Di bawah ini, saya kutipkan berita yang ditulis tempo.co
(16/4) berjudul; “Sohibul Iman PKS Ajak Umat Tak Pilih Pemimpin Mitos.”
Mari kita baca dengan sudut pandang lain, atau dalam
perspektif hermeneutika:
[ Presiden Partai Keadilan Sejahtera atau
PKS Sohibul Iman mengatakan kesadaran politik umat dan bangsa Indonesia
sudah meningkat. Sohibul menuturkan umat yang memiliki kesadaran politik yang
baik memilih pemimpin historis, bukan pemimpin mitos.
"Pemimpin mitos adalah pemimpin yang dia besar karena dibesar-besarkan, bagus karena dibagus-baguskan, dicitrakan, dia di-planning menjadi sosok pemimpin yang luar biasa," katanya dalam sambutan rangkaian milad ke-20 PKS di Balai Kota DKI Jakarta, Ahad, 15 April 2018.
Sedangkan pemimpin historis, menurut Sohibul, adalah yang
memang besar karena lahir dari denyut perjuangan bersama masyarakat.
"Pemimpin seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan
karena dirinya memang sudah besar," ujarnya. ]
Demikian kutipan berita di atas. Pertanyaannya: Siapakah
yang dimaksud pemimpin mitos dan pemimpin historis? Tanpa menyebut nama, dalam
dunia komunikasi, adalah teknik menyampaikan pesan terselubung. Dalam diplomasi
politik, hal itu menyembunyikan tendensi, maksud, tetapi sekaligus menyediakan
pintu rahasia untuk “escape from” tuntutan tanggung jawab.
Biasanya dipakai para politikus yang ingin mencitrakan
diri bersih, namun menyembunyikan kepentingan tertentu. Persis kayak dukun,
yang ngomong pada client-nya; “Hari ini keuangan Anda akan bermasalah, jika
tidak berhati-hati,…”
Ya, iyalah. Dengan kalimat semacam itu, PKS bisa ngibulin
Prabowo, bahwa pemimpin mitos yang dimaksudkan adalah Jokowi. Sedangkan
Prabowo? Dia pemimpin historis.
Tapi mari kita cari di kamus atau ensiklopedia, apa makna
kata mitos dan historis? Secara semantika, justeru bisa terbalik. Karena secara
historis, track record Jokowi lebih jelas, dan bisa disebut positif dalam
pengertian umum.
Sementara ketika meletakkan Prabowo sebagai pemimpin
historis? Lebih tepat jika hal itu disebut sebagai mitologisasi, atau
glorifikasi, mistifikasi, untuk menjadikannya mitos. Karena, apakah terbuktikan
secara historis bahwa Prabowo pernah menjadi pemimpin?
Karir kemiliterannya, diberhentikan secara formal, dalam
surat yang ditandatangani Dewan Kehormatan Perwira pada Mei 1998, dengan
pangkat terakhir Letnan Jenderal. Masih lebih terhormat AHY, yang mengundurkan
diri tanpa cacat, dan karenanya berhak menyandang gelar Mayor Inf. (Purn). Dibanding Gatot Nurmantyo, lebih jauh lagi, karena jenderal penuh itu pernah berada dalam top karir sebagai Panglima TNI.
Reputasi Prabowo dalam kepemimpinan politik, atau dalam
ranah jabatan publik di pemerintahan, sama sekali tak terbukti (hanya mitos),
kecuali kalau kita ingin menyamakan masyarakat sipil (rakyat) sebagai anggota
dari Kopassus atau Kostrad, di mana Prabowo pernah memimpin. Sebagaimana itu kemudian dipraktikkan di Mabes Gerindra Hambalang, di mana rakyat sipil dimiliter-militerkan.
Tapi masyarakat sipil, apalagi di jaman milenia ini,
tentu bukan masyarakat militer, yang gampang tunduk pada komandan. Kecuali
diancam jika mati tak akan dishalatkan.
Tapi dengan kalimat-kalimat indah itu, apa maksud
Presiden PKS? PKS sedang memainkan kartu truf, dengan berbagai bahasa
ancaman; Jika kader PKS tidak jadi cawapres bagi Prabowo, PKS menolak
berkoalisi dengan Gerindra. Dan itu harus jelas, dalam bulan ini. Jelas bukan?
Apakah karena PKS yakin Prabowo menang Pilpres 2019 jika
maju? Belum tentu. Tetapi, politikus sering terbawa bukan hanya emosi jiwanya,
melainkan karakter pribadinya yang cenderung megaloman. Celakanya, kaum
megaloman sering begitu mudah ditipu dengan kata-kata bersayap.
Meski pun ada juga, dan lebih banyak, orang yang mudah
ditipu karena kebodohan. Misal, menganggap Prabowo adalah capres yang tepat,
pintar, strong-leader. Padahal, jika secara historis, hal itu tak terbuktikan,
dan karenanya, kepemimpinannya hanyalah mitos.
Lha tapi, kenapa PKS mau menjadi pendukung fanatik
Prabowo? Dalam politik, ada udang di balik batu. Kekuasaan kadang tidak
penting. Politik yang sesungguhnya adalah, jika sudah tahu kalah, jangan ambil
kerugiannya. Mereka yang percaya Prabowo bakal kalah (melawan Jokowi,
misalnya), hanya akan mengambil keuntungan di sisi kerugiannya. Apalagi jika
ditunjuk sebagai tim pemenangan, di mana duit keluar-masuk tanpa perlu diaudit.
Di situ, kita sering mengetahui, kenapa politikus gemar
mengumpulkan fustun, karena poligami sah menurut agama. Itulah kenapa
ada partai yang dulu mengedepankan keadilan, akhirnya kesejahteraan
elitenya yang diam-diam lebih mengemuka. Tetep gurem gpp, yang penting
sejahtera.
Di situ Prabowo bisa bermanfaat, apalagi kalau misalnya masih punya
banyak duit. Jadi sapi perah itu, pedih (mantan) letjen!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar