Suatu hari yang garing, seorang Profesor memberi kuliah tentang manajemen waktu, pada para mahasiswa MBA. Ia seorang profesor yang antik, unik, dan tidak cantik. Cara ngajarnya saja yang asyik.
Dengan penuh semangat, beliau berdiri di depan kelas dan berkata, "“Okay, sekarang waktunya untuk quiz.”
Beliau mengeluarkan ember kosong dan meletakkannya di meja. Rasa-rasanya, cuma beliau satu-satunya, profesor yang ngajar dengan membawa ember dari rumah. Karena bukan Prof. Bakdi Soemanto, Prof. Suminto, Prof. Sapardi, dan kambrat-kambratnya itu, namakan saja beliau Profesor Ember.
Beliau mengisi ember tersebut dengan batu sebesar kepalan tangan. Mengisi terus, hingga tak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan.
Beliau bertanya pada kelas, ”Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?”
Semua siswa serentak menjawab, ”Ya,..!”
Profesor Ember bertanya kembali, ”Sungguhkah demikian?”
Kemudian, beliau mengeluarkan sekantung kerikil kecil (darimana sih beliau membawa semua benda-benda itu? Ssst, jangan ewet, nikmati inti dongengnya). Beliau menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember, lalu menggoyang-goyang ember hingga kerikil-kerikil itu turun, mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu sekepalan tangan yang bertindihan mencipta rongga.
Kemudian sekali lagi, beliau bertanya pada kelas, ”Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab ragu, ”Mungkin, tidak, atau belum.”
“Bagus sekali,” sahut Profesor Ember itu. Kemudian, beliau mengeluarkan sekarung pasir, dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil.
Sekali lagi beliau bertanya pada kelas, ”Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
“Belum!” sahut seluruh kelas. Kini lebih tegas.
Sekali lagi beliau berkata, kayak Pak Tino Sidin, ”Bagus. Bagus sekali.”
Kemudian beliau meraih sebotol air, dan mulai menuangkan air ke dalam ember, sampai permukaan air menyentuh bibir ember. Profesor Ember menoleh ke kelas, dan bertanya, ”Tahukah kalian, apa maksud ilustrasi ini?”
Seorang mahasiswa, dengan semangat mengacungkan jari, ”Maksudnya, adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga, pasti kita bisa mengerjakannya.”
Profesor Ember tercenung sejenak, namun ia menggelengkan kepala, “Mmmm, no. Bukan itu,... Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari ilustrasi mengajarkan pada kita bahwa, bila Anda tidak memasukkan batu besar terlebih dahulu, maka Anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”
Para mahasiswa saling toleh, karena kalau saling pukul namanya bar-bar.
"Apa maksud batu besar dalam hidup Anda?" tanya Profesor Ember, "Cobalah lihat, hidup rumah tangga Anda. Suami. Isteri. Atau pasangan Anda. Anak-anak Anda. Pendidikan Anda. Hal-hal yang penting dalam hidup Anda. Mengajarkan sesuatu pada orang lain. Melakukan pekejaan yang Anda cintai. Waktu untuk diri sendiri. Kesehatan Anda. Teman Anda. Atau semua yang berharga. Itu semua, adalah batu-batu besar yang Anda perlu masukkan ke dalam ember kehidupan Anda. Memasukkan batu besar pertama kali, atau Anda akan kehilangan semuanya?"
Ruang kelas senyap, tapi isi kepala para mahasiswa berdenging-denging.
"Bila Anda mengisi hidup Anda dengan hal-hal kecil, semacam kerikil dan pasir terlebih dulu," kata Profesor Ember kemudian, "maka hidup Anda akan penuh dengan hal-hal kecil, yang merisaukan, dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian Anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya Anda perlukan
untuk hal-hal besar dan penting."
Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, siang juga boleh, ketika akan merenungkan cerita pendek ini, tanyalah pada diri sendiri: “Apakah batu besar dalam hidup saya sudah saya letakkan terlebih dulu, atau saya asyik ke sana-kemari, ngopeni video porno, atau bergossip penuh kutu-busuk dengan coro lainnya, 24 jam bergelut dengan BB sibuk bersosialisasi, atau berpikir tentang senjata mematikan karena hanya kepikiran menjadi pemenang dan suka mematikan lawan? Lalu kerjakan itu pertama kali,...."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar