Bertambah satu lagi juru-ramal kepresidenan Indonesia. Setelah Ki
Gendeng Pamungkas (yang meramalkan Jokowi turun tahun ini, meski
sebelumnya gagal ramal dengan mengatakan Jokowi pasti turun 20 Mei
2015), kini muncul Sujiwo Tejo; Jika dollar tembus Rp 15.000 Jokowi akan
turun. Digantikan militer, bukan Prabowo.
Sebelum Sujiwo Tejo, Emha Ainun Nadjib (konon dengan bahasa sastra, dan berharap kita ngerti bahasa sastra) mengatakan Jokowi orang yang tidak ngerti apa-apa. Bahkan ketika menjadi presiden pun tidak ngerti bahwa dirinya adalah presiden. Dan kita diminta berdoa, agar Jokowi diselamatkan dari penderitaan. Yakni, membebaskan dari ketidakmengertian, yang adalah berarti Jokowi bukan lagi presiden. Makin cepat makin baik.
Jokowi, diakui atau tidak, telah menjungkirbalikkan logika dan keadaban kita. Dan kita bisa mati-matian antara benci dan cinta, suka dan tidak suka, yang masing-masing bisa begitu hadir secara absolut.
Termasuk SBY yang kini mati-matian mengatakan bahwa sebaiknya presiden kini tidak menyalahkan presiden sebelumnya. Meski pada SBY juga bisa dipesan agar presiden sebelumnya tidak menyalahkan presiden sesudahnya. BJ Habibie, mungkin satu-satunya mantan presiden yang masih hidup dan paling bijak dalam menyikapi kepemimpinan Indonesia.
Sekali pun sebenarnya yang mengritik SBY bukan hanya Haryo Aswicahyono (CSIS) yang sudah memprediksi permasalahan ekonomi hari ini setahun sebelumnya, tetapi juga Faisal Basri, Ichsanuddin Noorsy, dan terbaru Christine Lagarde, Managing Director IMF; "Presiden Jokowi jenius, sudah benar mengutamakan pengembangan infrastruktur sebagai kebijakan utama. Dalam empat tahun mendatang, belanja infrastruktur akan didorong tinggi. Jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya, lebih penakut dalam pengambilan keputusan," ujarnya.
Soal penilaian Lagarde, apakah itu basa-basi tamu? Tentu tidak. Bagaimana pun juga, dia adalah pemimpin eksekutif IMF. Ia mempertaruhkan kredibilitas dan kepercayaan public atas jabatannya. Yang mengatakan itu basa-basi politik, tentu karena berangkat dari orientasi diri yang suka basa-basi, berhobi silat lidah atau terbiasa culas.
Dan seperti rekomendasi Prof. Anwar Nasution, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan kecuali ketidakmampuan kita sendiri dalam menciptakan momentum dan mengubah paradigma kita, untuk mendorong BUMN yang jago kandang, peningkatan ekspor, perbaikan system dan managemen perdagangan dan perindustrian kita, serta ketidaksiapan Pemda dalam menyerap anggaran. Semua bertumpu pada kualitas SDM dan ketidaksiapan menghadapi perubahan.
Perubahan paradigma, sudut pandang, dan bahkan cara berfikir, bukan sesuatu yang mudah setelah terciptanya grey-area sebagai comfortable-zone bagi mereka yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Pers juga masih berkutat pada opinionated news daripada hard-news. Menyodorkan pikiran atau pendapat pejabat dan kaum ahli tanpa membei perspektif peristiwanya, seolah masyarakat tak bisa berfikir atas hal itu.
Kita masih dalam euphoria Reformasi 1998, dengan perubahan simbolik dan intellectual exercise, tetapi tidak pernah beranjak dari ego masing-masing dan tidak mampu menumbuhkan sinergitas. Karena era sekarang ini, tidak dibutuhkan presiden satrio piningit yang harus ngerti apa-apa.
Jokowi barangkali tidak ngerti apa-apa, sama dengan presiden sebelum-sebelumnya, tetapi ia mendengarkan, mengorganisasi dan memberi ruang kepada pihak lain. Bahkan ia presiden paling santun yang pernah kita miliki, yang sopir bis Jakarta bisa menangis membelikannya batu akik macan merah, karena bisa makan bareng semeja dengan sang presiden.
Tidak mudah untuk bisa menerima Jokowi, bagi yang membencinya kepati-pati tentu. Tetapi Indonesia tidak hanya bisa bertumpu pada pertentangan ideologis semata, apalagi di jaman ketika kita tidak bisa membedakan antara marxisme dan marxianisme!
Saya tidak pegang rupiah, apalagi dollar, namun saya memahami dialektika sahabat-sahabat saya dari desa-desa kerajinan Bali dan Bantul tertawa lebar ketika penerimaan dollar mereka naik (padahal keluar negeri juga kagak pernah). Serahkan pada ahlinya, dan kita juga ahli di bidang masing-masing, termasuk untuk realistis dan tetap bersemangat menghadapi perubahan.
Di jaman amplifieryzing dan TOA ini, juga dibutuhkan kemampuan mendengar suara hati yang terdalam, yang terbebas dari kepentingan sejenak.
Sebelum Sujiwo Tejo, Emha Ainun Nadjib (konon dengan bahasa sastra, dan berharap kita ngerti bahasa sastra) mengatakan Jokowi orang yang tidak ngerti apa-apa. Bahkan ketika menjadi presiden pun tidak ngerti bahwa dirinya adalah presiden. Dan kita diminta berdoa, agar Jokowi diselamatkan dari penderitaan. Yakni, membebaskan dari ketidakmengertian, yang adalah berarti Jokowi bukan lagi presiden. Makin cepat makin baik.
Jokowi, diakui atau tidak, telah menjungkirbalikkan logika dan keadaban kita. Dan kita bisa mati-matian antara benci dan cinta, suka dan tidak suka, yang masing-masing bisa begitu hadir secara absolut.
Termasuk SBY yang kini mati-matian mengatakan bahwa sebaiknya presiden kini tidak menyalahkan presiden sebelumnya. Meski pada SBY juga bisa dipesan agar presiden sebelumnya tidak menyalahkan presiden sesudahnya. BJ Habibie, mungkin satu-satunya mantan presiden yang masih hidup dan paling bijak dalam menyikapi kepemimpinan Indonesia.
Sekali pun sebenarnya yang mengritik SBY bukan hanya Haryo Aswicahyono (CSIS) yang sudah memprediksi permasalahan ekonomi hari ini setahun sebelumnya, tetapi juga Faisal Basri, Ichsanuddin Noorsy, dan terbaru Christine Lagarde, Managing Director IMF; "Presiden Jokowi jenius, sudah benar mengutamakan pengembangan infrastruktur sebagai kebijakan utama. Dalam empat tahun mendatang, belanja infrastruktur akan didorong tinggi. Jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya, lebih penakut dalam pengambilan keputusan," ujarnya.
Soal penilaian Lagarde, apakah itu basa-basi tamu? Tentu tidak. Bagaimana pun juga, dia adalah pemimpin eksekutif IMF. Ia mempertaruhkan kredibilitas dan kepercayaan public atas jabatannya. Yang mengatakan itu basa-basi politik, tentu karena berangkat dari orientasi diri yang suka basa-basi, berhobi silat lidah atau terbiasa culas.
Dan seperti rekomendasi Prof. Anwar Nasution, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan kecuali ketidakmampuan kita sendiri dalam menciptakan momentum dan mengubah paradigma kita, untuk mendorong BUMN yang jago kandang, peningkatan ekspor, perbaikan system dan managemen perdagangan dan perindustrian kita, serta ketidaksiapan Pemda dalam menyerap anggaran. Semua bertumpu pada kualitas SDM dan ketidaksiapan menghadapi perubahan.
Perubahan paradigma, sudut pandang, dan bahkan cara berfikir, bukan sesuatu yang mudah setelah terciptanya grey-area sebagai comfortable-zone bagi mereka yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Pers juga masih berkutat pada opinionated news daripada hard-news. Menyodorkan pikiran atau pendapat pejabat dan kaum ahli tanpa membei perspektif peristiwanya, seolah masyarakat tak bisa berfikir atas hal itu.
Kita masih dalam euphoria Reformasi 1998, dengan perubahan simbolik dan intellectual exercise, tetapi tidak pernah beranjak dari ego masing-masing dan tidak mampu menumbuhkan sinergitas. Karena era sekarang ini, tidak dibutuhkan presiden satrio piningit yang harus ngerti apa-apa.
Jokowi barangkali tidak ngerti apa-apa, sama dengan presiden sebelum-sebelumnya, tetapi ia mendengarkan, mengorganisasi dan memberi ruang kepada pihak lain. Bahkan ia presiden paling santun yang pernah kita miliki, yang sopir bis Jakarta bisa menangis membelikannya batu akik macan merah, karena bisa makan bareng semeja dengan sang presiden.
Tidak mudah untuk bisa menerima Jokowi, bagi yang membencinya kepati-pati tentu. Tetapi Indonesia tidak hanya bisa bertumpu pada pertentangan ideologis semata, apalagi di jaman ketika kita tidak bisa membedakan antara marxisme dan marxianisme!
Saya tidak pegang rupiah, apalagi dollar, namun saya memahami dialektika sahabat-sahabat saya dari desa-desa kerajinan Bali dan Bantul tertawa lebar ketika penerimaan dollar mereka naik (padahal keluar negeri juga kagak pernah). Serahkan pada ahlinya, dan kita juga ahli di bidang masing-masing, termasuk untuk realistis dan tetap bersemangat menghadapi perubahan.
Di jaman amplifieryzing dan TOA ini, juga dibutuhkan kemampuan mendengar suara hati yang terdalam, yang terbebas dari kepentingan sejenak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar