Jumat, September 07, 2018

Revolusi Mental Mentul dan Daya Kreativitas Bangsa


Belum lama lalu Jokowi berpidato soal perolehan 31 emas, yang katanya karena nasionalisme. Tentu kalah jauh dengan 3.226 barang (milik negara) yang digondol begitu saja. Tapi apa itu nasionalisme? Prabowo juga bisa mengurai hal itu, tetapi bagaimana kalau Indonesia bubar di tahun 2030? Atau dalam kutukan sebagai negara miskin?

Nasionalisme memang merupakan kesadaran politik. Tapi untuk sampai pada kesadaran itu, tentu saja dibangun dari kesadaran literasi. Ketika bangsa ini membangun imajinasinya mengenai negara bangsa, maka daya picunya adalah kesadaran literasi. Literasi juga bukan hanya dalam pengertian bacaan, melainkan juga kesadaran politik, yang dibangun dari literasi dalam paradigma baru. Bukan hanya sekedar kemampuan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.”

Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi media, literasi sains, literasi tempe, literasi sekolah, literasi politik, dan sebagainya. Maka gerakan literasi adalah gerakan mengeksplorasi, memberdayakan. Bukan mengeksploitasi, dalam konteks memperdayai. Di situ kita bisa melihat perbedaan gerakan Sandiaga dan Mardani Ali Sera dengan Kaesang Pangarep misalnya.

Ketika Sandi dan Sera menggerakkan partai emak-emak, entah lewat tagar 2019GP atau revolusi 3T (tempe, tahu, dan telor, yang ujung-ujungnya ganti presiden), dengan si anak culun Kaesang, yang membuat aplikasi madhang.com. Aplikasi itu, menggerakkan ibu-ibu tak bermodal dan tak punya tempat, tapi punya keahlian, dibukakan aksesnya untuk bisa berbisnis, mendapatkan hasil ekonomis dari keahliannya yang tak tersalurkan. Mana sesungguhnya yang lebih berpihak pada emak-emak? Di situ kita bisa melihat revolusi emak-emak sebagai “gerakan sosial” (yang dieskploitai) oleh generasi analog, atau “gerakan politik” model generasi milenial?

Itu adalah perihal kreativitas, dalam melihat persoalan dan mengatasi. Di situ gerakan kebudayaan jauh lebih berguna, daripada sekedar gerakan sosial yang manipulative (yang sebenarnya adalah gerakan politik praktis). Karena yang kita perlukan ialah bagaimana mengubah mainstream, mengubah mindset, dari soal sekedar tempe dengan kedelai impor, atau menginisiasi terjadinya diversifikasi tanaman pertanian kita, di mana produk makanan kita masih lebih banyak impor, sejak jaman Soeharto.

Meski jaman Soeharto pernah swa-sembada beras, tapi kebijaksanaannya dengan program intensifikasi, dengan pupuk buatan, telah menghancurkan kualitas tanah kita. Tanah menjadi mati, cengkar, dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengembalikan. Kini menanam padi menjadi jauh lebih lamban dibanding jaman dulu.

Dalam soal pemberdayaan dan budi-daya pangan itu, kita masih lemah dan mengalami banyak kendala. Apalagi tak ada regenerasi petani di negeri ini, lebih karena mindset tentang orientasi dan status sosial kita. Butuh berapa lama untuk berubah? Tak cukup dengan 1, atau 2 periode presiden. Tetapi lebih butuh grand-design, garis besar haluan negara, yang konsisten dan dijalankan secara persisten. Tapi kita selama ini, ganti presiden ganti kebijaksanaan. Kita akan cemas lagi, kelak setelah 2024, setelah Jokowi selesai, bakal kayak apa Indonesia di tangan presiden baru? Kita belum bisa meniru Amerika, yang sudah berusia 200 tahun, untuk setia pada garis besar mereka, ‘Kebesaran Amerika’.

Kebesaran Indonesia, masih terbatas atau berbatas pada kebesaran presidennya, bukan kebesaran bangsa dan negara. Mangkanya, banyak capres-capres dari sejak mereka kampanye, hanya ngomongin kebaikan dan kebesaran diri sendiri. Belum lagi yang pakai mitologisasi, bahwa ia ingin mengisi hari tuanya dengan mengabdi pada negara. Dulu waktu muda ngapain? Maling? Nyulik?

Kebesaran Indonesia masih terjebak dalam kebesaran masing-masing pribadi. Megalomanian. Mengaku paling bisa menyelesaikan masalah. Paling mulia karena pilihan tuhan, tapi masih butuh dukungan kyai atau ulama, untuk memberikan legitimasi. Sibuk ngaku-ngaku keturunan Brawijaya, atau ngaku temennya orang-orang besar. Padahal semua itu tidak penting.

Ketika pemerintah telah menurunkan dana desa, dalam jumlah yang besar, apa yang bisa diperbuat masyarakat desa? Itu persoalannya. Sama persis dengan, maaf, ketika seniman-seniman Yogyakarta mendapat limpahan danais, apa yang diperbuat oleh mereka? Hanya semacam arisan, bantuan karitatif. Dan ketika anggaran dihapus (misalnya, kelak, nggak usah sensi), hancur-lebur kembali. Karena dana-dana itu tak berkorelasi dengan strategi, pendampingan, apalagi pemberdayaan. Tidak ada sistem dewan untuk melakukan kurasi, sehingga ada begitu banyak dana-dana pemerintah yang muspra, sia-sia, apalagi ditambah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Mantra Sukarno,  bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’ itu mestinya yang didorong, tanpa harus memanipulasi demokrasi adalah rakyat berdaulat. Faktanya bagaimana? Kita masih mengagungkan superhero. Kelas menengah kita, mereka yang juga terdidik, masih saja mimpi soal Ksatria Piningit dengan segala mitologisasinya. Padahal dalam abad yang  berubah, pada revolusi industri 4.0, yang kita perlukan adalah manajemen yang sinergis. Kepemimpinan yang mendengarkan, kepemimpinan androginis yang mampu mendengar dan menjadi konduktor lahirnya sebuah orkestrasi. Sementara kepemimpinan yang macho, mutlak-mutlakan model Orde ‘Soeharto’ Baru, sama sekali makin tak relevan.

Kita berada di ranah perubahan. Tetapi kita tak membutuhkan gembar-gembor soal revolusi rakyat. Kita lebih perlu mendorong evolusi rakyat, yang sayangnya memang tak bisa dengan jalan revolusi mental. Pada sisi itu, kesadaran mengembangkan daya literasi, adalah jalan kebudayaan. Bagaimana sistem pendidikan dikembangkan, bukan hanya di sekolah formal, melainkan di masyarakat itu sendiri. Dari dalam rumah sendiri. Masing-masing.

Kalangan emak-emak, tak perlu dieksploitasi turun ke jalan, hanya untuk menuntut harga tempe atau telor. Lebih penting dari itu, bagaimana secara evolutif memproses lahirnya generasi baru Indonesia. Melalui gerakan literasi, seperti tumbuhnya ruang-ruang belajar bersama, home-schooling. Atau bahkan seperti ibu mendongeng kepada puteranya, adalah sesuatu yang mudah dijalankan kaum ibu di mana pun pada generasi penerusnya. Tidak butuh proposal, kecuali kreativitas untuk tumbuhnya peradaban baru.

Kita sebenarnya nggak ada urusan dengan ganti presiden atau tetap presiden. Apalagi ajakan gemblung untuk melakukan Perang Badar, dan sejenisnya. Apalagi yang mengorasikan adalah para perempuan bekas pemain teater, yang kemampuan aktingnya tak bisa menutupi agenda rahasia mereka.

Kreativitas adalah they were able to connect experiences they’ve had and synthesize new things, ujar Steve Jobs (1955 – 2011). Kreativitas terjadi karena mereka mampu menghubungkan pengalaman yang mereka miliki dan membuahkan hal baru. Mau? Jika mau, maka ubahlah sudut pandang. Dari negatif ke positif. Bisa habis waktu hanya untuk menegasi segala yang sama sekali tak kita mengerti, apalagi menguasai. Hanya asal bukan dia! Itu kampret sekali.

1 komentar:

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...