Dadang Christanto, perupa, pemoge palsu, foto hanya sebagai model. |
Selama ini kita melihat kasus pencegatan Elanto Wijoyono
atas konvoi moge pelanggar lampu lalin di Yogyakarta, hanya dilihat dari sisi hukum, hak,
keadilan. Bahkan ada yang berlebihan menyebut perang antar-kelas (menengah,
maksudnya). Saya ingin menyodorkan sudut pandang dari kesalahan dalam
membaca karakter moge itu sebagai biang masalah. Baik kesalahan polisi, pemoge,
panitia JBR, dan Pemda DIY.
Karena kita berangkat dari kasus JBR 2015 dengan
mengundang seluruh anggota HDCI ke Yogyakarta, maka kita hanya khusus membicarakan soal
sepeda motor Harley Davidson. HD didesain khusus agar memberikan kenyamanan
pada pengandaranya, terutama jika digunakan dalam perjalanan jauh dengan
kecepatan relative tinggi.
HD didukung dengan dapur mesin pacu yang istimewa. Akselerasi
motor juga sangat halus namun memiliki top speed yang tinggi. Inilah
alasan mengapa motor Harley Davidson sangat nyaman dan cocok digunakan untuk
touring jarak jauh. Getaran
dan performa mesin itu akan sanggup diredam oleh rangka yang dibuat secara
hydroforming. Motor ber-CC besar di atas 1.000 CC itu bisa dipacu hingga
kecepatan 218.6 km/jam.
Jangan bicara tentang harganya, yang antara Rp 250 juta
hingga milyar. Belum lagi biaya importer dan mengurus pajaknya (di
Indonesia masuk kategori barang mewah). Belum perawatan dan BBM yang disedotnya.
Tak sembarang orang bisa memilikinya, meski orang yang tak sembarang itu bisa bersikap
sembarangan.
Dengan karakter seperti itu, moge hanya cocok untuk jarak jauh dan jalan
bebas hambatan. Dan kita tahu jalan-jalan di Indonesia, lebih-lebih
kota-kota besar yang didesain orang Belanda seperti Malang, Yogyakarta,
Bandung, Bogor. Pendek-pendek, banyak tikungan, simpangan dan
traffic-light. Sementara kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Medan? Bukan hanya crowded melainkan juga macet. Itu sungguh tidak ideal
untuk HD, sekiranya kita berfikir. Dan karakter moge seperti itu,
sangat berpengaruh pada perilaku pemogenya. Apalagi bagi pemoge yang
mentalitasnya abal-abal. Bisa besar pasak daripada tiang, ber-CC besar
tapi ber-IQ kecil. Atau bahasa Perancis-nya, “kegedhen empyak kurang
cagak”. Pemoge sekelas Marsekal (Purn) Rilo Pambudi, memilih memensiunkan mogenya di rumah, sebagai keprihatinan atas perilaku pemoge.
Beberapa negara melegalkan
motor dengan kubikasi mesin besar masuk jalan bebas hambatan (tol). Di Indonesia dilarang, karena memangnya
sebelum masuk jalan tol tidak melewati ritual jalanan umum? "Hanya di
negara kita yang roda dua enggak boleh masuk jalan tol. Saya ini sudah keliling
dunia naik motor. Kita malu sama negara lain," kata Sekretaris Jenderal
Motor Besar Club (MBC) Indonesia Irianto Ibrahim yang kemarin marah-marah di
instagram, bahwa apa yang dilakukan Elanto Wijoyono adalah karena iri dan
syirik. Dan menurutnya, syirik tanda tak mampu.
Para pemoge luar negeri enggan touring
ke Indonesia dengan alasan lebih logis, jalanan Indonesia terlampau padat. Dan
itu yang membuat Irianto malu dengan negaranya. Artinya, hanya orang nggak logis pakai moge
ngotot raun-raun atau konvoi di dalam kota. Apakah ringroad masuk dalam
kota? Di Yogyakarta yang mungil, secara sosio-ekonomis iya. Karena di semua sisi luar ring-road di Sleman
dan Bantul, adalah perumahan-perumahan umum yang 80% bekerja di kota (dalam
ringroad).
Tentu saja, acara JBR 2015 di Yogyakarta kemarin, dengan mengundang 4.000 bikers adalah kekonyolan tersendiri. Alasan pengembangan turisme (dan ditambah nasionalisme biar terasa penting dan gagah), jadi terasa mengada-ada.
Tentu saja, acara JBR 2015 di Yogyakarta kemarin, dengan mengundang 4.000 bikers adalah kekonyolan tersendiri. Alasan pengembangan turisme (dan ditambah nasionalisme biar terasa penting dan gagah), jadi terasa mengada-ada.
Dengan ribuan moge yang tumplek
bleg di Yogyakarta itu, panitia dan peserta dengan pongah
membanggakan multiplier effect ekonomi ke masyarakat. Okupasi hotel penuh, pegawai
hotel dapat tips, penjual makanan, minuman, rokok, kere-kere, dapat cipratan
duit anggota HDCI yang tentu turah-turah duit.
Namun selama empat hari, 14-17 Agustus
kemarin, situasi lalu-lintas Yogya menjadi crowded. Kemacetan terjadi di
mana-mana, ada atau tak ada touring. Karena ketika 4-8 pemoge raun-raun kota,
sudah menjadi masalah itu sendiri. Belum lagi ketika mereka touring dari JCM di jalan Magelang
melalui ring-road utara ke Candi Prambanan, yang menurut Komjen (Pol) Nanan
Soekarnan selaku ketua umum HDCI, diikuti 2.000-3.000 moge (ini jumlah nggak jelas,
mosok selisih sampai 1.000 motor).
Dengan panjang dan lebar motor, juga
laju kecepatannya, maka jarak pacu satu moge membutuhkan ruang bebas tiga kali
ukurannya. Dengan 2.000 moge saja, maka konvoi yang menurut AKBP Anny
Pudjiastuti tak boleh terputus itu, bisa makan waktu lebih dari satu jam. Polisi
tidak melihat diskriminasi, tapi berdalih diskresi. Bagaimana bagi korban
diskresi? Ya, diskriminasi! Korbannya rakyat banyak, yang jumlahnya pada
saat peristiwa itu berlangsung lebih dari 4.000 pemoge.
Dengan jalanan di Yogyakarta yang
sedikit-sedikit simpangan, sedikit-sedikit simpangan (simpangan kok
sedikit-sedikit), dan semuanya tentu cross dengan kendaraan umum, kita bisa
bayangkan. Kemacetan berantai. Ada pesedamotor yang spontan membantu aksi Elanto karena pusing
muter-muter mau ke stasiun mengantar saudaranya, tapi mencari alternative jalan
ke mana-mana macet. Dan akibatnya ia ketinggalan kereta.
Di perempatan Condongcatur, tempat aksi
Elanto, kemacetan jalan Gejayan di selatan ringroad macet parah. Perempatan
ringroad ini adalah titik pusat pertemuan ratusan ribu kendaraan tiap hari,
karena di utara ringroad terdapat puluhan perumahan umum. Apalagi hari
Sabtu jam-jam sore orang hendak pergi atau pulang kantor dan dari bepergian
(karena aktivitas kota jasa seperti Yogya, hari Sabtu bukan libur nasional). Jalanan
Gejayan satu sisi (untuk yang ke utara) hanya selebar 5 meter, dipenuhi dua
side kendaraan roda empat, dan hanya menyisakan sekitar 1 meter untuk lajur
sepeda motor. Itu pun harus susah payah melaluinya, karena kaki-lima seenaknya dipakai
untuk parkir roda-empat.
Lha wong kena lampu merah yang hanya 30
detik saja pengendara sudah tak sabar, apalagi mereka harus lebih dari 30
menit hingga 1 jam menunggu. Apalagi dalam kondisi letih, lapar, kesusu, di
tengah panas dan desing mesin sekitarnya. Siapa yang tidak marah? Tidak peduli
orang miskin dan kaya, mereka akan merasakan apa itu diskriminasi. Dalam hal
ini, Elanto adalah pahlawan masyarakat korban!
Bagaimana mungkin kepolisian
mengijinkan konvoi di ring-road yang menjadi urat-nadi keseharian masyarakat
Yogyakarta, karena kebanyakan perumahan-perumahan tumbuh di utara ringroad itu?
Kita tak bisa membayangkan kemacetan
hanya terjadi di jalan Gejayan, tetapi juga di jalan Magelang yang dipakai
untuk start konvoi. Kita bisa bayangkan ribuan motor dan mobil yang tertahan
berdesakan di jalanan yang sempit sisi jalan layang Jombor (yang 10 tahun
mangkrak, tak bisa dibereskan oleh Pemda DIY). Pasti merupakan penyiksaan luar
biasa. Belum pula di perempatan Monjali, Kentungan, Seturan, dan seterusnya.
Jika para pemoge bisa pongah berkata kedatangan mereka juga berdampak ekonomi,
apakah mereka juga menghitung berapa nilai kerugian yang diderita masyarakat
korban? Nilai kerugian masyarakat bisa jadi lebih tinggi daripada uang yang
bisa diserap oleh acara itu! Kita bisa diskusikan masalah ini secara terpisah.
Apalagi kegiatan buat organisasi HDCI
yang ternyata bukan organisasi yang bisa sebagai contoh. Nanan Soekarnan konon
sebelumnya mengatakan jangan touring pakai moge, silakan pakai kendaraan umum
atau andong. Tetapi ketika konvoi berlangsung dan dicegat Elanto, Nanan sebagai
ketua HDCI tidak konsisten, sekaligus menunjukkan bahwa himbauannya sebagai
ketua HDCI tidak didengar anggotanya. Sementara ketua HDCI Yogyakarta menyebut
pemoge yang ‘berdebat’ dengan Elanto di Condongcatur itu bukan anggota HDCI.
Sementara lagi, moge yang menabrak mobil di Gedongkuning, meski sudah
diberitahu nomor identitasnya oleh korban tabrak-lari itu, katanya tidak
diketemukan. Panitia JBR bohong, atau penabrak lari itu pakai nomor ganda, atau
dengan surat bodong, karena kasus seperti itu banyak pada para pemoge. Artinya,
organisasi HDCI cenderung terbawa karakter mogenya yang memang machoistic dan
hedonistic, yang jika dicampur menjadi satu kata; arogan!
Polisi sebagai yang berhak mengatur dan merekayasa
arus kendaraan di jalan-raya, mestinya mengetahui permasalahan ini. Demikian juga pemerintah
daerah pemberi ijin dan panitia JBR. Konvoi moge dalam jumlah ribuan, adalah
pilihan ceroboh, dengan alasan apapun, apakah itu turisme atau nasionalisme.
Jika alasannya tourisme, ngapain ke Prambanan? Ngapain bukannya menyusuri 69
pantai di jalur selatan Gunung Kidul yang relative bebas hambatan, sekaligus
mengangkat ekonomi rakyat miskin sepanjang jalur itu? Di sana jalanan panjang, bebas hambatan
dan sepi. Kalau jalur itu dianggap bahaya, pada titik-titik berbahaya panitia
bisa bekerja-sama dengan penduduk setempat untuk berkoordinasi, sekaligus
berbagi rejeki dengan mereka untuk mengatur arus lalu-lintas. Atau kalau tidak,
touring-konvoi ke kawasan Kulon Progo, atau sepanjang jalan Daendels di selatan dari
Kulon Progo, Bantul hingga Gunung Kidul?
Jangan sampai para pemilik moge ini
mendapat cap buruk; CC Besar IQ Kecil. Itu menyedihkan. #SavePointG!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar