, juga belibet banyak masalah. Sedangkan Jokowi, sebagai pejabat publik sudah teruji sebagai walikota dan Gubernur, juga mendapatkan pengakuan internasional.
Ketegasannya, kemandiriannya, tidak parallel dengan gaya komunikasinya yang sangat medok dan ndhesit. Konsep-konsep pembangunannya, telah dibuktikan dan akan diinisiasi sebagai program nasional dengan distribusi silang antar-daerah (untuk menekan volume impor), disamping sebagai pengendali inflasi terbaik secara nasional. Itu semua menunjuk bahwa Jokowi seorang pekerja, dengan konsep yang benar. Sementara Prabowo masih terjebak dalam jargon politik, dan memanipulasi paradigma militer, sebagaimana ketika 2004 dan 2009 orang terpukau kegagahan Jenderal SBY, tetapi dialah satu-satunya presiden Indonesia yang lamban dan tidak jelas.
Kita ingin melihat sebuah tontonan politik yang bagus dan mendidik. Tapi tampaknya belum bisa kali ini. Karena masih banyak isyu yang diproduksi tak penting bagi proses pendidikan politik itu sendiri. Kita digiring pada personalitas dengan segala citranya, bukan pada konsep program ke depannya, dan kenapa itu penting serta bagaimana bisa dijalankan.
Sekali lagi adagium dalam tulisan sebelum ini bisa dipakai; Para elite partai politik dan para politikus merasa pandai membaca apa yang belum ditulis rakyat (pilpres 9 Juli yang akan datang). Tetapi mereka tidak bisa membaca sama sekali pada apa yang sudah dituliskan rakyat (lewat pileg 9 April lalu).
Dan itu tragedi elite, yang tega mengorbankan masa depan rakyatnya, bangsa dan negaranya, dengan menyodorkan lakon teater yang miskin. Munculnya karakter Sukarno, yang jadi rebutan dalam panggung teater keduanya, menunjukkan betapa mereka tidak mandiri dan berkepribadian sebagaimana Sukarno mengukur bangsanya.

Selasa, Mei 20, 2014

Hari Kebangkitan dan Kebangkrutan 20 Mei

20 Mei 1998 adalah Hari Kebangkrutan Orde Baru. Tepat hari ini, 16 tahun lampau, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya selaku presiden. Sebelumnya, terjadi pergolakan politik yang memakan korban, kaum muda dan mahasiswa yang aktif turun berdemo melawan tiran, rakyat jelata yang entah oleh siapa digerakkan untuk menjarah toko dan mall-mall dan kemudian terpanggang hidup-hidup, dan perkosaan brutal pada kaum perempuan "WNI Keturunan" China.
Sebuah era dengan segala absolutismenya tak mampu bertahan pada gelinjang sang kala. Kita menyebutnya waktu itu sebagai era reformasi, bangkitnya sesuatu yang baru, sama sekali baru, sedikit aneh, dan sebenarnya asing. Karena era itu tidak mengubah apa-apa, kecuali tumbuhnya perilaku liar yang tak terkendali. Sebuah perubahan tanpa sikap, yang hanya menghadirkan kekuasaan absolut para elite, namun sama sekali tidak memiliki pijakan, dan apalagi akar, yang kuat.
Absolutisme Soeharto, dari sejak ditabalkan dalam Pemilu 1971, hingga Pemilu 1997, mengajarkan begitu banyak kebohongan dan mewariskan begitu banyak kekerdilan.
Periode-periode emas era 1908, 1928, dan puncaknya pada 1945 mengantarkan kita pada negara demokrasi dengan pemilu pertama kali 1955, yang dicatat sebagai peristiwa demokrasi terbesar di dunia, dari sebuah negara baru pada waktu itu, menunjukkan bagaimana proses kaum elite bangsa ini mendidik kaum warga pada jalan kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara.
Namun sesudahnya, ketidaksabaran elite politik, sejak jaman Demokrasi Terpimpin Sukarno 1957, dan kemudian dipraktikkan secara massif oleh Soeharto, membuat proses berbangsa dan bernegara ini perlahan meniadakan yang dinamakan proses kebersamaan dan partisipasi.
Elitisme sepanjang Orde Baru menyingkirkan rakyat dari peran-peran, sebagai subyek, dan memposisikannya sebagai obyek dan sekedar angka-angka. Soeharto membakukan absolutisme itu dalam berbagai nilai. Kita hanya mengenal kebenaran dan kesalahan absolute yang dikuasai dan berada dalam ranah negara. Kita dipaksa untuk sama, diseragamkan, hingga akhirnya tidak terdidik dalam diskusi, negosiasi, karena yang muncul adalah kemutlakan-kemutlakan. Dan kebenaran mutlak serta kesalahan mutlak itu, ditentukan oleh absolutisme Soeharto hingga menjadi apa yang kita kenal sebagai Soehartoisme.
Dan ketika Soeharto lengser, tiba-tiba semuanya linglung. Kita tidak terbiasa dan terlatih dalam beda pendapat, kita tidak mampu melakukan diskusi dan negosiasi. Semua orang telah terdidik dalam ajaran pragmatisme, yang segala sesuatu diukur dari tingkat kemanfaatn, yang tidak bermanfaat tak ambil bagian. Kita disodori orientasi management by product dan bukan management by process. Hingga kemudian sampai hari ini pun kita mengenali idiom; "Hallo, piye kabare? Isih enak jamanku to?"
Padahal pada pemilu 1997 Golkar waktu itu bisa mendapatkan suara absolut di atas 70%, PDI dan PPP waktu itu berebut sisanya. Namun dalam dua tahun kemudian, Pemilu 1999, Golkar rontok hanya mendapat 15% dan PDI Perjuangan memenangi pemilu itu dengan angka 34%. Hanya dalam dua tahun, pemilu tanpa Soeharto telah membalikkan sejarah absolutisme Golkar.
Tapi, kita tak pernah mau belajar dari sejarah, dan itu sejarah buruk peradaban manusia. Kemenangan PDI Perjuangan itu, kemudian jadi rebutan elite politik dengan isu-isu SARA dan bias gender, hingga menyingkirkan Megawati dan menyelipkan Gus Dur di tikungan, dan kita terus terjebak dalam isyu-isyu primorialisme sejenis, sampai pemilu kita hari ini, dan hampir dalam setiap perhelatan Pilkada. Tidak ada sama sekali pendidikan politik itu. Partai politik telah menjadi sebuah omong kosong. Dan perilaku politik bar-bar semakin tumbuh subur.
Pemilu 2014 ini pun menunjukkan itu. Pesan rakyat dengan kecilnya perolehan suara partai politik, justeru dikorupsi para elite dalam dagang sapi bernama koalisi untuk mengusung capres. Dan kita tahu, bagaimana pertarungan politik dimaknai oleh elite dan rakyatnya?
Dan hari ini, kita lebih suka mengenang 20 Mei 1908, yang berjarak waktu 106 tahun, dibanding 20 Mei 1998, yang berjarak waktu 16 tahun. Itu lebih sebagai penanda, bahwa kita lebih nikmat bermimpi daripada mempertanyakan konsep reformasi diri kita sebagai bangsa dan negara. Lebih memilih sebagai anak murid Soehartoisme, daripada anak didik peradaban sejarah dari dokter Wahidin dan kawan-kawannya. Dan mengaku sudah hebat, ketika berani berkata kotor kepada kompetitor. Ini tragedi bangsa tohor. Tidak bisa membangun system dan begitu mudah terpesona pada sang ksatria piningit. Konsep palsu kepemimpinan korup yang tak menghendaki rakyatnya tumbuh.
Dan para politikus busuk serta mereka yang mengaku sebagai elite, merasa bisa membaca apa yang belum ditulis rakyat, tapi tak bisa membaca ketika pilihan rakyat sudah dituliskan. Tidak bisa membedakan antara kebangkitan dan kebangkrutan.

Senin, Mei 19, 2014

Tuan dan Puan Politikus Busuk, Pentingkah Capres-Cawapres?


Tuan dan Puan Politikus, sebenarnya capek melihat cara sampeyan semua berpolitik. Cara sampeyan berkoalisi atau apapun istilahnya, bekerjasama kek, semua menunjukkan seolah Indonesia itu milik kalian, para yang menyebut elite bangsa, padahal sesungguhnya kalian hanya para komprador partai politik, yang suka mengatasnamakan rakyat dan menggelapkan suara rakyat.
KPU sudah membohongi rakyat dengan sistem pemilu yang tidak sehat dan tidak terkontrol (terawasi tapi tak ada hukum yang bisa ditegakkan). Money politic, disalahkan pada kualitas rakyat yang buta politik. Kenapa rakyat buta politik? Jangan pura-pura, kalian sendirilah, tuan dan puan politikus, yang menyebabkan dan memanfaatkannya.
Jangan lupa, ini saya ambil dari informasi dan data resmi KPU, bahwa suara yang tidak sah, dikatakan mencapai titik terendah, yakni 24% dari 185 juta surat suara. Tetapi fakta situs KPU memuat beragam versi angka jumlah pemilih dalam DPT untuk Pemilu Legislatif 2014. Salah satu versi yang kerap dirujuk, jumlah pemilih mencapai 185.826.024 orang, sementara dua keputusan KPU tentang hasil rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2014, menyebutkan total suara sah adalah 124.972.491 suara. Dari data konversi jumlah pemilih berdasarkan klaim partisipasi dan total suara sah ini, terdapat selisih 14.601.436 suara yang tak masuk dalam perhitungan suara sah nasional. Artinya, andai suara yang tak terakumulasi sebagai suara sah ini adalah "kesengajaan" alias bentuk lain dari "golput", maka total angka pemilih tak menggunakan hak pilih atau setidaknya hak pilih yang tak terkonversi menjadi suara sah dalam pemilu legislatif mencapai 31,89 persen.
Jika kita mau jujur menghitung perolehan suara murni parpol (dengan angka pembagi 185 juta DPT, bukan dibagi oleh suara sah yang 124 juta suara), maka perolehan parpo itu sungguh sangat kecil.
Angka murni perolehan mereka, (1) Nasdem 6.72%, atau 8.505.242.26 suara, itu jika perolehan suara dibagi suara sah. Kalau persentase murni, maka suara perolehan dibagi total kartu suara terpakai, perolehan mereka sejatinya hanya 4.57%. Demikian juga (2) PKB) hanya 6.15%, bukan 9.04%. (3) PKS) 4.62%, bukan 6.79%. (4) PDIP 12,9% bukan 18.95%. (5) Golkar 10,04% bukan 14.75%. (6) Gerindra 8.04%, bukan 11.81%. (7) Demokrat 6.94%, bukan 10.19%. (8) PAN 5.16% bukan 7.59%. (9) PPP 4.44% bukan 6.53%. (10) Hanura, 3.58% bukan 5.26%. (11) PBB 0.99% bukan 1.46%. (12) PKPI, 0.61% bukan 0.91%.
Itu semua menunjukkan betapa kecilnya tingkat kepercayaan rakyat pada parpol dan politikusnya. Dibandingkan suara tidak sah atau Golput, yang mencapai 31%, maka perolehan juara Pemilu 2014, PDIP, yang hanya 12.9%, adalah sangat kecil sekali. Bahkan, ketika terjadi koalisi GERINDRA + PAN + PKS + PPP untuk mengusung Prabowo hanya 22.26%, dan gabungan PDIP + NASDEM + PKB + HANURA mengusung Jokowi, hanya 27.2%. Semuanya tak ada yang mengalahkan suara tidak sah yang mencapai 31%. Apalagi misalnya GOLKAR dan DEMOKRAT bergabung, cuma 16.98%. Ini fakta dan bukan hoax.
Dengan tingkat kepercayaan yang kecil, elite politik tidak membaca pesan rakyat itu. Rakyat malah dibodoh-bodohkan (bahkan oleh sesama rakyat yang sok pinter). Padahal salah siapa? Sistem dan mekanisme kan kalian yang menentukan? UU Pemilu dan aturannya, sampeyan juga yang membuatnya. Kok rakyat disalahkan.
Ketika rakyat memberikan sinyal ketidakpercayaannya, kalian marah-marah, tetapi dengan merem kalian pakai sebagai tiket untuk kerjasama jungkirbalik dengan mengaku kesamaan platform, chemistry, dan taik kucing.
Itu pertanda kalian kelas politikus ecek-ecek, termasuk pengamat politik dan kelompok kepentingan, yang tiba-tiba mendesakkan agenda masing-masing. Mengusulkan cawapresnya ini, kalau tidak ini maka kami ngamuk, ngambek. Lha pemilu dengan mengambil suara rakyat untuk apa? Mbok para ulama, habib, dangduter, lsm, pengamat politik, itu bikin partai sendiri-sendiri dan ikut pemilu, jangan jadi pencuri di tikungan dengan agenda masing-masing.Tugas kalian, hei para yang mengaku elite ormas (bukan parpol), awasi saja pemerintahan ini jika jalannya nggak bener. Jangan merasa paling bener dan pinter.
Belum lagi perilaku pengamat yang melakukan simulasi-simulai politik, mestinya capres ini cawapresnya ini, itu, dan sebagainya. Emangnya kalian siapa?
Seolah-olah negara dan bangsa ini hanya tergantung pada orang-orang tertentu para elite itu, dan mengabaikan pesan rakyat per-lima tahun sekali yang sudah diberikan dengan sangat kecilnya. Bangunlah sistem dan mekanismenya, jangan jadul sejadul-jadulnya manusia bar-bar, yang hanya mengandalkan satria piningit dan satria bergitar.
Akibatnya, di bawah, yang muncul adalah fanatisme murahan. Rakyat di bawah gontok-gontokan, debat kusir, ikut main fitnah, nyebar hoax, fitnah, seolah-olah mereka sedang membela Tuhan. Di dunia fesbuk dan twitter, juga blog dan media online, kita lihat, bagaimana bangsa Indonesia ini jadi sama bar-barnya dengan para politikus yang telah kehilangan kemuliaan dan amanahnya. Emangnya kalau dengan Prabowo Indonesia akan bangkit? Emangnya kalau dengan Jokowi Indonesia akan hebat? Selama tuan dan puan politikus tak pernah bisa membangun sistem demokrasi yang sehat, dan hanya tergantung pada personalitas orang, kita akan mengulang-ulang kesalahan yang sama. Artinya, para elite politik kita terlihat lebih guoblog dibanding keledai. Begitu tuan dan puan politikus busuk dan para followersnya.
Sampeyan semua tidak peka, tapi pekak telinga, sehingga tak bisa membaca pesan rakyat dengan perolehan angka-angka itu. Kalau kalian pusing berkoalisi sampai injury time, karena kalian kelimpungan mengatasi ketidakpercayaan rakyat itu. Sehingga seperti SBY dan ARB jadi kelimpungan dan bernasib tragis (meski dengan gaya bahasa berbeda, yang satu terlihat santun dan pinter, yang satunya kelihatan culun bin naïf).
Kalau kalian mengatakan semuanya itu demi kepentingan bangsa dan Negara yang lebih besar, artinya sejak kalian ikut Pemilu sudah harus siapkan semuanya. Tapi menetapkan cawapres saja kalian kelimpungan. Menetapkan cawapres, yang itu hak prerogative capres saja, kalian tidak mampu. Pentingkah cawapres? Tidak. Dia hanya pembantu dari pemimpin yang dipilih rakyat. Aneh tentu logikanya, jika kita memilih presiden karena pertimbangan wakil presidennya. Tapi lihat, soal cawapres jadi tawar-menawar power sharing politik. Itu menunjukkan bahwa kalian semua persis pedagang sapi, apapun alasan yang kalian pakai untuk menjawab tudingan ini.
Rakyat akan memilih presidennya kelak karena pertimbangan kesukaannya pada calon presiden. Itu saja. Dan capres, siapapun, yang mendapat angka lebih tinggi dari capres lainnya, dialah yang menang dan terpilih. Siapa yang ngamuk ketika kalah, itu menunjukkan seberapa tidak bermutunya.

Rabu, Mei 14, 2014

Surat Terbuka untuk Pencapresan Sri Sultan Hamengku Buwana X

Denger-denger, nama panjenengan, Sri Sultan Hamengku Buwana X, Raja Negari Ngayogyakarta Hadiningrat, disebut-sebut sebagai bacapres Partai Demokrat, berkait dengan kemungkinan Pilpres 2014.
Karena tak punya saluran pada ngarsa dalem, sebagai warga Yogyakarta saya mempostingnya di fesbuk, dan semoga sampai.
Sekiranya benar berita yang dilansir Amir Syamsuddin dari Demokrat itu, mohon sudi kiranya paduka mengabaikan. Paduka pasti tahu, bagaimana 10 orang yang sudah bersusah payah disandera sebagai peserta konvensi presiden Partai Demokrat. Saya yakin, paduka mempertimbangkan itu.
Pertimbangan lain, karena saya tidak rela paduka masuk dalam jebakan batman dari partai-partai yang masih jomblo, karena tak jelas dan tak tegas sikap politiknya (suka main-main di belakang, main di tikungan serta menggunting dalam lipatan).
Dua partai besar jomblo, adalah Golkar dan Demokrat, yang sampai saat ini kebingungan karena elektabilitasnya yang rendah. Maka dengan kalkulasi suara 14% Golkar dan 10% Demokrat, agaknya dua partai ini ingin iseng-iseng berhadiah, bukan untuk memenangkan pilpres, namun sekedar memainkan bargaining politik mereka yang pragmatis. Syukur bisa dua putaran, hingga perputaran mahar politik bisa membuat bandar jebol pundi-pundinya.
Dua partai tersebut, Golkar dan Demokrat, bisa dipastikan tidak akan mau ke poros Gerindra atau pun poros PDIP, ada banyak alasan untuk itu, namun dengan melihat maneuver Golkar dari pencapresan ARB, kemudian ke Hambalang naik helicopter, lantas zigzag ke Pasar Gembrong, kemudian menyuruk ke Kantor Presiden, hanyalah menunjukkan ketidakjelasan visi dan misi politik mereka, atau setidaknya itu bisa menaikkan posisi tawar ke Demokrat, satu-satunya partai yang kini sangat membutuhkan dukungan Golkar. Karena dua partai jomblo lainnya, Hanura dan PKS (yang masih wait and see ke Gerindra, setelah Prabowo mendeklarasikan Hatta Rajasa sebagai cawapres), tidak sangat signifikan dan perlu diperhitungkan.
Empat parpol ini (Golkar, Demokrat, PKS, Hanura), saya kira sama-sama kampiun sebagai parpol paling pragmatis. Mereka sesungguhnya bisa berhimpun, dan mendapat suara yang lumayan, sekitar 36%, bisa melebihi perolehan suara PDIP-Nasdem-PKB yang hanya sekitar 34%, dan apalagi Gerindra-PPP-PAN yang tidak mencapai 30% (itu pun jika PPP tidak membelot karena lebih nyaman bersama Demokrat, tentu dengan akibat Gerindra bisa colaps dan tersingkir tak memenuhi boarding pass pencapresan karena kurang dari 20%, misalnya).
Itung-itungan seperti itu, jika paduka Kanjeng Sultan ikut terjebak dan terseret pusaran, tidak akan baik hasilnya. Belum lagi jika poros Demokrat ini tumbang oleh Jokowi, asma dalem pasti akan kucem, karena paduka raja akan dijungkirbalikkan oleh nama Jokowi, idola rakyat jelata yang membawa bendera anti-hero dan anti-teori, sebagai ghirah perlawanan global atas macetnya teori-teori modernism, yang digagas oleh kaum elite dan kapitalis global.
Kalau tetap nekad maju, dan merasa bisa mengalahkan Jokowi, ya, mangga saja. Namun sekali lancung ke-ujian, akan membawa dampak kucemipun praja dalem tak berkesudahan, sampai ke anak-cucu, juga pada kawula Ngayogyakarta serta cihna praja dalem.
Jadi, mohon dengan bijak merenungkannya dan kemudian mengabaikan ajakan para petualang politik yang selama ini mengatasnamakan rakyat.
Paduka pasti tahu, biarkan alam-semesta membimbing demokrasi Indonesia. Syukur paduka bisa menasehati, agar Demokrat sudi belajar demokrasi dengan lebih baik, dengan tetap menghargai kesetiaan para peserta konvensi. Wong di sana juga ada nama-nama seperti Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, yang juga bisa ditarungkan.
Biarkan saja rakyat memilih Jokowi, apa Prabowo, apa Dahlan Iskan dkk. Kita hanya perlu berlatih, siapa yang mendapat suara terbanyak dari rakyat, itulah yang menang Pilpres dan jadi Presiden. Dan jika yang kalah kemudian maki-maki, main fitnah, dan sejenisnya, percayalah, segala omongan Indonesia sebagai bangsa yang besar, hanyalah omong kosong. Dan itu saatnya, kita tetap harus bekerja mengabdi pada peradaban bangsa, tanpa harus berada dalam politik praktis. | Yogyakarta 14 Mei 2014, Sunardian Wirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...