Profesionalitas dan proporsionalitas semestinya dua hal yang bisa
berpadu-padan. Tapi ternyata tak mudah. Celakanya, di sekitaran kita
justeru sering menjadi tidak profesional karena mencoba proporsional,
atau menjadi tidak proporsional ketika mengharuskan diri profesional.
Di dalam dunia kepolitikan kita, hal tersebut menjadi lebih nyata lagi. Bagaimana orang-orang Senayan kehilangan proporsionalitasnya, lebih karena mencoba menjadi profesional. Seorang profesional ialah mereka yang dibayar (mendapat imbalan upah) karena keahliannya, bukan karena merasa ahli.
Dalam kasus pencalonan Kapolri BG, yang ditersangkakan oleh KPK, terlihat bagaimana para politikus KIH, terutama dari PDIP, menunjukkan kelas rendahnya. Bahkan setelah paripurna meloloskan BG menjadi Kapolri, sore hari di acara TV One, berdebatkusir dengan Fajroel Rachman, Henry Yosodiningrat ngotot, "Kalau perlu malam ini juga dilantik,..." (16/1, jam 19:00). Kenapa sih ngebet banget? Sakaw ya?
Dengan nada jengkel, ketika FR mengatakan tidak percaya pada DPR, Henry dengan enteng mengatakan bahwa keputusan menerima BG sebagai Kapolri dilakukan 9 dari 10 fraksi yang ada. Kalau FR tidak percaya pada DPR, itu hanya satu dari 250 juta penduduk Indonesia. Wah, bener-bener sakaw berat deh.
Dwi Ria Latifa, yang juga profesi sebelumnya pengacara, punya pendapat hampir sama. Mempersoalkan kerja KPK, surprise karena KMP full mendukung pilihan Jokowi atas BG.
Sementara kita tahu, karakter KMP dalam menggoalkan UUMD3, kemudian Prabowo mengundurkan diri dari proses penghitungan suara Pilpres di KPU, terlihat lebih penuh manuver, dan kadang mengabaikan nilai-nilai etika berupa kejujuran dan ketulusan. Tapi KIH masih saja naif, cupu (culun punya alias dogol), dan berusaha berfikir linier serta kehilangan kepekaan ketika dikadalin. Kalau dalam soal main drama, PDIP (juga Nasdem) belajarlah pada PKS dan Golkar.
Bambang Soesatyo usai fit and proper test blak-blakan mengatakan, bahwa mereka (KMP), tidak mau terjebak dalam bola panas yang dilempar Jokowi dengan calon tunggal BG itu. Artinya, Bangsat sudah tahu, siapa BG ini sebenarnya. Demikian juga Desmond J Mahesa lebih blak-blakan, ini game. Maka BG yang kata Desmond adalah barang busuk itu, sekalian saja diterima. Tinggal ditunggu bagaimana sikap Jokowi setelah barang busuk tadi diloloskan? Desmond bilang, kalau dilantik Jokowi berhadapan dengan KPK, kalau tidak dilantik KMP mengancam menggalang interpelasi karena contempt of parliament.
KMP dan KIH sama-sama meloloskan, tetapi tujuan keduanya berbeda, dan KIH merasa KMP bersamanya. Tolol banget, hanya karena ngebet BG jadi Kapolri. Agenda apa sih kok ngebet banget dengan si BG? Sampai-sampai mesti "malam ini juga" dilantik? Pada dapat apa sih, dijanjiin rumah ya, hanya karena konon BG polisi murah hati yang suka bagi-bagi rumah? Dasar oportunis pecundang! Soal kepemimpinan KPK ditundtunda, soal APBNP tidak dirasa penting, eh soal Kapolri yang nggak penting dipenting-pentingin.
Tak ada dugaan lain, pasti karena order khusus. Siapa pengordernya, dan untuk apa? Balas dendam ya? Para ortu ini memang harus segera ditinggalkan untuk Indonesia Baru tanpa tradisi balas dendam kesumat.
Dan Jokowi pun akhirnya mementahkan dua jebakan batman (dari KIH maupun KMP) itu, dengan menunda pelantikan BG jadi Kapolri, sembari menunggu proses hukum.
Setelah DPR "menerima BG untuk menolak Jokowiisme", terus bagaimana? Jokowi melemparkannya ke KPK. Kita tunggu proses hukumnya. Sekarang masalahnya di mana? Ya, bekerjalah KPK jangan ngomdo. Terlalu banyak alasan untuk banyak pekerjaan yang dibanggakan. Katanya mulai 2010, tapi kok makbedunduk dimunculkan menjelang fit and proper test BG? Kamu berpolitik ya? Kalau tidak, ngapain kebakaran jenggot? Mentang-mentang AS dan BW pada punya jenggot!
Sekarang kita lihat, mana yang profesional dan proporsional sekaligus? Apakah DPR, baik KMP maupun KIH? Jokowi? KPK? Atau orang-orangtua seperti Megawati? Surya Paloh? Jusuf Kalla?
Tanpa partai politik, duo Jokowi-KPK sebenarnya masih bisa diharap untuk Indonesia Baru. Asal mereka profesional dan proporsional. Memang seperti meniti jembatan kawat di arena sirkus. Tapi apa boleh buat. Daripada ngasih makan singa-singa kelaparan yang tak tahu diri, bukankah mending membuka pekerjaan untuk 20 juta pengangguran, menjamin sirkulasi dan distribusi ekonomi mikro yang adil, dan menggerakkan roda pemerintahan sinergis dari pusat hingga ke pemerintahan desa? Ayo lihat lagi pola kerjamu, profesional dan proporsional, sekali pun (atau justeru karena) berselancar di negeri angin ribut ini.
Di dalam dunia kepolitikan kita, hal tersebut menjadi lebih nyata lagi. Bagaimana orang-orang Senayan kehilangan proporsionalitasnya, lebih karena mencoba menjadi profesional. Seorang profesional ialah mereka yang dibayar (mendapat imbalan upah) karena keahliannya, bukan karena merasa ahli.
Dalam kasus pencalonan Kapolri BG, yang ditersangkakan oleh KPK, terlihat bagaimana para politikus KIH, terutama dari PDIP, menunjukkan kelas rendahnya. Bahkan setelah paripurna meloloskan BG menjadi Kapolri, sore hari di acara TV One, berdebatkusir dengan Fajroel Rachman, Henry Yosodiningrat ngotot, "Kalau perlu malam ini juga dilantik,..." (16/1, jam 19:00). Kenapa sih ngebet banget? Sakaw ya?
Dengan nada jengkel, ketika FR mengatakan tidak percaya pada DPR, Henry dengan enteng mengatakan bahwa keputusan menerima BG sebagai Kapolri dilakukan 9 dari 10 fraksi yang ada. Kalau FR tidak percaya pada DPR, itu hanya satu dari 250 juta penduduk Indonesia. Wah, bener-bener sakaw berat deh.
Dwi Ria Latifa, yang juga profesi sebelumnya pengacara, punya pendapat hampir sama. Mempersoalkan kerja KPK, surprise karena KMP full mendukung pilihan Jokowi atas BG.
Sementara kita tahu, karakter KMP dalam menggoalkan UUMD3, kemudian Prabowo mengundurkan diri dari proses penghitungan suara Pilpres di KPU, terlihat lebih penuh manuver, dan kadang mengabaikan nilai-nilai etika berupa kejujuran dan ketulusan. Tapi KIH masih saja naif, cupu (culun punya alias dogol), dan berusaha berfikir linier serta kehilangan kepekaan ketika dikadalin. Kalau dalam soal main drama, PDIP (juga Nasdem) belajarlah pada PKS dan Golkar.
Bambang Soesatyo usai fit and proper test blak-blakan mengatakan, bahwa mereka (KMP), tidak mau terjebak dalam bola panas yang dilempar Jokowi dengan calon tunggal BG itu. Artinya, Bangsat sudah tahu, siapa BG ini sebenarnya. Demikian juga Desmond J Mahesa lebih blak-blakan, ini game. Maka BG yang kata Desmond adalah barang busuk itu, sekalian saja diterima. Tinggal ditunggu bagaimana sikap Jokowi setelah barang busuk tadi diloloskan? Desmond bilang, kalau dilantik Jokowi berhadapan dengan KPK, kalau tidak dilantik KMP mengancam menggalang interpelasi karena contempt of parliament.
KMP dan KIH sama-sama meloloskan, tetapi tujuan keduanya berbeda, dan KIH merasa KMP bersamanya. Tolol banget, hanya karena ngebet BG jadi Kapolri. Agenda apa sih kok ngebet banget dengan si BG? Sampai-sampai mesti "malam ini juga" dilantik? Pada dapat apa sih, dijanjiin rumah ya, hanya karena konon BG polisi murah hati yang suka bagi-bagi rumah? Dasar oportunis pecundang! Soal kepemimpinan KPK ditundtunda, soal APBNP tidak dirasa penting, eh soal Kapolri yang nggak penting dipenting-pentingin.
Tak ada dugaan lain, pasti karena order khusus. Siapa pengordernya, dan untuk apa? Balas dendam ya? Para ortu ini memang harus segera ditinggalkan untuk Indonesia Baru tanpa tradisi balas dendam kesumat.
Dan Jokowi pun akhirnya mementahkan dua jebakan batman (dari KIH maupun KMP) itu, dengan menunda pelantikan BG jadi Kapolri, sembari menunggu proses hukum.
Setelah DPR "menerima BG untuk menolak Jokowiisme", terus bagaimana? Jokowi melemparkannya ke KPK. Kita tunggu proses hukumnya. Sekarang masalahnya di mana? Ya, bekerjalah KPK jangan ngomdo. Terlalu banyak alasan untuk banyak pekerjaan yang dibanggakan. Katanya mulai 2010, tapi kok makbedunduk dimunculkan menjelang fit and proper test BG? Kamu berpolitik ya? Kalau tidak, ngapain kebakaran jenggot? Mentang-mentang AS dan BW pada punya jenggot!
Sekarang kita lihat, mana yang profesional dan proporsional sekaligus? Apakah DPR, baik KMP maupun KIH? Jokowi? KPK? Atau orang-orangtua seperti Megawati? Surya Paloh? Jusuf Kalla?
Tanpa partai politik, duo Jokowi-KPK sebenarnya masih bisa diharap untuk Indonesia Baru. Asal mereka profesional dan proporsional. Memang seperti meniti jembatan kawat di arena sirkus. Tapi apa boleh buat. Daripada ngasih makan singa-singa kelaparan yang tak tahu diri, bukankah mending membuka pekerjaan untuk 20 juta pengangguran, menjamin sirkulasi dan distribusi ekonomi mikro yang adil, dan menggerakkan roda pemerintahan sinergis dari pusat hingga ke pemerintahan desa? Ayo lihat lagi pola kerjamu, profesional dan proporsional, sekali pun (atau justeru karena) berselancar di negeri angin ribut ini.
ISTANA PRESIDEN DALAM LAPORAN PANDANGAN MATA ADIAN NAPITUPULU | Politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu buka suara
mengejutkan. Dia mengungkap bahwa situasi di sekitar Istana mengerikan. “Ada
penjilat, ada para munafik, ada pembisik informasi palsu, ada yang diam-diam
tapi pengkhianat,” katanya.
Tidak cuma itu. Adian meski tidak menyinggung bagaimana
kondisi carut marut politik di negeri ini terkait penetapan calon Kapolri, dia
juga mencermati situasi di dalam Istana, menurutnya, ada yang manggut-manggut
tapi menikam dari belakang.
“Ada mata-mata, ada agen rahasia, ada yang mengancam
dengan kata, ada yang dengan senjata,” ungkap anggota DPR dari Fraksi PDI
Perjuangan ini dalam keterangan persnya kepada LICOM, Jumat (16/1/2015).
Lebih mengerikan lagi, menurut Adian, “Ada yang dengan
Guna-guna, si Jahat berkerja di dunia nyata hingga maya. Di Istana ada ribuan
kepentingan yg bekerja dengan jutaan cara,” tambah Adian.
Adian bicara blak-blakan, mengatakan Jokowi si tukang
meubel itu sekarang sedang berhadapan dengan konspirasi tak tampak mata.
“Konspirasi yang bisa lebih silent dari freemason, bisa lebih jahat dari Nazi.
Konspirasi tanpa bentuk, tak beraroma, tak diakui tapi ada dan bekerja, katanya
lagi.
Lantas, Adian mebandingkan situasi di Istana dengan di
luar. Menurutnya, ada banyak aktivis mahasiswa yang bahkan melawan dosen pun
tak punya nyali, ada banyak tokoh yang takut bahkan pada isteri sendiri.
Adian juga menyindir, “Ada banyak pengamat yang kalah
pada birahi. Dan kini, mereka semua berlomba menghakimi Jokowi seolah mereka
yang paling berani.”
Dalam kegalauan Presiden Jokowi, menurut Adian, si kurus
itu mengutip Pramoedya dan menegaskan sikap serta pendiriannya bahwa sebagai
Presiden ia menghormati semua lembaga, setiap orang, tapi sebagai Presiden dia
tak bisa di intimidasi siapa pun!
“Si kurus tukang meubel itu seolah ingin berkata
“silahkan bicara, silakan berpendapat, silahkan beri data dan masukan, silahkan
ancam, silahkan teror, silahkan marah tapi saya yang akan memutuskan… Karena
saya adalah Presiden!”
Adian seperti terang-terangan membela Presiden Jokowi.
Menurutnya, karena menghadapi situasi Istana yang mengerikan itu Jokowi
berkata: “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau
tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” @licom_09 | Politik
sekitar Istana mengerikan, ini kata Adian Napitupulu, Jumat, 16 Januari 2015 17:29 WIB. Editor: D Irianto
| LENSAINDONESIA.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar