Dwi Ria Latifa, anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP tampaknya kheky betul. Partainya jadi bulan-bulanan netizen dan masyarakat luas, dalam kaitan KPK versus Polri. Ia mengatakan bahwa yang mendukung BG sebagai Kapolri adalah 9 Fraksi (artinya hanya minus Demokrat). Perkataannya itu, tentu pembenaran bahwa PDIP, juga Nasdem bersama 7 fraksi lainnya memang mendukung BG sebagai kapolri, dalam fit and proper test yang mereka lakukan. Itu fakta, sebagaimana pengakuan Dwi Ria sendiri bukan?
Pernyataan DRL menjelaskan, bagaimana kebanyakan politikus
PDIP menjadi tidak sensitif dalam puting-beliung kepolitikan nasional. Terlalu
naif, culun, polos, dan sejenis-jenis itu. Ia tidak melihat, bagaimana statemen
Bambang Soesatyo (Golkar) dan Desmond J Mahesa (Gerindra) usai fit and proper
calon kapolri. Ia juga tidak melihat, bagaimana kemudian Yunus Yosfiah (die
hard Prabowo) berada di gedung KPK, dan mendukung Bambang Widjojanto. Ia juga
tidak melihat bagaimana Denny Indrayana (mantan orang SBY), terlibat aktif
dalam pembelaan KPK. Sebagaimana ia tidak melihat rentetan peristiwa
sebelumnya, ketika Hasto Kristianto mengutik-utik soal Abraham Samad, dan
Sugianto Sabran melaporkan BW ke Bareskrim.
Ndilalahnya ndilalah, pas peristiwa penangkapan BW oleh
Bareskrim, di Teuku Umar, kediaman Megawati, justru sedang banyak karangan
bunga numpuk, karena beliaunya sedang ulang tahun. Dan seperti biasa, tak
sepatah-kata pun keluar dari ibu kita ini, dalam merespons situasi yang tentu
negatif untuk partainya.
Dalam marketing politik, PDIP memang tidak secanggih
partai-partai lain seperti Demokrat, Gerindra dan lebih-lebih Golkar beserta
PKS. Sebagaimana hal yang sama juga dilakukan Nasdem. Partai ini jadi kayak
pahlawan kesiangan, karena nyaris sama begonya dengan PDIP.
Partai lain yang tak disebut? Anggap saja mereka tidak
significant!
Tulisan ini tidak ingin mengajari bagaimana berkelit, tetapi
bukankah jualan partai memang jualan kepercayaan? Atau karena selama ini di
luaran, syndrome opposant membuat Megawati dan Surya Paloh tidak sensitive, dan
tak punya sensibilitas?
Merebut kepercayaan rakyat adalah dengan berpihak kepada
mereka. Dan itu bukan pencitraan, melainkan memperlihatkan sikap dan
keberpihakan. Sementara apa sikap dan keberpihakan partai-partai itu? Mereka
melawan arus opini public, dan hanya memakai logika normative, legal, formal,
procedural. Bahkan omongan Menkopolhukam, bahwa massa belum tentu benar, adalah
konyol, apalagi beberapa statemennya menyudutkan KPK, dan menyalahkan KPK dalam
soal penetapan BG sebagai tersangka.
Dalam satu ruang kelas anak-anak SMP pun, kita bisa pastikan
mayoritas akan lebih mendukung dan percaya KPK daripada intitusi Kepolisian.
Namun agaknya, para politikus pendukung Jokowi berfikir legal-formal-prosedural
belaka. Mereka sama sekali tidak mempunyai kepekaan, apalagi keberpihakan
tentang apa yang dituntut selama ini oleh rakyat.
Parlemen telah diberi panggung oleh presiden, untuk membahas
pencalonan BG sebagai calon Kapolri. Tapi meski sudah berstatus tersangka (oleh
KPK), orang-orang parlemen justeru tetap antusias dan dengan kepentingan
berbeda, KMP dan KIH meluluskannya dalam fit and proper test. Dua kepentingan
berbeda, bertemu dalam kuali. Hasilnya, bertolak belakang dengan nilai
kepatutan dan kepantasan, yang menjadi ukuran bawah sadar rakyat.
Dan rakyat tidak bodoh dalam melihat rentetan kasus
peristiwa darimana munculnya nama BG sebagai calon Kapolri. Kemudian KPK
menetapkannya sebagai tersangka. DPR tetap meluluskan. Parlemen, dan terutama
fraksi pendukung Jokowi, mendesak-desak pelantikan BG, tapi Jokowi menundanya.
Dan Surya Paloh kebakaran jenggot. Sementara para politikus KMP, menjalankan skenario
keduanya, bahwa jika Jokowi tak melantik BG sebagai kapolri, sudah disiapkan
amunisi untuk interpelasi.
Lantas terjadilah kegaduhan dari Hasto hingga Sugianto yang
berujung pada ditangkapnya BW, serta tidak proporsional dan profesionalnya
polisi dalam proses penangkapan BW hingga menjelang ditangguhkannya penahanan.
Itu semuanya adalah rangkaian peristiwa dalam satu masalah.
Tidak berdiri sendiri-sendiri. Dan di situ, wajar jika publik (terutama pemilih
Jokowi) marah pada terutama PDIP dan Nasdem sebagai sumber petaka. Kalau marah
pada Polri? Itu sih sudah sejak dulu, karena basisnya memang sudah tidak
percaya.
Kemenangan PDIP dalam Pemilu dan Pilpres 2014, tidak bisa
dibaca kemenangan PDIP sebagai partai politik yang tangguh. Melainkan,
kemenangan PDIP adalah juga faktor dukungan rakyat yang menginginkan Jokowi
sebagai presiden.
Kenapa menghendaki Jokowi sebagai presiden? Karena hanya ada
dua calon dan kompetitornya adalah Prabowo Subianto. Jumlah yang menolak
Prabowo jauh lebih besar. Padahal, jangankan delapan juta, selisih 10 suara
saja tetap bisa untuk menentukan siapa kalah siapa menang.
Jokowi lebih dipercaya untuk tuntutan pemerintahan yang
bersih, bebas dari korupsi. Sementara Prabowo tidak dipercaya. Kenapa? Karena
Jokowi sebagai generasi di luar jalur politik, dan sejarah masa lalu, relatif
tidak punya beban kepentingan kelompok, sebagaimana generasi Prabowo ke atas
memilikinya. Kita bisa melihat, bagaimana SBY menjadi lebih banyak berkompromi,
karena belitan masa lalu dan kepentingan kelompok.
Dan kini, ketika para pendukung Jokowi bahkan mengritik
keras Jokowi, dalam kaitan kasus KPK vs Polri, apakah itu artinya salam dua
jari menjadi salam gigit jari? Tentu saja tidak. Karena sudah jelas, salam dua
jari telah memenangkan Jokowi menjadi presiden. Akan menjadi salam gigit jari
kalau pemenangnya adalah Prabowo. Dan kenyataannya, Jokowi adalah Presiden
Republik Indonesia 2014-2019, yang sah dan konstitusional.
Pendukung yang rasional dan proporsional, ialah akan terus
tetap mendesakkan kepentingan-kepentingannya. Berani mengritik yang
didukungnya, untuk tetap konsisten sebagaimana untuk apa ia perlu didukung.
Jadi seyogyanya partai pendukung Jokowi jangan lebay-lebay
amat. Toh kalian dalam proporsi KMP-KIH juga kalah jumlah dan kalah siasat. Itu
yang juga menyebabkan, posisi Jokowi selalu dalam situasi krisis dan kritis.
Apalagi ditambah dengan sikap PDIP dan Nasdem, yang terlihat ambisius dalam
menyusupkan agenda-agenda kepentingannya, dengan memasukkan orang-orang mereka
dalam pemerintahan Jokowi.
Kasus BG, yang berkembang menjadi konflik terbuka KPK vs
Polri, tak bisa tidak, akan dibaca bagian dari berbagai manuver-blunder partai
lebay pendukung Jokowi.
Berkuasa itu memang enak bukan?
Tapi tidak (enak), kalau keblinger!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar