MEI 1998, 15 TAHUN LAMPAU. Mengulik sebuah tulisan yang sederhana, tapi menggetarkan dari Dewi Tjakrawinata, mengenai apa yang diketahui dan dirasainya, pada Mei 1998:
Limabelas tahun lalu di sebuah hotel di Singapura, aku terduduk memandang dengan tidak percaya siaran televisi Indonesia: Amuk massa, chaos. Itu Negara ku, itu kotaku, itu bangsaku, bedil itu,....
Aku menyuruh Kevin, yang saat itu berumur lima tahun, untuk pergi ke
tempat temannya yang menginap di hotel yang sama. Aku tidak mau ia punya
kenangan buruk tentang negara ibunya. Morgan dalam kandunganku.
Kami dipaksa mengungsi dari Jakarta, karena perusahaan tempat Pol
bekerja saat itu, tidak berani ambil resiko dan tidak bisa menjamin
keselamatan keluarga expatriate, yang ada di Indonesia. Sampai saat ini
aku masih ingat, situasi ketika kami berangkat beberapa hari sebelumnya.
Sebelumnya kami semua ditempatkan di sebuah hotel yang dijaga sangat
ketat, dengan tank dan tentara yang siap tembak, dengan senjata laras
panjang. Pada hari keberangkatan, kami dibawa dengan 3-4 bus besar yang
dikawal panser.
Sepanjang jalan Semanggi menuju bandara, kami
melihat asap dan api dimana-mana; ruko-ruko yang dijarah kemudian
dibakar, tapi juga sepi yang menghujam: ini kota kelahiranku?
Ponsel
tidak berfungsi. Sebelum berangkat, aku hanya sempat bicara dengan
ibuku, untuk saling menguatkan dan mendoakan. Di bus kami itu, hanya aku
dan sopir yang orang Indonesia. Sesak dada dan kehabisan kata untuk
menjawab pertanyaan keluarga lain. Aku juga tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Adakah teman yang tahu saat itu juga, apa yang
terjadi? Di bandara ke-chaos-an menjadi luar biasa. Ini bukan bandara,
tapi tempat pengungsian ratusan ribu orang yang sepertinya tumplek di
sana.
Tidak ada yang percaya setiap kali aku ceritakan kemudian,
bahwa pegawai penerima uang fiskal sampai terjepit di antara tumpukan
rupiah yang menggunung. Pada saat terakhir, GM perusahaan tempat Pol
bekerja, memintanya untuk tinggal dan meneruskan membantu proses
pengungsian, karena ia satu-satunya expat yang lancar berbahasa
Indonesia.
Aku sempat menawarkan tiketku dan Kevin, ke seorang
perempuan muda keturunan Tionghoa dan ibunya yang menangis terus, hampir
histeris. Saking chaosnya, bahkan tiket kami pun tidak ada namanya.
Kami sudah menyerahkan tiket kami, ketika tiba-tiba si perempuan
tersadar, dan hampir terjatuh, mengatakan: “Terima kasih mba, tapi kami
tidak bisa berangkat, Ibu saya tidak punya paspor,...”
Si ibu menggelosor, dan menyuruh anaknya saja yang berangkat, sambil melolong.
Aku bahkan tidak sempat menanyakan apa-apa lagi, karena panitia pengungsian kemudian mendorongku masuk ke ruang tunggu.
Lama sesudahnya, dan sampai sekarang setiap kali 'Tragedi Mei'
diangkat, aku ingat wajah perempuan muda itu dan ibunya. Di manakah
mereka?
| Menolak lupa, atas apa yang terjadi dengan perempuan keturunan Tionghoa itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar