Apakah engkau percaya pada tawaran revolusi, bahkan ketika itu yang
selalu didengungkan oleh Sukarno? Atau Faisal Assegaf Progress 98, yang
dulunya mengajak dan kini kecewa berat pada Amien Rais?
Dulu ada seorang anak muda yang takjim shalat, tiba-tiba menjadi atheis dan masuk fakultas filsafat, gegara begawan pujaannya mengecewakan hati. Sementara ada begitu banyak begawan di Indonesia, mengajak-ajak melakukan revolusi, pemakjulan, dengan cara-cara yang remeh, dengan menghina-dina diri-sendiri, hingga menjadi rasis, sinis, dan fatalis.
George Orwell rasanya benar ketika mengatakan Charles Dickens, novelis Inggris, bukan seorang penulis yang digerakkan oleh semangat revolusioner. Padahal Dickens (1812-1870) sebagaimana makna namanya, adalah pengritik sosial paling galak terhadap masyarakat Inggris abad 19.
Charles Dickens mungkin bisa menjadi contoh yang aneh, karena novel-novelnya, atau kritik-kritiknya, menjadi sangat ditunggu oleh masyarakatnya. Padahal hampir tak ada lembaga-lembaga sosial di Inggris waktu itu, yang luput dari kritikannya. Apakah itu sistem hukum, pemerintah, parlemen, sistem pendidikan, kehidupan kelas menengah dan bahkan masyarakat bawah sekali pun. Ia mengritik setiap orang, tapi tak seorang pun menjadi resah karenanya.
Buku-bukunya justeru ditunggu, dan menjadi bacaan yang begitu menggairahkan. Ia menjadi begawan bagi masyarakatnya, menjadi rujukan, justeru karena ia berumah di angin, sebagaimana Rendra dalam sebuah pidato kebudayaan, ketika menerima penghargaan dari pemerintah.
Berumah di angin, ialah membebaskan diri dari kepentingan. Dan adakah itu pada para begawan kita kini?
Charles Dickens mungkin terasa tak begitu cocok untuk Indonesia, sekali pun kritiknya mungkin sebagaimana yang diidealkan oleh Soeharto, kritik membangun. Di dalam masyarakat berkepentingan sekarang ini, kritik itu menjadi kritik yang naif. Apalagi tampak ia tidak begitu ngotot memperjuangkan keadilan sosial atau menegakkan kesamaan hak. Asumsi Dickens mungkin terlalu elitis, kalau kelakuan dan cara pikir orang-orang diperbaiki, sistem itu dengan sendirinya bekerja untuk orang banyak. Kritik moralis ini, menurut Orwell, sama dengan kritik seorang montir mobil. Mengecek segala yang rusak, membenahinya agar mobil bisa berjalan kembali.
Apakah itu maksud Revolusi Mental? Moralisme semacam itu tentu akan menjadi tertawaan pemikir Marxis. Dalam bahasa antropologi modern yang diubah hanya sistem simbolik, bukan sistem sosial. Dalam arti ini ideologi hanya suatu istilah untuk menggantikan kesadaran palsu.
Lantas, bagaimana dengan Reformasi 1998? Banyak lembaga negara diubah dengan semangat kesadaran baru, namun tidak ada yang berubah di sana. Demikian pula pers yang kini jauh lebih bebas, menjadi buruk karena kepentingan owner sebagai sindikat kaum modal lebih mengemuka. Belum lagi mereka yang memakai media bukan untuk massa melainkan untuk kepentingannya sendiri.
Ketidakmampuan dalam mengubah sistem, menjadikan agama sebagai senjata ampuh untuk memaknai segalanya. Sementara kita tahu, dalam hal itu pun tak kalah problematiknya, ketika agama juga menjadi semakin profan dan para begawan sibuk berpose dengan begitu banyak claiming karena kepentingannya yang tak kalah garing. Pernah ada dalam sebuah polling, Habieb Rizieq bernilai 60% sementara Jokowi 0%. Menjadi jumawa karena merasa sebagai ahli surga dan tahu segala, dan rakyat tak dianggap punya pikirannya sendiri. Padahal kita semua adalah ahli surga, bukan? Meski pun dalam dialektikanya, semua yang ahli surga berarti ahli neraka bukan?
Pasti ada yang menjawab; bukan!
Dulu ada seorang anak muda yang takjim shalat, tiba-tiba menjadi atheis dan masuk fakultas filsafat, gegara begawan pujaannya mengecewakan hati. Sementara ada begitu banyak begawan di Indonesia, mengajak-ajak melakukan revolusi, pemakjulan, dengan cara-cara yang remeh, dengan menghina-dina diri-sendiri, hingga menjadi rasis, sinis, dan fatalis.
George Orwell rasanya benar ketika mengatakan Charles Dickens, novelis Inggris, bukan seorang penulis yang digerakkan oleh semangat revolusioner. Padahal Dickens (1812-1870) sebagaimana makna namanya, adalah pengritik sosial paling galak terhadap masyarakat Inggris abad 19.
Charles Dickens mungkin bisa menjadi contoh yang aneh, karena novel-novelnya, atau kritik-kritiknya, menjadi sangat ditunggu oleh masyarakatnya. Padahal hampir tak ada lembaga-lembaga sosial di Inggris waktu itu, yang luput dari kritikannya. Apakah itu sistem hukum, pemerintah, parlemen, sistem pendidikan, kehidupan kelas menengah dan bahkan masyarakat bawah sekali pun. Ia mengritik setiap orang, tapi tak seorang pun menjadi resah karenanya.
Buku-bukunya justeru ditunggu, dan menjadi bacaan yang begitu menggairahkan. Ia menjadi begawan bagi masyarakatnya, menjadi rujukan, justeru karena ia berumah di angin, sebagaimana Rendra dalam sebuah pidato kebudayaan, ketika menerima penghargaan dari pemerintah.
Berumah di angin, ialah membebaskan diri dari kepentingan. Dan adakah itu pada para begawan kita kini?
Charles Dickens mungkin terasa tak begitu cocok untuk Indonesia, sekali pun kritiknya mungkin sebagaimana yang diidealkan oleh Soeharto, kritik membangun. Di dalam masyarakat berkepentingan sekarang ini, kritik itu menjadi kritik yang naif. Apalagi tampak ia tidak begitu ngotot memperjuangkan keadilan sosial atau menegakkan kesamaan hak. Asumsi Dickens mungkin terlalu elitis, kalau kelakuan dan cara pikir orang-orang diperbaiki, sistem itu dengan sendirinya bekerja untuk orang banyak. Kritik moralis ini, menurut Orwell, sama dengan kritik seorang montir mobil. Mengecek segala yang rusak, membenahinya agar mobil bisa berjalan kembali.
Apakah itu maksud Revolusi Mental? Moralisme semacam itu tentu akan menjadi tertawaan pemikir Marxis. Dalam bahasa antropologi modern yang diubah hanya sistem simbolik, bukan sistem sosial. Dalam arti ini ideologi hanya suatu istilah untuk menggantikan kesadaran palsu.
Lantas, bagaimana dengan Reformasi 1998? Banyak lembaga negara diubah dengan semangat kesadaran baru, namun tidak ada yang berubah di sana. Demikian pula pers yang kini jauh lebih bebas, menjadi buruk karena kepentingan owner sebagai sindikat kaum modal lebih mengemuka. Belum lagi mereka yang memakai media bukan untuk massa melainkan untuk kepentingannya sendiri.
Ketidakmampuan dalam mengubah sistem, menjadikan agama sebagai senjata ampuh untuk memaknai segalanya. Sementara kita tahu, dalam hal itu pun tak kalah problematiknya, ketika agama juga menjadi semakin profan dan para begawan sibuk berpose dengan begitu banyak claiming karena kepentingannya yang tak kalah garing. Pernah ada dalam sebuah polling, Habieb Rizieq bernilai 60% sementara Jokowi 0%. Menjadi jumawa karena merasa sebagai ahli surga dan tahu segala, dan rakyat tak dianggap punya pikirannya sendiri. Padahal kita semua adalah ahli surga, bukan? Meski pun dalam dialektikanya, semua yang ahli surga berarti ahli neraka bukan?
Pasti ada yang menjawab; bukan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar