"Semua orang memuji-muji surga," kata James
Baldwin, penulis dan aktor, "tapi tidak ada yang mau pergi ke sana
sekarang juga."
Benarkah demikian? Kita tak bisa bertanya pada Uje,
ustad puluhan juta rupiah per-15 menit itu. Soal beginian, yang tahu
tentu hanya yang Mahatahu dan yang Soktahu (yang terakhir ini biasanya
dikategorikan pada industriawan gossip selebritas dan para korbannya).
Di Indonesia Raya, kita selalu dipaksa untuk yakin, ada begitu banyak
ahli sorga, yang entah kapan dapat SK dari Tuhan, hingga bisa menghakimi
orang perorang murtad atau tidak, bahkan bisa menentukan layak atau
tidak layak seseorang masuk sorga atau neraka, semengtara beberapa anak
MUDA komika dari 'Negeri Stand Up Commedy' meyakini, “masuk neraka”
adalah idaman mereka, sesuai sabda Indro Warkop. Padahal menurut Habib
Soleh (yang dibantah Habib Selon sebagai bukan pengurus FPI) ketika
membela Eyang Subur, “Hanya Allah yang berhak menilai manusia itu sesat
atau tidak,...!”
Di tangan manusia, agama bisa jadi blunder,
khususnya pada manusia-manusia yang selalu memakai dalil agama, comot
pasal sana pasal sini, menjadi agama teks tapi kehilangan konteks. Para
agamawan ini kemudian bisa tak jauh beda dengan para lawyer, yang
menafsir satu pasal bisa menjadi beragam dalil sesuai kepentingannya,
bahkan bisa jadi dulu memakai pasal ini untuk itu, esoknya memakai pasal
itu untuk ini, yang satu sama lain bertolakbelakang. "Hidup bersama
orang suci ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi orang suci
itu sendiri," demikian keluh Robert Neville, sang aktor dari Amerika
Serikat kita sikat (dan Inggris kita linggis, jika SBY mau mengembalikan
gelarnya sebagai Ksatria Inggris).
Di negeri nasionalis religius
ini, bahkan partai politik pun memakai agama sebagai opium, untuk
membius kesadaran kritis. Ada banyak korupsi, dinasehatkan jangan
su’udzon. Ada banyak penyelewengan, jangan menuduh mereka karena belum
tentu kita lebih baik. Mantra-mantra agama perlahan justru dipakaikan
untuk mematikan daya kritis, karena daya kritis diidentikan dengan
kekafiran. Maka Hitler, sang pemimpin Nazi, bisa dimengerti jika
berkata, "Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa
berpikir. Aku tidak perlu berpikir, karena aku adalah pegawai
pemerintah,..."
Mengutip Charles de Gaulle, Presiden Perancis
pertama, "Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri,
karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya." Maka
demokrasi, kata yang selalu dipakai sebagai alasan, berjalan dalam rel
pseudo-demokrasi, demokrasi yang semu, karena; "Demokrasi adalah
pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi," seperti ujar Clement
Attlee. Dan itu melelahkan. Makanya PM Inggris itu berkata kemudian,
"demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup
mulut."
Alat tutup mulut paling efektif, adalah uang (mungkin ujar
AF juga sex dan mobil mewah) seolah membenarkan pelawak Will Rogers,
yang mengatakan; "Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus
mengeluarkan banyak uang."
Bukan hanya kalah, bahkan di Indonesia,
untuk masuk penjara pun juga memerlukan uang. Bukan hanya bayar lawyer,
melainkan juga membayar yang lain-lain, entah jaksa, hakim, polisi,
sampai pun sipir.
Praktik politik kita, di Indonesia, pada akhirnya
lenjeh dengan manipulasi, korupsi, dan politik ekonomi rente yang bisa
menjerat siapa pun. Maka jika tak kuat mental, dengan kerja mudah dapat
milyaran rupiah (misal dalam politik cuma ngomong ngacau bisa dapet
duit, misal dalam agama jadi ustad seleb bisa dapet duit, semuanya mudah
dan jumlah ngaudzubillah), akibatnya bisa seperti AF yang bagi duit,
jam, mobil bernilai milyaran pada banyak perempuan bukan muhrimnya.
Politik berbiaya tinggi itu, mengindikasikan semuanya semu. Semuanya
dibangun di awang-awang. Dan uang lebih berputar di sana. Dalam praktik
beragama, kita juga mengenali gejala yang sama. Berapa banyak panitia
acara keagamaan ternganga, disodori DP puluhan juta dari tarif ustad
seleb, dan tidak akan dikembalikan jika acara batal. Karena membatalkan
acara adalah dosa, dan dosa harus dibayar di muka.
Apakah semuanya
ini? Formalisasi berfikir dan beragama kita menyeret kita dalam
pragmatisme. Semua hal dinilai dari azas kemanfaatan (diri sendiri).
Kapitalisme Orde Baru beranak-pinak subur, hingga teriakan reformasi
hanya omong kosong, karena lebih merupakan kelanjutan, makanya SBY suka
teriak, "Lanjutkan!". Dan kita makin didorong vandalism yang binal dalam
kekuasaan (politik, agama, uang), "Hasil dari kerja adalah uang. Hasil
dari uang adalah lebih banyak uang. Hasil dari lebih banyak uang adalah
kompetisi yang ganas. Hasil dari kompetisi yang ganas adalah dunia yang
kita diami ini," ujar DH Lawrence sang penyair itu.
Dan ketika yang
mengaku ini dan itu, yang lebih baik dari yang lain, ketika dihujat dan
dituduh munafik, tidak konsisten dan sebagainya, akan berbalik
menyerang; Bukan saya saja yang melakukan ini. Temen saya juga! Don
Marquis, seorang kolumnis, dengan sinis menyebutnya; "Orang yang munafik
adalah orang yang,... 'hey, siapa sih yang tidak munafik?'”
Apa
yang akan didapat dari Indonesia, dengan kualitas pemimpin negara
(politik dan agama) seperti itu? Saya teringat pidato presiden AS,
Herbert Hoover, yang sinis, "Berbahagialah generasi muda, karena
merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa."
Pemerintahan yang tidak
produktif, adalah pemerintahan yang lebih banyak meninggalkan hutang,
apalagi jika pemerintahan itu korup (dan menjadikan masyarakatnya
konsumtif, seperti kata Pram). Demikian juga suatu bangsa akan
mendapatkan celaka, ketika pemimpin agama tidak bisa membimbing umatnya,
apalagi mereka juga menjadi bagian dari masalah. Ketika Tuhan menguji
kita dengan ‘soal’ Eyang Subur saja, kita lebih suka main kayu daripada
berdiskusi sebagaimana diajarkan nabi-nabi yang direkomendasikan Tuhan.
Kenapa demikian? Menurut Kyai Eyang Cubluk dari desa bawah paha, yang
mengutip Eyang Voltaire, sang filsuf klasik Yunani itu, "Apabila kita
bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar