Kemenangan penulis dan wartawan Belarus, Svetlana Alexievich (67) dalam
Nobel Sastra 2015, sungguh mencengangkan. Tak banyak yang tahu namanya,
tapi ia gabungan menarik bagaimana sastra terus mengembangkan diri.
Alexievich disebut sebagai penulis dan wartawan (artinya jika di Indonesia; bukan sastrawan). Pernyataannya cukup tajam; “Setelah 20 tahun bekerja dengan bahan dokumenter, dan setelah menulis lima buku tentang dasar mereka, saya menyatakan bahwa seni telah gagal untuk memahami banyak hal tentang orang-orang.”
Apa yang dimaksud seni telah gagal? Dalam novel terpentingnya Voice of Utopia, Alexievich memakai gayanya sendiri. Bukan sekedar tema, misal kemanusiaan atau perang, melainkan juga mencari genre yang paling memadai untuk visi dari dunia, dalam menyampaikan bagaimana telinga mendengar dan mata melihat kehidupan.
Dia perempuan ke-14 dari 111 individu penerima Nobel Sastra yang diadakan sejak 1901 itu. Karyanya dinilai menggabungkan karya sastra dulu dan modern. Ia 'menyingkirkan' penulis Jepang Haruki Murakami dan penulis asal Kenya Ngugi wa Thiong’o, yang tahun lalu sempat dijagokan tetapi kalah oleh sastrawan asal Prancis, Modiano (70).
Sebagai penulis dan wartawan, antara lain menekuni dokumenter, ia sampai pada yang tak terbayangkan. Bagaimana suara-suara manusia ia biarkan bicara sendiri-sendiri. Dan Alexievich memperlakukan tokoh-tokoh secara istimewa. Mereka bicara sendiri tentang fakta-fakta kehidupan. Bersama mereka (para tokohnya) Alexievich mencatat secara lisan sejarah Negara, sejarah bersama mereka. Sebagaimana setiap orang menempatkan kata-kata dalam cerita/hidupnya sendiri
Hari ini, ketika manusia dan dunia telah menjadi begitu beragam, dan diversifikasi dokumen dalam seni menjadi semakin menarik, seni lebih seperti sering terbukti menjadi impoten. Dokumen membawa kita lebih dekat dengan kenyataan, dalam menangkap dan mempertahankan fakta aslinya.
“Tapi saya tidak hanya merekam sejarah kering peristiwa dan fakta-fakta, saya menulis sejarah perasaan manusia. Apa yang orang pikir, dipahami dan diingat selama peristiwa. Apa yang mereka percaya atau tidak dipercaya, apa yang ilusi, harapan dan ketakutan yang mereka alami,” kata penulis yang atas kemenangannya itu mendapatkan uang senilai 691.000 poundsterling atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Alexievich menulis cerpen, esai pendek, dan reportase. Ia baru menemukan gaya penulisannya dibawah pengaruh penulis Belarusia Ales Adamovich, yang mengembangkan apa yang disebut ‘novel kolektif’. Ialah novel fakta ketika orang-orang bicara tentang dirinya sendiri. Sebuah chorus epic yang unik.
Memang masih merupakan perdebatan, apakah karya Alexievich termasuk sastra atau bukan, fiksi atau non-fiksi. Namun Akademi Swedia sepakat memberinya penghargaan sastra. Mereka mengatakan Alexievich adalah penulis luar biasa.
Di Indonesia, saya ingat bagaimana proses Pram menulis novel-novelnya. Sesuatu yang jarang saya temui. Jika saya mengatakan kelahiran sastrawan lebih banyak karena dukungan komunitas, dan rekayasa media (termasuk apa yang sebenarnya terjadi dalam Frankfurt Book Fair), saya tidak sedang dalam rangka menggugat, melainkan karya sastra memang harus dikembalikan pada fitrahnya. Sastra toh bukan hanya sekedar permainan kata-kata atau plot, apalagi permainan dukung-mendukung.
Saya kira apa yang dikatakan Svetlana Alexievich sangat berharga, “Saya menulis buku-buku saya dari ribuan suara, nasib, fragmen kehidupan kita dan menjadi. Butuh waktu tiga-empat tahun untuk menulis setiap buku saya. Saya bertemu dan merekam percakapan saya dengan 500-700 orang untuk setiap buku,….”
Alexievich disebut sebagai penulis dan wartawan (artinya jika di Indonesia; bukan sastrawan). Pernyataannya cukup tajam; “Setelah 20 tahun bekerja dengan bahan dokumenter, dan setelah menulis lima buku tentang dasar mereka, saya menyatakan bahwa seni telah gagal untuk memahami banyak hal tentang orang-orang.”
Apa yang dimaksud seni telah gagal? Dalam novel terpentingnya Voice of Utopia, Alexievich memakai gayanya sendiri. Bukan sekedar tema, misal kemanusiaan atau perang, melainkan juga mencari genre yang paling memadai untuk visi dari dunia, dalam menyampaikan bagaimana telinga mendengar dan mata melihat kehidupan.
Dia perempuan ke-14 dari 111 individu penerima Nobel Sastra yang diadakan sejak 1901 itu. Karyanya dinilai menggabungkan karya sastra dulu dan modern. Ia 'menyingkirkan' penulis Jepang Haruki Murakami dan penulis asal Kenya Ngugi wa Thiong’o, yang tahun lalu sempat dijagokan tetapi kalah oleh sastrawan asal Prancis, Modiano (70).
Sebagai penulis dan wartawan, antara lain menekuni dokumenter, ia sampai pada yang tak terbayangkan. Bagaimana suara-suara manusia ia biarkan bicara sendiri-sendiri. Dan Alexievich memperlakukan tokoh-tokoh secara istimewa. Mereka bicara sendiri tentang fakta-fakta kehidupan. Bersama mereka (para tokohnya) Alexievich mencatat secara lisan sejarah Negara, sejarah bersama mereka. Sebagaimana setiap orang menempatkan kata-kata dalam cerita/hidupnya sendiri
Hari ini, ketika manusia dan dunia telah menjadi begitu beragam, dan diversifikasi dokumen dalam seni menjadi semakin menarik, seni lebih seperti sering terbukti menjadi impoten. Dokumen membawa kita lebih dekat dengan kenyataan, dalam menangkap dan mempertahankan fakta aslinya.
“Tapi saya tidak hanya merekam sejarah kering peristiwa dan fakta-fakta, saya menulis sejarah perasaan manusia. Apa yang orang pikir, dipahami dan diingat selama peristiwa. Apa yang mereka percaya atau tidak dipercaya, apa yang ilusi, harapan dan ketakutan yang mereka alami,” kata penulis yang atas kemenangannya itu mendapatkan uang senilai 691.000 poundsterling atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Alexievich menulis cerpen, esai pendek, dan reportase. Ia baru menemukan gaya penulisannya dibawah pengaruh penulis Belarusia Ales Adamovich, yang mengembangkan apa yang disebut ‘novel kolektif’. Ialah novel fakta ketika orang-orang bicara tentang dirinya sendiri. Sebuah chorus epic yang unik.
Memang masih merupakan perdebatan, apakah karya Alexievich termasuk sastra atau bukan, fiksi atau non-fiksi. Namun Akademi Swedia sepakat memberinya penghargaan sastra. Mereka mengatakan Alexievich adalah penulis luar biasa.
Di Indonesia, saya ingat bagaimana proses Pram menulis novel-novelnya. Sesuatu yang jarang saya temui. Jika saya mengatakan kelahiran sastrawan lebih banyak karena dukungan komunitas, dan rekayasa media (termasuk apa yang sebenarnya terjadi dalam Frankfurt Book Fair), saya tidak sedang dalam rangka menggugat, melainkan karya sastra memang harus dikembalikan pada fitrahnya. Sastra toh bukan hanya sekedar permainan kata-kata atau plot, apalagi permainan dukung-mendukung.
Saya kira apa yang dikatakan Svetlana Alexievich sangat berharga, “Saya menulis buku-buku saya dari ribuan suara, nasib, fragmen kehidupan kita dan menjadi. Butuh waktu tiga-empat tahun untuk menulis setiap buku saya. Saya bertemu dan merekam percakapan saya dengan 500-700 orang untuk setiap buku,….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar