Dari semua uraian
mengenai teori konspirasi (conspirations theory), tak ada yang bisa meyakinkan,
darimana asal-usul teori persekongkolan ini. Kalau bisa diketahui, maka relatif
kebohongannya besar, karena salah satu sifat dasar teori ini adalah
kerahasiaan. Hanya di Indonesia saja, seorang reserse memasang sticker di pintu
rumahnya, bahwa penghuninya adalah reserse (apa maksudnya jika bukan untuk
menakut-nakuti debt-collector dibanding tugas kerahasiaannya?) Itulah Indonesia
Raya!
Namun, jika kita cermati dari bunyi kata itu sendiri, besar
kemungkinan teori ini pertama kali ditemukan di daerah ngapak-ngapak seperti
Kebumen, Kutoarjo, Kutowinangun, Banyumas, Wonosobo, yang bisa jadi terjadi di pusat-pusat
perekonomian. Di pasar-pasar, warung-warung, dan di setiap transaksi antara
pedagang-petani, bakul-pembeli, selalu kata-kata itu muncul; “Kon pira, sih?
Inyong ora wani,...” (Minta berapa sih, harganya,... kira-kira demikian
terjemahannya).
Pedagang atau bakul yang selalu ingin membeli murah dan
menjual mahal, agar untung gede, agaknya kemudian bersepakat, bersekongkol
dengan para pedagang dan bakul lainnya, agar mereka dapat mencapai tujuannya.
Dan hasilnya, petani jadi korban, pembeli jadi korban, dan mereka untung besar.
Inti konspirasi adalah persekongkolan atau kesepakatan.
Untuk menunjang itu, dibutuhkan skenario. Karena itu, pada waktu dulu,
kebutuhan akan penulis skenario sudah luar biasa banyak. Profesi penulis
skenario, dibayar tinggi, tak seperti sekarang, banyak PH (production house)
membayar penulis skenario (script-writer) murah, dan jangan heran kalau
sinetron-sinetron di televisi kita kualitasnya acakadut.
Apalagi ketika kebutuhan akan scriptwriter ternyata tak
hanya di televisi, melainkan juga di partai politik, perselingkuhan suami-suami
takut isteri. Akhirnya semua itu mengakibatkan tak ada seleksi, karena antara
kebutuhan dan ketersediaan SDM tak memadai. Maka lahirlah kisah-kisah yang
ecek-ecek dalam dunia peradaban sosial kita, tanpa kecuali kepolitikan kita.
Seperti apa yang terjadi sekarang, ketika KPK mulai menyisir
barang-barang bukti milik LHI atau AF, PKS bagai kebakaran jenggot (entah ini
dalam maka konotatif atau denotatif). Mereka marah dan menyusun strategi
perlawanan. Bahwa ini pasti konspirasi, KPK dipakai sebagai alat kekuasaan
tertentu. Sama persis dulu ketika orang-orang Demokrat dicokok KPK, mereka juga
menuding hal serupa.
Nah, kita bisa membayangkan, jika semua orang yang dicokok
KPK, atau dicokok hukum, menuding balik seperti itu? Susno Duadji dan Yusril
Ihsa ngomong ini konspirasi kekuasaan, teroris ngomong itu konspirasi
kekuasaan, Eyang Subur nuding ia korban konspirasi 3M (media gossip, masyarakat
gatel, dan MUI), terus apa jadinya negeri ini? Ya, tetap saja jadi negeri
Indonesia, kecuali kelak ganti owner dan ganti nama menjadi Indokampret
misalnya.
Bahwa ketua KPK Abraham Samad goblog dan temperamental (nggak
apa nuduh dia begitu, tapi kan tidak menyuruh dia mundur, daripada bilang
dukung KPK, tapi bikin konspirasi untuk mendongkel dan mengobrak-abrik KPK), kita
tahu itu. Tapi kita harus memulai dari satu titik, untuk mendorong lembaga ini
menyelesaikan pekerjaannya, yakni dengan pembuktian hukum-hukum yang logis, dan
bukan tudang-tuding teori konspirasi tanpa mampu menyebut alamat, kecuali hanya
ingin memecah opini publik.
Jangankan orang Indonesia, orang Amerika saja, percaya
adanya teori konspirasi. Tak sedikit yang percaya bahwa John F Kennedy
sejatinya diselamatkan kaum alien karena teori konspirasi. Sebagaimana juga
peristiwa 11 September terjadi karena persoalan petrolium dollar more!
Tapi, saya ingatkan, hal lain yang ingin disembunyikan dari
diedarkannya teori konspirasi, ialah menyembunyikan fakta dasarnya atau fakta
logikanya. Intinya, kalau misal bahwa elite PKS ini dijebak, lha kok mau
dijebak? Orang yang tidak tahu dijebak, kemudian dia terjebak, dan menyalahkan
penjebaknya, pastilah orang yang tidak siap menjadi pemimpin, teladan, dan
tidak fathanah (itu sebabnya mereka menolak Fathanah bukan orang PKS, karena
kalau mereka cerdas, berarti di PKS ada fathanah-nya dikit-dikit gitu lho).
Lebih celaka lagi, menyalahkan penjebak tetapi menikmati hasil jebakannya itu, yang
bukan tadi siang menikmatinya, tapi sudah lebih dari dua tahun, sudah dipakai
kowan-kawin, mbela-mbeli mobil mewah, apartemen untuk isteri muda, kawin syiri,
dll, dsb, lha kok tiba-tiba ngomong kita dijebaaaaaakkkk,...! Dijebak dari Hong
Kong?
Yang namanya jebakan, itu sudah setua sejarah manusia, dari
sejak Kanjeng Nabi Adam hingga Kanjeng Nabi Muhammad. Dan selalu hanya pemimpin
yang cerdas, yang bisa dipercaya, yang tidak bisa dijebak, yang akan diikuti
ummat. Karena itu mereka biasanya tidak mendirikan partai politik, tetapi
mendirikan shalat, menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan mendirikan keadilan
untuk kesejahteraan elitenya.
Think localy act globaly, dari Banyumasan seanteronya,
menuju teori konspirasi dunia. Kalau kamu tidak berkeadilan dengan kebenaran,
kesejahteraanmu hanya setingkat selangkangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar