Belum lama lalu
Jokowi berpidato soal perolehan 31 emas, yang katanya karena nasionalisme. Tentu
kalah jauh dengan 3.226 barang (milik negara) yang digondol begitu saja. Tapi apa
itu nasionalisme? Prabowo juga bisa mengurai hal itu, tetapi bagaimana kalau
Indonesia bubar di tahun 2030? Atau dalam kutukan sebagai negara miskin?
Nasionalisme
memang merupakan kesadaran politik. Tapi untuk sampai pada kesadaran itu, tentu
saja dibangun dari kesadaran literasi. Ketika bangsa ini membangun imajinasinya
mengenai negara bangsa, maka daya picunya adalah kesadaran literasi. Literasi
juga bukan hanya dalam pengertian bacaan, melainkan juga kesadaran politik,
yang dibangun dari literasi dalam paradigma baru. Bukan hanya sekedar kemampuan
dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan
menulis. National Institute for Literacy,
mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis,
berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang
diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.”
Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi media, literasi
sains, literasi tempe, literasi sekolah, literasi politik, dan sebagainya.
Maka gerakan literasi adalah gerakan mengeksplorasi, memberdayakan. Bukan
mengeksploitasi, dalam konteks memperdayai. Di situ kita bisa melihat perbedaan
gerakan Sandiaga dan Mardani Ali Sera dengan Kaesang Pangarep misalnya.
Ketika Sandi dan Sera menggerakkan partai emak-emak, entah lewat tagar
2019GP atau revolusi 3T (tempe, tahu, dan telor, yang ujung-ujungnya ganti
presiden), dengan si anak culun Kaesang, yang membuat aplikasi madhang.com.
Aplikasi itu, menggerakkan ibu-ibu tak bermodal dan tak punya tempat, tapi
punya keahlian, dibukakan aksesnya untuk bisa berbisnis, mendapatkan hasil
ekonomis dari keahliannya yang tak tersalurkan. Mana sesungguhnya yang lebih
berpihak pada emak-emak? Di situ kita bisa melihat revolusi emak-emak sebagai “gerakan
sosial” (yang dieskploitai) oleh generasi analog, atau “gerakan politik” model
generasi milenial?
Itu adalah perihal kreativitas, dalam melihat persoalan dan mengatasi. Di
situ gerakan kebudayaan jauh lebih berguna, daripada sekedar gerakan sosial yang
manipulative (yang sebenarnya adalah gerakan politik praktis). Karena yang kita
perlukan ialah bagaimana mengubah mainstream, mengubah mindset, dari
soal sekedar tempe dengan kedelai impor, atau menginisiasi terjadinya diversifikasi
tanaman pertanian kita, di mana produk makanan kita masih lebih banyak impor,
sejak jaman Soeharto.
Meski jaman Soeharto pernah swa-sembada beras, tapi
kebijaksanaannya dengan program intensifikasi, dengan pupuk buatan, telah
menghancurkan kualitas tanah kita. Tanah menjadi mati, cengkar, dan butuh waktu
puluhan tahun untuk mengembalikan. Kini menanam padi menjadi jauh lebih lamban
dibanding jaman dulu.
Dalam soal pemberdayaan dan budi-daya pangan itu, kita
masih lemah dan mengalami banyak kendala. Apalagi tak ada regenerasi petani di
negeri ini, lebih karena mindset tentang orientasi dan status sosial kita.
Butuh berapa lama untuk berubah? Tak cukup dengan 1, atau 2 periode presiden.
Tetapi lebih butuh grand-design, garis besar haluan negara, yang konsisten dan
dijalankan secara persisten. Tapi kita selama ini, ganti presiden ganti
kebijaksanaan. Kita akan cemas lagi, kelak setelah 2024, setelah Jokowi
selesai, bakal kayak apa Indonesia di tangan presiden baru? Kita belum bisa
meniru Amerika, yang sudah berusia 200 tahun, untuk setia pada garis besar
mereka, ‘Kebesaran Amerika’.
Kebesaran Indonesia, masih terbatas atau berbatas pada
kebesaran presidennya, bukan kebesaran bangsa dan negara. Mangkanya, banyak
capres-capres dari sejak mereka kampanye, hanya ngomongin kebaikan dan
kebesaran diri sendiri. Belum lagi yang pakai mitologisasi, bahwa ia ingin
mengisi hari tuanya dengan mengabdi pada negara. Dulu waktu muda ngapain? Maling?
Nyulik?
Kebesaran Indonesia masih terjebak dalam kebesaran
masing-masing pribadi. Megalomanian. Mengaku paling bisa menyelesaikan masalah.
Paling mulia karena pilihan tuhan, tapi masih butuh dukungan kyai atau ulama,
untuk memberikan legitimasi. Sibuk ngaku-ngaku keturunan Brawijaya, atau ngaku
temennya orang-orang besar. Padahal semua itu tidak penting.
Ketika pemerintah telah menurunkan dana desa, dalam
jumlah yang besar, apa yang bisa diperbuat masyarakat desa? Itu persoalannya.
Sama persis dengan, maaf, ketika seniman-seniman Yogyakarta mendapat limpahan
danais, apa yang diperbuat oleh mereka? Hanya semacam arisan, bantuan
karitatif. Dan ketika anggaran dihapus (misalnya, kelak, nggak usah sensi),
hancur-lebur kembali. Karena dana-dana itu tak berkorelasi dengan strategi,
pendampingan, apalagi pemberdayaan. Tidak ada sistem dewan untuk melakukan
kurasi, sehingga ada begitu banyak dana-dana pemerintah yang muspra, sia-sia, apalagi
ditambah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Mantra Sukarno,
bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’ itu mestinya yang didorong, tanpa harus
memanipulasi demokrasi adalah rakyat berdaulat. Faktanya bagaimana? Kita masih
mengagungkan superhero. Kelas menengah kita, mereka yang juga terdidik, masih
saja mimpi soal Ksatria Piningit dengan segala mitologisasinya. Padahal dalam
abad yang berubah, pada revolusi
industri 4.0, yang kita perlukan adalah manajemen yang sinergis. Kepemimpinan
yang mendengarkan, kepemimpinan androginis yang mampu mendengar dan menjadi
konduktor lahirnya sebuah orkestrasi. Sementara kepemimpinan yang macho, mutlak-mutlakan
model Orde ‘Soeharto’ Baru, sama sekali makin tak relevan.
Kita berada di ranah perubahan. Tetapi kita tak
membutuhkan gembar-gembor soal revolusi rakyat. Kita lebih perlu mendorong
evolusi rakyat, yang sayangnya memang tak bisa dengan jalan revolusi mental.
Pada sisi itu, kesadaran mengembangkan daya literasi, adalah jalan kebudayaan.
Bagaimana sistem pendidikan dikembangkan, bukan hanya di sekolah formal,
melainkan di masyarakat itu sendiri. Dari dalam rumah sendiri. Masing-masing.
Kalangan emak-emak, tak perlu dieksploitasi turun ke jalan,
hanya untuk menuntut harga tempe atau telor. Lebih penting dari itu, bagaimana
secara evolutif memproses lahirnya generasi baru Indonesia. Melalui gerakan literasi,
seperti tumbuhnya ruang-ruang belajar bersama, home-schooling. Atau bahkan
seperti ibu mendongeng kepada puteranya, adalah sesuatu yang mudah dijalankan
kaum ibu di mana pun pada generasi penerusnya. Tidak butuh proposal, kecuali
kreativitas untuk tumbuhnya peradaban baru.
Kita sebenarnya nggak ada urusan dengan ganti presiden
atau tetap presiden. Apalagi ajakan gemblung untuk melakukan Perang Badar, dan
sejenisnya. Apalagi yang mengorasikan adalah para perempuan bekas pemain teater, yang
kemampuan aktingnya tak bisa menutupi agenda rahasia mereka.
Kreativitas adalah
they were able
to connect experiences they’ve had and synthesize new things, ujar Steve Jobs
(1955 – 2011). Kreativitas terjadi karena mereka mampu menghubungkan pengalaman
yang mereka miliki dan membuahkan hal baru. Mau? Jika mau, maka ubahlah sudut
pandang. Dari negatif ke positif. Bisa habis waktu hanya untuk menegasi
segala yang sama sekali tak kita mengerti, apalagi menguasai. Hanya asal bukan
dia! Itu kampret sekali.
BalasHapus|POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BONUS HARIAN YANG BERAGAM BISA DIDAPATKAN
MELAYANI SEMUA BANK DI INDONESIA
BANK NASIONAL + BANK DAERAH |
BBM : D8C0B757
WhastApp : 0812-2222-1680
Lnk : P0KERAYAM .CO