Kamis, Mei 30, 2013

INI IKLAN BUKU 'SERAT CENTHINI DWI LINGUA'

Tuan-tuan dan puan-puan. Mohon maaf ini adalah iklan buku Serat Centhini yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dalam buku "Serat Centhini Dwi Lingua" oleh Sunardian Wirodono. Dalam buku dwi lingua (dua bahasa) ini, disertakan pula teks aseli Serat Centhini karya Sri Susuhunan Pakubuwana V (yang ditulis tahun 1814-1823) dalam bahasa Jawa, agar tuan dan puan bisa mengetahui sumber teks beserta maknanya. Jadi, dengan memiliki satu SCDL ini, tuan dan puan sama halnya memiliki dua buku sekaligus. Untuk memilikinya, bisa memesan via sms ke 0856 4332 0856, 0813 9817 8411 atau email ke sunardianwirodono@yahoo.com. | Khusus wilayah Yogyakarta, kami melayani delivery book service, culdit-culrang, sms atau telpon ke: 0857 2590 6400. Buku akan diantar ke tempat Anda. Demikian iklan ini, mohon maaf tidak di-tag ke wall yang bukan milik kami.

Minggu, Mei 26, 2013

Serat Centhini Dwi Lingua Buku 2 in 1



SERAT CENTHINI DWI LINGUA | Serat Centhini Dwi Lingua (SCDL) Jilid 2, sudah bisa dipesan dan dimiliki teman-teman yang menginginkan karya sastra klasik Jawa ini.
SCDL, karya sastra klasik Jawa abad 18, karya Sri Susuhunan Pakubuwana V, ukuran buku 13,5 x 21 Cm, minimal 600+ hal tiap jilidnya (total 12 jilid, dan baru terbit jilid 1 dan 2), diterjemahkan ke Indonesia oleh Sunardian Wirodono (bukan dalam bentuk rangkuman, saduran, ringkasan, gubahan apalagi mengubah, tapi diupayakan mendekati bentuk aselinya text-by-text, sehingga pembaca terbantu untuk mendapatkan nuansa keaselian dari karya sastra yang ditulis tahun 1814-1823 ini), lengkap dengan teks bahasa Jawa aselinya.
Bagi yang menginginkannya, bisa menuliskan nama dan alamat lengkap ke email sunardianwirodono@yahoo.com, atau sms ke 0856 4332 0856, 0813 9817 8411, untuk delivery book services sms ke: 0857 2590 6400 (untuk wilayah Yogyakarta, culdit-culrang, cucul duit cucul barang).

Serat Centhini Dwi Lingua, berbeda dengan buku lain tentang Serat Centhini, berisi (1) Teks Aseli Serat Centhini dalam bahasa Jawa (berhuruf Latin), dan (2) Teks terjemahan dalam bahasa Indonesia, bari perbaris, bukan merupakan terjemahan rangkuman, ringkasan, apalagi gubahan. Dengan SCDL maka pemahaman mengenai sumber teks referensi asli bisa didapatkan. Sebagai mantan penyair, Sunardian Wirodono mengolah terjemahannya dengan mendekati gaya aslinya. Dengan SCDL pula, Anda mendapatkan dua buku dalam satu paket, dan turut pula mengkoleksi karya anak bangsa yang sudah berumur ratusan tahun.

|DATA BUKU
(1) Fisik: Ukuran 13,5 x 21 Cm. Tebal tiap jilid minumal 600+ hal. Kertas mangkak 70 gram (total 12 jilid, baru terbit jilid 1 dan 2, dan semoga mulai Juni 2013 terbit jilid berikutnya tiap bulan)
(2) Bahasa: Jawa dan Indonesia
(3) Harga per-eksp., Rp 100.000 (Edisi Hardcover), Rp 85.000 (Edisi Soft Cover) + ongkos kirim Rp 20.000 untuk dalam Jawa dan Rp 30.000 untuk luar Jawa.
(4) Penerbit: Yayasan Wiwara, Pr. Griya Taman Asri H-303, Panasan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta55581. 


Minggu, Mei 12, 2013

Tragedi Mei 1998, 15 Tahun yang Lampau

MEI 1998, 15 TAHUN LAMPAU. Mengulik sebuah tulisan yang sederhana, tapi menggetarkan dari Dewi Tjakrawinata, mengenai apa yang diketahui dan dirasainya, pada Mei 1998:
 
Limabelas tahun lalu di sebuah hotel di Singapura, aku terduduk memandang dengan tidak percaya siaran televisi Indonesia: Amuk massa, chaos. Itu Negara ku, itu kotaku, itu bangsaku, bedil itu,....
Aku menyuruh Kevin, yang saat itu berumur lima tahun, untuk pergi ke tempat temannya yang menginap di hotel yang sama. Aku tidak mau ia punya kenangan buruk tentang negara ibunya. Morgan dalam kandunganku.
Kami dipaksa mengungsi dari Jakarta, karena perusahaan tempat Pol bekerja saat itu, tidak berani ambil resiko dan tidak bisa menjamin keselamatan keluarga expatriate, yang ada di Indonesia. Sampai saat ini aku masih ingat, situasi ketika kami berangkat beberapa hari sebelumnya.
Sebelumnya kami semua ditempatkan di sebuah hotel yang dijaga sangat ketat, dengan tank dan tentara yang siap tembak, dengan senjata laras panjang. Pada hari keberangkatan, kami dibawa dengan 3-4 bus besar yang dikawal panser.
Sepanjang jalan Semanggi menuju bandara, kami melihat asap dan api dimana-mana; ruko-ruko yang dijarah kemudian dibakar, tapi juga sepi yang menghujam: ini kota kelahiranku?
Ponsel tidak berfungsi. Sebelum berangkat, aku hanya sempat bicara dengan ibuku, untuk saling menguatkan dan mendoakan. Di bus kami itu, hanya aku dan sopir yang orang Indonesia. Sesak dada dan kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan keluarga lain. Aku juga tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Adakah teman yang tahu saat itu juga, apa yang terjadi? Di bandara ke-chaos-an menjadi luar biasa. Ini bukan bandara, tapi tempat pengungsian ratusan ribu orang yang sepertinya tumplek di sana.
Tidak ada yang percaya setiap kali aku ceritakan kemudian, bahwa pegawai penerima uang fiskal sampai terjepit di antara tumpukan rupiah yang menggunung. Pada saat terakhir, GM perusahaan tempat Pol bekerja, memintanya untuk tinggal dan meneruskan membantu proses pengungsian, karena ia satu-satunya expat yang lancar berbahasa Indonesia.
Aku sempat menawarkan tiketku dan Kevin, ke seorang perempuan muda keturunan Tionghoa dan ibunya yang menangis terus, hampir histeris. Saking chaosnya, bahkan tiket kami pun tidak ada namanya. Kami sudah menyerahkan tiket kami, ketika tiba-tiba si perempuan tersadar, dan hampir terjatuh, mengatakan: “Terima kasih mba, tapi kami tidak bisa berangkat, Ibu saya tidak punya paspor,...”
Si ibu menggelosor, dan menyuruh anaknya saja yang berangkat, sambil melolong.
Aku bahkan tidak sempat menanyakan apa-apa lagi, karena panitia pengungsian kemudian mendorongku masuk ke ruang tunggu.
Lama sesudahnya, dan sampai sekarang setiap kali 'Tragedi Mei' diangkat, aku ingat wajah perempuan muda itu dan ibunya. Di manakah mereka?

| Menolak lupa, atas apa yang terjadi dengan perempuan keturunan Tionghoa itu.


 



SAJAK TRAGEDI MEI 1998 S.D. TRAGEDI MEI 2013



Kau yang dilahirkan oleh reformasi,
Kau yang membunuh reformasi.
Kau yang berteriak reformasi,
Kau menggerogoti reformasi.
Kau bilang mendukung reformasi,
Kau pula menelikung reformasi.
Kau yang anti korupsi di awal reformasi,
Kau juga korupsi dengan dalih reformasi.
Kau dirikan partai di awal reformasi,
Kau dirikan tirani berdalih reformasi.
Kau tegakkan nilai agama ketika reformasi,
Kau pakai dalih agama saat busukkan reformasi.

Kau diam-diam mencuri benih padi reformasi,
Kau kini hanyalah tai-tai reformasi!


|SW, 12 Mei 2013

Parpol Penumpang Gelap Reformasi Mei 1998

Keduanya menduduki jabatan penting, Fahri Hamzah adalah Wakil Sekjen Bidang Komunikasi Politik, dan Mahfudz Sidik Wakil Sekjen Bidang Media dalam jajaran kepengurusan DPP PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Artinya, dua-duanya mengetahui komunikasi politik dan persoalan media (semoga, harap-harap cemas sih).
Mari sekarang kita lihat, dua anak muda (yang sudah mulai tua itu), mau menghajar KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga Negara produk situasi reformasi 1998 yang menjadi tuntutan rakyat dan kemudian ditetapkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan sah sebagai produk hukum negara, yang sampai sekarang belum dicabut.
Kini, PKS (setidaknya diwakili dua pemimpinnya itu, jika tidak boleh mengatakan mereka dikorbankan seniornya untuk test the water), hendak menghajar dan menantang mana lebih dulu bubar, KPK atau PKS.
Semua orang tahu, lahirnya PKS, yang dulu sebelum sejahtera, bernama PK (Partai Keadilan, namun karena tak laku kemudian berubah strategi dengan tambahan ‘sejahtera’ itu), adalah karena euphoria reformasi 1998, yang 15 tahun lalu makan korban, dan para korban belum mendapatkan keadilannya hingga kini.
Munculnya multi-partai, ternyata lebih banyak mengkhianati tujuan reformasi politik Mei 1998. Senyatanya, banyak partai makin banyak korupsi. Termasuk indikasinya yang sedang diproses di KPK adalah kasus impor daging sapi, yang melibatkan presiden PKS Lutfie Hasan Ishaq (kemudian mantan) dan Ahmad Fathanah.
Bahwa banyak parpol selain PKS tidak bersih, iya. Bahwa kinerja KPK belum bagus, iya. Tapi perilaku orang-orang PKS dan elitenya (apalagi berkait penyitaan mobil LHI yang disembunyikan di kantor DPP PKS oleh Achmad Zakie), ternyata sama saja dengan yang lainnya ketika ada “oknum”-nya tercokok KPK. Membela diri membabi buta, menuding balik KPK dengan menyebar isyu di berbagai media, dan menyalahkan situasi. Mengapa tidak menempuh jalur hukum yang lebih terhormat, lakukan perlawanan hukum, bukan perlawanan preman, apalagi untuk partai yang mengaku bersih dan beragama? Mengapa mobil-mobil milik LHI dari rumah dialihkan ke kantor DPP PKS? Mengapa didaku mobil-mobil itu milik DPP? Jadi, ini kejahatan korporasi atau gimana?
Jamak orang salah menyembunyikan salahnya. Tapi di mana moral orang salah menyalahkan pihak lain tapi menikmati hasilnya? Kalau PKS menantang membubarkan KPK, dan cenderung mengindikasikan tidak mendukung KPK, PKS memang hanya penumpang gelap reformasi. Ia tak pernah punya statemen tentang situasi Mei 1998, tetapi tiba-tiba menantang pembubaran KPK sebagai produk reformasi. Kalau PKS mau menentang dan menantang tuntutan rakyat, mungkin itu baik untuk akhir perjalanannya. Rakyat paling a-politis pun akan jijik dengan partai korup yang mengaku bersih.

Jumat, Mei 10, 2013

Korupsi Segumpal Daging Bawah Selangkangan dan Teori Konspir-sapi



Dari semua uraian mengenai teori konspirasi (conspirations theory), tak ada yang bisa meyakinkan, darimana asal-usul teori persekongkolan ini. Kalau bisa diketahui, maka relatif kebohongannya besar, karena salah satu sifat dasar teori ini adalah kerahasiaan. Hanya di Indonesia saja, seorang reserse memasang sticker di pintu rumahnya, bahwa penghuninya adalah reserse (apa maksudnya jika bukan untuk menakut-nakuti debt-collector dibanding tugas kerahasiaannya?) Itulah Indonesia Raya!

Namun, jika kita cermati dari bunyi kata itu sendiri, besar kemungkinan teori ini pertama kali ditemukan di daerah ngapak-ngapak seperti Kebumen, Kutoarjo, Kutowinangun, Banyumas, Wonosobo, yang bisa jadi terjadi di pusat-pusat perekonomian. Di pasar-pasar, warung-warung, dan di setiap transaksi antara pedagang-petani, bakul-pembeli, selalu kata-kata itu muncul; “Kon pira, sih? Inyong ora wani,...” (Minta berapa sih, harganya,... kira-kira demikian terjemahannya).

Pedagang atau bakul yang selalu ingin membeli murah dan menjual mahal, agar untung gede, agaknya kemudian bersepakat, bersekongkol dengan para pedagang dan bakul lainnya, agar mereka dapat mencapai tujuannya. Dan hasilnya, petani jadi korban, pembeli jadi korban, dan mereka untung besar.

Inti konspirasi adalah persekongkolan atau kesepakatan. Untuk menunjang itu, dibutuhkan skenario. Karena itu, pada waktu dulu, kebutuhan akan penulis skenario sudah luar biasa banyak. Profesi penulis skenario, dibayar tinggi, tak seperti sekarang, banyak PH (production house) membayar penulis skenario (script-writer) murah, dan jangan heran kalau sinetron-sinetron di televisi kita kualitasnya acakadut.

Apalagi ketika kebutuhan akan scriptwriter ternyata tak hanya di televisi, melainkan juga di partai politik, perselingkuhan suami-suami takut isteri. Akhirnya semua itu mengakibatkan tak ada seleksi, karena antara kebutuhan dan ketersediaan SDM tak memadai. Maka lahirlah kisah-kisah yang ecek-ecek dalam dunia peradaban sosial kita, tanpa kecuali kepolitikan kita.

Seperti apa yang terjadi sekarang, ketika KPK mulai menyisir barang-barang bukti milik LHI atau AF, PKS bagai kebakaran jenggot (entah ini dalam maka konotatif atau denotatif). Mereka marah dan menyusun strategi perlawanan. Bahwa ini pasti konspirasi, KPK dipakai sebagai alat kekuasaan tertentu. Sama persis dulu ketika orang-orang Demokrat dicokok KPK, mereka juga menuding hal serupa.  

Nah, kita bisa membayangkan, jika semua orang yang dicokok KPK, atau dicokok hukum, menuding balik seperti itu? Susno Duadji dan Yusril Ihsa ngomong ini konspirasi kekuasaan, teroris ngomong itu konspirasi kekuasaan, Eyang Subur nuding ia korban konspirasi 3M (media gossip, masyarakat gatel, dan MUI), terus apa jadinya negeri ini? Ya, tetap saja jadi negeri Indonesia, kecuali kelak ganti owner dan ganti nama menjadi Indokampret misalnya.

Bahwa ketua KPK Abraham Samad goblog dan temperamental (nggak apa nuduh dia begitu, tapi kan tidak menyuruh dia mundur, daripada bilang dukung KPK, tapi bikin konspirasi untuk mendongkel dan mengobrak-abrik KPK), kita tahu itu. Tapi kita harus memulai dari satu titik, untuk mendorong lembaga ini menyelesaikan pekerjaannya, yakni dengan pembuktian hukum-hukum yang logis, dan bukan tudang-tuding teori konspirasi tanpa mampu menyebut alamat, kecuali hanya ingin memecah opini publik.

Jangankan orang Indonesia, orang Amerika saja, percaya adanya teori konspirasi. Tak sedikit yang percaya bahwa John F Kennedy sejatinya diselamatkan kaum alien karena teori konspirasi. Sebagaimana juga peristiwa 11 September terjadi karena persoalan petrolium dollar more!

Tapi, saya ingatkan, hal lain yang ingin disembunyikan dari diedarkannya teori konspirasi, ialah menyembunyikan fakta dasarnya atau fakta logikanya. Intinya, kalau misal bahwa elite PKS ini dijebak, lha kok mau dijebak? Orang yang tidak tahu dijebak, kemudian dia terjebak, dan menyalahkan penjebaknya, pastilah orang yang tidak siap menjadi pemimpin, teladan, dan tidak fathanah (itu sebabnya mereka menolak Fathanah bukan orang PKS, karena kalau mereka cerdas, berarti di PKS ada fathanah-nya dikit-dikit gitu lho). Lebih celaka lagi, menyalahkan penjebak tetapi menikmati hasil jebakannya itu, yang bukan tadi siang menikmatinya, tapi sudah lebih dari dua tahun, sudah dipakai kowan-kawin, mbela-mbeli mobil mewah, apartemen untuk isteri muda, kawin syiri, dll, dsb, lha kok tiba-tiba ngomong kita dijebaaaaaakkkk,...! Dijebak dari Hong Kong?

Yang namanya jebakan, itu sudah setua sejarah manusia, dari sejak Kanjeng Nabi Adam hingga Kanjeng Nabi Muhammad. Dan selalu hanya pemimpin yang cerdas, yang bisa dipercaya, yang tidak bisa dijebak, yang akan diikuti ummat. Karena itu mereka biasanya tidak mendirikan partai politik, tetapi mendirikan shalat, menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan mendirikan keadilan untuk kesejahteraan elitenya.
Think localy act globaly, dari Banyumasan seanteronya, menuju teori konspirasi dunia. Kalau kamu tidak berkeadilan dengan kebenaran, kesejahteraanmu hanya setingkat selangkangan.

Telah Terbit Serat Centhini Dwi Lingua Jilid Dua



Sebentar hari lagi, minggu depan, akan beredar Serat Centhini Dwi Lingua Jilid 2 dari 12 jilid. Karya Sastra Klasik Jawa abad 18 karya Sri Susuhunan Pakubuwana V, yang lengkap disajikan dalam teks asli bahasa Jawa dan terjemahannya bari demi baris, oleh Sunardian Wirodono.

|DATA BUKU
(1) Fisik: Ukuran 13,5 x 21 Cm. Tebal tiap jilid minumal 600+ hal. Kertas mangkak 70 gram (total 12 jilid, baru terbit jilid 1 dan 2, dan semoga mulai Juni 2013 terbit jilid berikutnya tiap bulan)
(2) Bahasa: Jawa dan Indonesia
(3) Harga per-eksp., Rp 100.000 (Edisi Hardcover), Rp 85.000 (Edisi Soft Cover) + ongkos kirim Rp 20.000 untuk dalam Jawa dan Rp 30.000 untuk luar Jawa.
(4) Penerbit: Yayasan Wiwara, Pr. Griya Taman Asri H-303, Panasan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta55581. Telepon 0274.865682


|CARA PEMESANAN/PEMBELIAN
(1). Tuliskan nama dan alamat lengkap, yang bisa dijangkau pos, ke inbox akun fb Sunardian Wirodono, Membaca Serat Centhini, dan atau email ke sunardianwirodono@yahoo.com atau yayasanwiwara@yahoo.com. Sertakan nomor HP untuk konfirmasi.
(2) Transfer uang pembelian buku via bank, dan seterusnya akan disampaikan via email.

Terima kasih dan salam
Yayasan Wiwara
Sunardian Wirodono

 

Rabu, Mei 08, 2013

Indonesia di Bawah Selangkangan Uang yang Mahakuasa

"Semua orang memuji-muji surga," kata James Baldwin, penulis dan aktor, "tapi tidak ada yang mau pergi ke sana sekarang juga."
Benarkah demikian? Kita tak bisa bertanya pada Uje, ustad puluhan juta rupiah per-15 menit itu. Soal beginian, yang tahu tentu hanya yang Mahatahu dan yang Soktahu (yang terakhir ini biasanya dikategorikan pada industriawan gossip selebritas dan para korbannya).
Di Indonesia Raya, kita selalu dipaksa untuk yakin, ada begitu banyak ahli sorga, yang entah kapan dapat SK dari Tuhan, hingga bisa menghakimi orang perorang murtad atau tidak, bahkan bisa menentukan layak atau tidak layak seseorang masuk sorga atau neraka, semengtara beberapa anak MUDA komika dari 'Negeri Stand Up Commedy' meyakini, “masuk neraka” adalah idaman mereka, sesuai sabda Indro Warkop. Padahal menurut Habib Soleh (yang dibantah Habib Selon sebagai bukan pengurus FPI) ketika membela Eyang Subur, “Hanya Allah yang berhak menilai manusia itu sesat atau tidak,...!”
Di tangan manusia, agama bisa jadi blunder, khususnya pada manusia-manusia yang selalu memakai dalil agama, comot pasal sana pasal sini, menjadi agama teks tapi kehilangan konteks. Para agamawan ini kemudian bisa tak jauh beda dengan para lawyer, yang menafsir satu pasal bisa menjadi beragam dalil sesuai kepentingannya, bahkan bisa jadi dulu memakai pasal ini untuk itu, esoknya memakai pasal itu untuk ini, yang satu sama lain bertolakbelakang. "Hidup bersama orang suci ternyata jauh lebih melelahkan daripada menjadi orang suci itu sendiri," demikian keluh Robert Neville, sang aktor dari Amerika Serikat kita sikat (dan Inggris kita linggis, jika SBY mau mengembalikan gelarnya sebagai Ksatria Inggris).
Di negeri nasionalis religius ini, bahkan partai politik pun memakai agama sebagai opium, untuk membius kesadaran kritis. Ada banyak korupsi, dinasehatkan jangan su’udzon. Ada banyak penyelewengan, jangan menuduh mereka karena belum tentu kita lebih baik. Mantra-mantra agama perlahan justru dipakaikan untuk mematikan daya kritis, karena daya kritis diidentikan dengan kekafiran. Maka Hitler, sang pemimpin Nazi, bisa dimengerti jika berkata, "Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Aku tidak perlu berpikir, karena aku adalah pegawai pemerintah,..."
Mengutip Charles de Gaulle, Presiden Perancis pertama, "Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya." Maka demokrasi, kata yang selalu dipakai sebagai alasan, berjalan dalam rel pseudo-demokrasi, demokrasi yang semu, karena; "Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi," seperti ujar Clement Attlee. Dan itu melelahkan. Makanya PM Inggris itu berkata kemudian, "demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut."
Alat tutup mulut paling efektif, adalah uang (mungkin ujar AF juga sex dan mobil mewah) seolah membenarkan pelawak Will Rogers, yang mengatakan; "Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus mengeluarkan banyak uang."
Bukan hanya kalah, bahkan di Indonesia, untuk masuk penjara pun juga memerlukan uang. Bukan hanya bayar lawyer, melainkan juga membayar yang lain-lain, entah jaksa, hakim, polisi, sampai pun sipir.
Praktik politik kita, di Indonesia, pada akhirnya lenjeh dengan manipulasi, korupsi, dan politik ekonomi rente yang bisa menjerat siapa pun. Maka jika tak kuat mental, dengan kerja mudah dapat milyaran rupiah (misal dalam politik cuma ngomong ngacau bisa dapet duit, misal dalam agama jadi ustad seleb bisa dapet duit, semuanya mudah dan jumlah ngaudzubillah), akibatnya bisa seperti AF yang bagi duit, jam, mobil bernilai milyaran pada banyak perempuan bukan muhrimnya.
Politik berbiaya tinggi itu, mengindikasikan semuanya semu. Semuanya dibangun di awang-awang. Dan uang lebih berputar di sana. Dalam praktik beragama, kita juga mengenali gejala yang sama. Berapa banyak panitia acara keagamaan ternganga, disodori DP puluhan juta dari tarif ustad seleb, dan tidak akan dikembalikan jika acara batal. Karena membatalkan acara adalah dosa, dan dosa harus dibayar di muka.
Apakah semuanya ini? Formalisasi berfikir dan beragama kita menyeret kita dalam pragmatisme. Semua hal dinilai dari azas kemanfaatan (diri sendiri). Kapitalisme Orde Baru beranak-pinak subur, hingga teriakan reformasi hanya omong kosong, karena lebih merupakan kelanjutan, makanya SBY suka teriak, "Lanjutkan!". Dan kita makin didorong vandalism yang binal dalam kekuasaan (politik, agama, uang), "Hasil dari kerja adalah uang. Hasil dari uang adalah lebih banyak uang. Hasil dari lebih banyak uang adalah kompetisi yang ganas. Hasil dari kompetisi yang ganas adalah dunia yang kita diami ini," ujar DH Lawrence sang penyair itu.
Dan ketika yang mengaku ini dan itu, yang lebih baik dari yang lain, ketika dihujat dan dituduh munafik, tidak konsisten dan sebagainya, akan berbalik menyerang; Bukan saya saja yang melakukan ini. Temen saya juga! Don Marquis, seorang kolumnis, dengan sinis menyebutnya; "Orang yang munafik adalah orang yang,... 'hey, siapa sih yang tidak munafik?'”
Apa yang akan didapat dari Indonesia, dengan kualitas pemimpin negara (politik dan agama) seperti itu? Saya teringat pidato presiden AS, Herbert Hoover, yang sinis, "Berbahagialah generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi hutang bangsa."
Pemerintahan yang tidak produktif, adalah pemerintahan yang lebih banyak meninggalkan hutang, apalagi jika pemerintahan itu korup (dan menjadikan masyarakatnya konsumtif, seperti kata Pram). Demikian juga suatu bangsa akan mendapatkan celaka, ketika pemimpin agama tidak bisa membimbing umatnya, apalagi mereka juga menjadi bagian dari masalah. Ketika Tuhan menguji kita dengan ‘soal’ Eyang Subur saja, kita lebih suka main kayu daripada berdiskusi sebagaimana diajarkan nabi-nabi yang direkomendasikan Tuhan.
Kenapa demikian? Menurut Kyai Eyang Cubluk dari desa bawah paha, yang mengutip Eyang Voltaire, sang filsuf klasik Yunani itu, "Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya."

Selasa, Mei 07, 2013

Dongeng Kancil dan Gajah Menjelang Pemilu

Syahdan, menurut sahibul bohong, pada jaman dahulu kala, hidup seekor Kancil yang cerdas dan riligius. Ia waktu itu tengah berjalan sendirian, karena yang lainnya lagi sibuk melengkapi berkas pencalegan mereka, yang dianggap belum beres oleh KPU (Kancil Poreper United).
Tiba-tiba, langit mendadak gelap. Mendung tebal disertai angin kencang. Halilintar menyambar-nyambar bak lawyer nyari pasal apa saja agar client-nya menang. Kancil berlari kencang, sekencang-kencangnya. Lebih kencang dibanding yang lambat, apalagi presiden. Semak, batu, parit, reranting pohon, diloncatinya.
Tiba-tiba (tiba-tiba lagi), “guzzzzzraaaaaackkkzzzzz,…!”
Kancil terperosok ke dalam lubang jebakan. Mungkin para pemburu yang membuat jebakan seperti itu, atau bisa jadi ARB hendak membuat Lapindo di mana-mana.
Dengan susah payah, Kancil berusaha keluar. Lubang itu terlalu dalam untuk tubuhnya. Hingga akhirnya Kancil kelelahan.
Tiba-tiba (apalane kok ‘tiba-tiba’ terus), lewatlah seekor Gajah. Ia berhenti dan menengok dalam lubang, “Wah, wah, wah,.... Kasihan betul si Kancil. Bagaimana kau yang terkenal banyak akal dan pandai menghindar bisa terjebak dalam lubang? Huahahaha,…”
“Woi, Gajah. Siapa bilang aku terjebak?” Kancil menyahut cepat.
“Weleh, masih mau berkelit,” Gajah senyum mengejek, “Sudah terbukti ngasih duit ke cewek-cewek, ngasih mobil mewah, eh, giliran mobil-mobilnya mau disita masih berkilah soal keadilan dan prosedural. Kurang sejahtera ya?”
“Gajah! Please deh, sebenarnya aku kasihan padamu.”
“Kasihan apa? Kasihan Bantul? Huahahaha, dagelan lokal, yang ketawa paling cuma Leyloor! Sudahlah, akuilah kau sama dengan kancil-kancil penipu lainnya. Kancil itu mestinya nyolong timun, bukan nyolong sapi!”
“Begini, Jah! Sebenarnya ini kabar rahasia dari Kanjeng Nabi Salomon. Dan hanya makhluk terpilih yang boleh tahu.”
Gajah, yang mesti tinggi buesar, tampaknya dongok juga dan mudah terbujuk, ia pun bertanya, “Kabar rahasia apa maksudmu Ci’il?”
“Cil kok Ci’il,…!”
“Sorry, suka kacau ama Rizal Mallarangeng sih! Kamu tak sedang menipuku ‘kan?”
“Kamu mau percaya atau tidak, terserah. Yang pasti, pemilu sudah dekat. Kau tahu tanda-tandanya? Langit terlihat merendah, langit akan runtuh, Jah! Makanya aku sembunyi di lubang ini.”
“Hah? Langit mau runtuh? Yang benar kamu Cil, duh, follower twitterku belum mencapai target je bul!” Gajah nan alay itu seperti biasa berkeluh kesah.
“Hesst! Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar. Kalau ketahuan Fenny Rose bisa di-silet kamu. Coba kamu lihat langit itu. Gelap. Sebentar lagi runtuh. Kalau kau ingin selamat juga, cepat masuk ke lubang ini bersamaku. Lubang ini masih muat kalau cuma untuk kita berdua,…”
Syahdan, Gajah pun terbujuk. Makhluk bertubuh besar itu, otaknya pas-pasan, ia mengeluh, “Sepertinya benar katamu, sebentar, aku ngetuit,…”
Usai posting tuitan, Gajah pun masuk ke dalam lubang.
Beberapa saat kemudian, langit terang. Mendung lenyap dan tak jadi hujan. Cuaca memang suka aneh, kayak ibu-ibu yang mau menstruasi.
“Bentar, aku naik ke punggungmu, mau lihat langit sepertinya membiru,” kata Kancil.
Eh, Gajah nurut saja. Ia biarkan Kancil naik ke punggungnya. Karena saking gedenya Gajah, Kancil bisa meloncat ke luar dari lubang, “Hei, Gajah. Langit tak jadi runtuh, sekarang kau naiklah,…”
Tentu saja Gajah susah payah untuk keluar dari lubang itu.
“Hadeh, gimana sih? Ayo cepat,…” Kancil menggoda. Ia senang dirinya bisa bebas, dengan menipu sang Gajah bodoh itu.
Gajah agaknya sadar, ia telah ditipu Kancil. Tapi, Kancil tak sadar, ini Gajah sudah pernah mendengar dongeng 'Kancil dan Langit Runtuh' itu dari ortunya. Secepat kilat ia julurkan belalainya, menangkap Kancil.
Kancil yang mabuk kemenangan, terlena. Tubuhnya tersaut belalai Gajah dan ia terhempas kembali ke dalam lubang.
Tiba-tiba (tiba-tiba meneh,…) langit mendung. Hujan turun amat derasnya. Lubang itu pun penuh air. Sebatang pohon ambruk tersambar petir, menutup lubang itu.
Hingga esok harinya, sekawanan pecinta alam mendapati bangkai dua binatang itu. Mereka potrat-potret, terus kemudian diupload ke akun fesbuknya. 

Tamat. 
Lha moral dongengnya? 
Wong manusia aja nggak punya moral, mosok dongeng harus punya moral juga.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...