Di tengah keriuhan Fadli Zon dan Setya Novanto bersama Donald Trump, mari undur sejenak pada isyu lain yang cenderung disembunyikan: Seiring dengan krisis pengungsi Suriah, sebuah laman facebook The Syrian Community in Denmark berbagi video tentang pengungsi Suriah yang diperbolehkan masuk Austria lewat Hongaria, dan membuat pengguna lain bertanya, "Mengapa mereka kabur dari wilayah saudara-saudara kita sesama Muslim, yang seharusnya lebih bertanggung jawab, ketimbang ke negara-negara yang mereka sebut sebagai 'negara kafir'?"
Harian Makkah bahkan menerbitkan kartun, yang juga disebarkan lewat media sosial, memperlihatkan seorang pria berbaju tradisional dari negara Teluk, menunjuk pintu lain berbendera Uni Eropa sambil berkata, "Kenapa kamu tak mengizinkan mereka masuk? Dasar orang-orang tidak sopan!?"
Adalah Professor Scheherazade S Rehman dan Professor Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian mengenai negara-negara dalam praksis keislamian. Pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.
Dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010), hasilnya: 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mempunyai nilai-nilai yang rendah dalam mempraktikkan nilai-nilai keislaman. Justeru negara-negara Eropa, yang sekuler memiliki peringkat lebih tinggi.
Parahnya, Arab Saudi yang menjadi tanah kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad, tempat di mana Islam muncul dan menyebar di seluruh penjuru dunia, serta negara yang diharap sebagai negara Islam justru mendapatkan peringkat ke-91 sebagai negara Islami, dikalahkan oleh 90 negara-negara lain di dunia.
Dari studi itu, disimpulkan negara paling Islami di dunia adalah Irlandia, Denmark, Luxemburg, dan Selandia Baru (New Zealand) sebagai lima posisi teratas negara paling islami di dunia. Lebih lanjut, Askari mengatakan bahwa negara Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia adalah negara yang menerapkan ajaran Islam paling riil atau nyata. Fakta ini tentu mengejutkan, dan bakal dibantah ramai-ramai.
Mengapa kontradiksi ini terjadi? Syaikh Basuni, seorang ulama Indonesia dari Kalimantan, pernah berkirim surat kepada Muhammad Rashid Ridha, ulama terkemuka Mesir: “Limadza taakhara muslimuuna wataqaddama ghairuhum (mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju)?" Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti jawaban Rasyid Ridha, "Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara barat maju karena meninggalkan ajarannya."
Berdasarkan hasil penelitian Askari, disimpulkan kebanyakan negara Islam menggunakan agama sebagai instrumen untuk mengendalikan negara. Di Indonesia, kita perlu berhati-hati dengan kelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk negara. Apakah itu FPI, FUI, HTI, bahkan sekali pun MUI yang kini juga cenderung memakai agama untuk dalil politik negara. Padahal ada perbedaan signifikan antara negara Islami dan negara Islam.
Negara Islam menerapkan aturan-aturan syari'at Islam dalam bernegara secara formal, sedangkan negara Islami merupakan negara yang mengamalkan nilai dasar atau nilai substantif daripada doktrin Islam. Negara Islami tidak harus menerapkan syari'at Islam secara formal, tetapi lebih menekankan pada aplikasi atau praktik yang mencerminkan nilai-nilai-nilai universal Islam.
Manurut Rashid Ridha, umat Islam terbelakang karena meninggalkan ajaran iqra, cinta ilmu dan budaya baca (Indonesia menempati urutan 111 dalam index membacanya). Muslim meninggalkan budaya disiplin dan amanah. Tak heran negara-begara Muslim terpuruk pada kategori low trust society, yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain, alias selalu penuh curiga. Tak ada kesalehan sosial, tapi melulu lebih mementingkan kesalehan individual (tapi tak peduli liyan). Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam. Jangan heran jika kita mehat mobil-mobil mewah di kota-kota besar, dengan sticker berhuruf Arab, tapi tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa, pernah berkata, ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab.”
Siapa yang salah? Mungkin yang membuat survey. Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah haji, pastilah Indonesia pada ranking pertama. Ini sebuah otokritik. Tak perlu ngamuk.
Pada sisi itu, kita bisa mengerti mengapa Fadli Zon ingin mensomasi Imam Besar Masjid New York City, dan nafsu untuk berselfie-ria dengan Donald Trump yang kapitalis-rasis. Tak ada hubungannya dengan agama. Itu soal kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar