Pada mulanya Kampung Code adalah pemukiman kumuh dan miskin di pinggiran Kali Code yang membelah tengah kota Yogyakarta. Kondisi masyarakat miskin dapat tergambarkan pada Kampung Code, yang terdiri dari pemulung, pengamen, pengemis, pelacur, dan lain-lain. Kebanyakan pemukimnya pekerja kasar dan informal di lingkungan sekitar kawasan.
Pada 1983 pemerintah kota Yogyakarta bermaksud menggusur pemukiman ini, namun atas permohonan ketua RT Willy Prasetya dan Romo Mangun (YB Mangunwijaya), rencana tersebut ditangguhkan. Sebagai gantinya diselenggarakan suatu proyek revitalisasi dengan melibatkan 2 koran lokal untuk mendukung pendanaan.
Perencanaan dan pembangunan area ini dimulai pada tahun 1983 dan selesai selama kurang lebih 2 tahun. Hampir tidak ada gambar atau dokumen konstruksi dibuat untuk proyek ini. Semua berlangsung secara spontan dan alamiah. Secara umum konstruksi rumah berbentuk huruf A dengan rangka dari bambu, dinding bilik bambu dan atap seng. Hanya tiga tukang kayu dan 2 tukang batu dipekerjakan untuk proyek ini, selebihnya adalah tenaga partisipasi warga dan sukarelawan. Mahasiswa seni rupa ikut terjun sebagai relawan, membimbing warga memperindah tampilan luar rumah mereka.
Bahasa estetika dari Kali Code ini adalah bahasa estetika rakyat jelata yang tradisional, berwarna-warni, sederhana tanpa pretensi berindah-indah. Mungkin agak banal, tapi apa adanya.
Selain estetika visual, dalam proyek ini terpendam juga estetika kemanusiaan yang justru lebih indah. Yaitu bagaimana sesuatu yang dicap jelek, kumuh, tidak bernilai ternyata mampu bertransformasi menjadi sesuatu yang bernilai, bahkan memberi nilai tambah pada estetika perkotaan.
Bagaimana semua itu dicapai? Jawabannya terletak pada keberhasilan mensintesakan dua faktor pendukung kebudayaan. Yakni faktor human capital, dan faktor nilai-nilai lokal yang biasanya tidak selalu beriringan. Human capital termanifestasi dalam figur local jenius, sementara khazanah nilai-nilai lokal terlembagakan dalam kesadaran teologis mengembangkan sikap bijak terhadap lingkungan yang sering disebut juga local wisdom.
Meski bukan magnum-opusnya dalam bidang arsitektur, tapi apa yang dilakukan Romo Mangun untuk warga pinggir Kali Code merupakan penghargaan besar terhadap kemanusiaan. Usaha masyarakat bersama Romo Mangun, mendapat hasil berupa penghargaan internasional yaitu Aga Khan for Architecture pada tahun 1992.
Kampung Code telah menjadi sebuah miniatur peradaban berbasis arti penting local wisdom, yang diperlopori oleh seorang local jenius yang gigih. Hal ini dimungkinkan karena Romo Mangun tidak hanya mengubah desain arsitektur fisik perkampungan itu, akan tetapi dia juga mendorong terciptanya perubahan sosial (sosial engineering) dengan cara mensolusikan dan memberdayakan perekonomian mereka. Sebagai arsitek, Romo Mangun tak hanya piawai menata interior dan eksterior sebuah bangunan, tetapi mental, moral, dan kepercayaan diri masyarakat Kali Code juga menjadi proyek garapan.
Pada mulanya pasca terjadinya banjir Kali Code, Romo Mangun datang tidak sebagai duta kemanusiaan. Namun nalurinya terpicu untuk menata ulang kampung ini menjadi lebih baik dan sehat, karena kedekatan beliau dengan masyarakat sekitar. Beliau menata ulang permukiman seperti menambahkan WC umum, ruang terbuka untuk bermain, dan balai serbaguna yang dapat berfungsi sebagai perpustakaan, tempat belajar atau pertemuan warga sehingga fasilitas umum terpenuhi.
Ada semacam konvensi tak tertulis di dalam kampung ini. Rumah-rumah di situ tidak boleh diklaim oleh siapapun. Mereka yang benar-benar belum memiliki rumah, atau bagi gelandangan, boleh menempati rumah tersebut dengan biaya sangat murah. Jika keadaan ekonomi warga tersebut telah membaik, atau anggota keluarga telah meninggal dunia atau menikah atau keluar dari kampung, maka rumah tersebut harus dikembalikan kepada kampung, dan dapat digunakan kembali oleh warganya yang benar-benar membutuhkan.
Pak Bahran, yang pernah menjabat sebagai Ketua RT 01 Code pada tahun 2009, mengutip pesan Romo Mangun, “Kalau sudah lebih mapan secara ekonomi, beli saja tanah di luar kampung. Rumah di kampung ini bisa ditempati oleh warga lain yang lebih membutuhkan.”
Sesama warga pun selalu menganjurkan kepada warga lain, yang keadaan ekonominya telah membaik untuk tidak mengembangkan rumah. Artinya, yang juga harus dibangun adalah mentalitas masyarakatnya. Untuk tak selalu bergantung pada kata, seperti kata A. Teeuw.
Jakarta, Aktual.com — Guru besar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menghadiri pembukaan Musyawarah Nasional Partai Keadilan Sejahtera ke-4 di Depok, Jawa Barat, Senin (14/9). Jimly yang kini menjabat sebagai Ketua DKPP datang sebagai tamu pejabat negara.
BalasHapusNah, dalam kesempatan itu, Jimly menyinggung beberapa anggota masyarakat seakan tidak pernah kapok membuat partai politik? Apa maksudnya…
BACA SELENGKAPNYA DI :
Kenapa Orang Indonesia Tidak Kapok Bikin Parpol?