Penentang utama Ahok sebagai gubernur (2014 – 2017), adalah para
maling anggaran. Entah yang di partai politik, parlemen, balaikota,
rt-rw yang menolak qlue karena nggak bisa mroyek, hingga ormas yang tak
dapat jatah preman.
Kelompok dirugikan ini, bersatu padu dalam momentum Pilkada DKI Jakarta 2017. Eep Saefullah Fatah yang konsultan politik, PKS yang tukang kompor, Gerindra yang dikhianati Ahok, ditambah Amien Rais, dan Rizieq Shihab yang kheky karena FPI mau disikat Ahok; Mereka bersenyawa. Dan sentimen agama pun digulirkan.
Pokokmen, Ahok harus tersingkir. Jakarta adalah tempat bergulirnya Rp
70 trilyun per tahun. Angka yang menggiurkan, khususnya bagi para maling
yang selama itu dimanjakan korupsi.
Dalam masa kepengurusan Jokowi, dilanjutkan Ahok dan kemudian Djarot, penggunaan APBD mulai rasional. Anggaran lebih transparan, jelas ke mana larinya. Bahkan Ahok bisa membangun berpuluh RPTRA, serta Simpang Susun Semanggi yang fenomenal, tanpa memakai uang rakyat dalam APBD.
Tapi karena itu, mereka yang hobi bancakan anggaran, tiba-tiba merasa tersumbat. Rakyat yang gembira-ria pun diancam; Yang milih Ahok dipersekusi, dibully, diintimidasi, takkan dishalatkan jika mati. Agama tertentu (halah, tertentu) menjadi alat efektif, murah-meriah, menciptakan neraka bagi pendukung Ahok, si minoritas cina itu.
Ingat TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan), yang dulu hanya menghabiskan Rp 4 milyar, itupun dari uang operasional Gubernur, kini memakan Rp 28 milyar dari APBD.
Dana hibah APBD, jaman Ahok-Jarot sekitar Rp 553 milyar, kini menjadi Rp 1,7 trilyun. Jaman Ahok ada dana subsidi daging (untuk rakyat) Rp 38 milyar, kini anggaran itu hilang, berganti anggaran Rp 40,2 milyar untuk HIMPAUDI, yang kasus serta uangnya kini tak jelas.
Yang paling dahsyat, anggaran untuk DPRD. Sehabis Ahok, anggaran DPRD DKI naik 10 kali, dari Rp 8,8 milyar menjadi Rp 107,7 milyar. Reses DPRD, semula Rp 34,96 miliar menjadi Rp 69,3 miliar. Pembahasan Pansus dan Lainnya, semasa Ahok Rp 2,29 miliar, kini Rp 29,25 miliar.
Pembahasan Banggar dari Rp 4,23 miliar menjadi Rp 16,2 miliar. Bamus, sebelumnya Rp 3,64 miliar, era baru menjadi Rp 15,24 miliar. Pengelolaan website DPRD, jaman Ahok Rp 31 juta kini Rp 571 juta.
Belum pula anggaran baru yang jaman Ahok tak ada, kini diadakan seperti; Penunjang kehadiran rapat DPRD Rp 16,1 miliar. Pembuatan buku profil anggota dewan sebesar Rp 218 juta (data di atas dari BBC Indonesia berdasar apbd.jakarta.co.id).
Itu fakta, kenapa Ahok dibenci anggota DPRD, dan tentu para maling anggaran. Kinerja yang jelas dilibas nilai-nilai yang culas, di mana sebagian besar rakyat mudah dikipas-kipas.
Sehabis Ahok, terbitlah maling anggaran. Para koruptor bertempik-sorak. Rakyat yang diberi nasbung, cukup bahagia. Karena kelak jika mati, mendapatkan sorga.
Dalam masa kepengurusan Jokowi, dilanjutkan Ahok dan kemudian Djarot, penggunaan APBD mulai rasional. Anggaran lebih transparan, jelas ke mana larinya. Bahkan Ahok bisa membangun berpuluh RPTRA, serta Simpang Susun Semanggi yang fenomenal, tanpa memakai uang rakyat dalam APBD.
Tapi karena itu, mereka yang hobi bancakan anggaran, tiba-tiba merasa tersumbat. Rakyat yang gembira-ria pun diancam; Yang milih Ahok dipersekusi, dibully, diintimidasi, takkan dishalatkan jika mati. Agama tertentu (halah, tertentu) menjadi alat efektif, murah-meriah, menciptakan neraka bagi pendukung Ahok, si minoritas cina itu.
Ingat TGUPP (Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan), yang dulu hanya menghabiskan Rp 4 milyar, itupun dari uang operasional Gubernur, kini memakan Rp 28 milyar dari APBD.
Dana hibah APBD, jaman Ahok-Jarot sekitar Rp 553 milyar, kini menjadi Rp 1,7 trilyun. Jaman Ahok ada dana subsidi daging (untuk rakyat) Rp 38 milyar, kini anggaran itu hilang, berganti anggaran Rp 40,2 milyar untuk HIMPAUDI, yang kasus serta uangnya kini tak jelas.
Yang paling dahsyat, anggaran untuk DPRD. Sehabis Ahok, anggaran DPRD DKI naik 10 kali, dari Rp 8,8 milyar menjadi Rp 107,7 milyar. Reses DPRD, semula Rp 34,96 miliar menjadi Rp 69,3 miliar. Pembahasan Pansus dan Lainnya, semasa Ahok Rp 2,29 miliar, kini Rp 29,25 miliar.
Pembahasan Banggar dari Rp 4,23 miliar menjadi Rp 16,2 miliar. Bamus, sebelumnya Rp 3,64 miliar, era baru menjadi Rp 15,24 miliar. Pengelolaan website DPRD, jaman Ahok Rp 31 juta kini Rp 571 juta.
Belum pula anggaran baru yang jaman Ahok tak ada, kini diadakan seperti; Penunjang kehadiran rapat DPRD Rp 16,1 miliar. Pembuatan buku profil anggota dewan sebesar Rp 218 juta (data di atas dari BBC Indonesia berdasar apbd.jakarta.co.id).
Itu fakta, kenapa Ahok dibenci anggota DPRD, dan tentu para maling anggaran. Kinerja yang jelas dilibas nilai-nilai yang culas, di mana sebagian besar rakyat mudah dikipas-kipas.
Sehabis Ahok, terbitlah maling anggaran. Para koruptor bertempik-sorak. Rakyat yang diberi nasbung, cukup bahagia. Karena kelak jika mati, mendapatkan sorga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar