Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan
Supratikno menganggap, penolakan pembahasan revisi Rancangan
Undang-Undang Perubahan atas UU KPK dari masyarakat adalah hal yang
biasa. Ia menganggap, penolakan itu sebagai sebuah perwujudan penggunaan
hak politik masyarakat.
"Ya biasa saja itu. Bagus dong artinya masyarakat sadar terhadap haknya, berpartisipasi dalam aspirasi," kata Hendrawan di Kompleks Parlemen, Jumat (9/10/2015) malam.
Hendrawan justru mempertanyakan siapa masyarakat yang menolak revisi UU itu. Menurut dia, jika memang ada penolakan, seharusnya penolakan itu disampaikan melalui wakil rakyat yang mereka pilih saat Pemilu Legislatif 2014 lalu.
"Ya biasa saja itu. Bagus dong artinya masyarakat sadar terhadap haknya, berpartisipasi dalam aspirasi," kata Hendrawan di Kompleks Parlemen, Jumat (9/10/2015) malam.
Hendrawan justru mempertanyakan siapa masyarakat yang menolak revisi UU itu. Menurut dia, jika memang ada penolakan, seharusnya penolakan itu disampaikan melalui wakil rakyat yang mereka pilih saat Pemilu Legislatif 2014 lalu.
"Masyarakat yang menolak, ketika pemilu milih parpol nggak? Milih calon nggak? Kan wakilnya ada di sana," ujarnya.
Empat paragraf di atas, saya copas persis dari Kompas.Com (9/5). Profesor dan doktor ini jelas membodohi kita. Karena setelah caleg mendapat tiket suara dari pemilihnya, mereka kemudian lepas menjadi milik partai, dibawah ketua umum partai dan dalam koordinasi ketua fraksi partainya. Tak ada hubungannya sama sekali dengan konstituen pemilihnya.
Itu kenapa mereka lebih menyuarakan partai, sebagaimana dikatakan Bambang Wuryanto dari PDIP juga, bahwa ini tegak lurus dengan partai. Dan partai, mau tak mau adalah Megawati. Dan Megawati tidak pernah bertanya langsung kepada rakyat, kecuali dengan asumsi-asumsi normatifnya.
Apakah ada mekanisme keterwakilan? Tidak ada. Yang bisa dilakukan rakyat, hanya pada pemilu berikutnya. Dengan jualan Jokowi, PDIP bisa mendapat 18% suara. Tetapi kelak, saya kira tidak lagi. Kekeraskepalaannya dalam kehendak merevisi UU KPK, dengan 6 poin perubahannya itu, menunjukkan PDIP gagal membaca dan mendengar suara hatinurani rakyat.
Dalam dongeng dan faktanya, buaya bermoncong putih itu memang berbahaya.
Empat paragraf di atas, saya copas persis dari Kompas.Com (9/5). Profesor dan doktor ini jelas membodohi kita. Karena setelah caleg mendapat tiket suara dari pemilihnya, mereka kemudian lepas menjadi milik partai, dibawah ketua umum partai dan dalam koordinasi ketua fraksi partainya. Tak ada hubungannya sama sekali dengan konstituen pemilihnya.
Itu kenapa mereka lebih menyuarakan partai, sebagaimana dikatakan Bambang Wuryanto dari PDIP juga, bahwa ini tegak lurus dengan partai. Dan partai, mau tak mau adalah Megawati. Dan Megawati tidak pernah bertanya langsung kepada rakyat, kecuali dengan asumsi-asumsi normatifnya.
Apakah ada mekanisme keterwakilan? Tidak ada. Yang bisa dilakukan rakyat, hanya pada pemilu berikutnya. Dengan jualan Jokowi, PDIP bisa mendapat 18% suara. Tetapi kelak, saya kira tidak lagi. Kekeraskepalaannya dalam kehendak merevisi UU KPK, dengan 6 poin perubahannya itu, menunjukkan PDIP gagal membaca dan mendengar suara hatinurani rakyat.
Dalam dongeng dan faktanya, buaya bermoncong putih itu memang berbahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar