Bayangkan, tak berselang sebulan, setelah
Presiden PKS dicokok KPK, dalam kaitan impor daging sapi, kali ini ketua umum
Pardem dapat status tersangka dalam kaitan kasus Hambalang.
Kalau berkait KPK, tentu
saja ini kasus hukum. Harus dibuktikan dan diproses secara hukum. Kalau ada
yang mengait-ngaitkan dengan masalah politik, ya wajar saja, karena mereka
berdua tokoh dan hidup di ranah politik.
Kalau kita ikuti
kata-kata Anas, “Saya bingung, ini soal hukum atau politik,...” maka kita bukan
hanya ikut bingung, tapi bisa bego. Mau ‘nabok nyilih tangan’ atau ‘nabok
nyilih duit’, itu urusan Anas.
Jangankan itu, masalah
rumah-tangga keseharian pun, kadang dipersepsi dan diinterpretasikan dengan
kacamata politik. Masyarakat kita, sangat euforia dengan “politik”, meski
idiom-idiom politiknya hanyalah bersandar pada media massa, utamanya televisi,
yang itu pun lebih mewadahi para kepentingan di dunia itu, para politikus dan
lawyer-nya.
Belum lagi masyarakat
baru akan melek politik, muncul Mark Zuckerbergh, memberikan media pada
masyarakat lisan Indonesia, dan jadilah semua orang ngomong (secara tertulis
dan lisan) bak “bakul sinambi wara”. Dan di fesbuk atau twitter, kita lihat
berbagai analisis politik seolah-olah kita ini sudah begitu rupa ahli
politiknya.
Padahal, kasus Lutfi
Hassan atau Anas Urbaningrum, itu tinggal dirujukkan saja di pasal-pasal yang
berkait dengan persoalan hukum dan perbuatan hukum mereka. Itu saja.
A-politis? Memangnya
kualitas politik macam apa, kalau perbincangan politik kita hanya pokrol bambu,
asu gede menang kerahe, yang tak tahu malu ngomong apa saja asal populer (lihat
beberapa anggota DPR yang sering nongol di ILC dan di media daripada di rapat
paripurna atau konstituennya). Ngikutin omongan politikus yang penuh “politicking”
dan sampah itu, dunia bisa mereka jungkir-balikkan seenak-udel.
Kalau ada pejabat publik,
anggota DPR atau Menteri atau apa yang bilang saya tidak tahu apa-apa, ini
jebakan, ini aturannya tidak jelas,.... lha kok bisa, baru protes setelah
kejeblos? Kita selalu bilang, orang sebaik itu, sesantun itu, sesederhana itu,
sereligius itu. Stop ukuran pribadi. Kasus hukum, nilai dengan ukuran hukum.
Aneh kalau soal Andi
Malarangeng kemudian bilang, saya nggak ngerti birokrasi, atau Anas bilang saya
nggak ngerti itu grativikasi, atau Lutfi menyangkal apa hubungannya ini dan
itu,...
Biarkan KPK bekerja, toh
akhirnya Lutfi juga tak bisa bekoar lagi serta menyangkal bahwa dia tak kenal
AF, dia tak berhubungan dengan ini dan itu. Kalau ngomong kepatutan moral,
ngomonglah dengan Tuhan, dan biarkan Tuhan memberi cap atau sertifikat dan
diumumkan di wall-wall fesbuker sekalian.
Kita ini hidup di sebuah semesta yang memiliki hukum-hukum, sama seperti
adanya hukum gravitasi. Jika Anda jatuh dari sebuah gedung, tidak menjadi soal
apakah Anda orang baik atau jahat, Anda akan tetap menumbuk tanah (Michael
Bernard Beckwith).
Karena
itu, sadarlah, bahwa ketika Anda mengambil satu posisi, itu tidak sedang dalam
posisi alay, mabuk, nyimeng, atau apalah. Jangan pura-pura bego. Menurut Bob Doyle, kebanyakan dari kita menarik sesuatu (akibat)
karena kelalaian. Kita hanya berpikir bahwa kita tidak memiliki kendali
atasnya. Padahal pikiran dan perasaan kita berada dalam suatu tindakan rutin
terus-menerus. Jadi, segala sesuatunya didatangkan pada kita karena kelalaian. Kok bisa lalai? Katanya
pakai sumpah?
Di
Indonesia, semua hal bisa dipandang dari sisi politik. Tapi mengikuti omongan
politikus (juga lawyer, juga fesbuker yang hanya bersandarkan sumber dari media
mediocer), adalah blunder, yang celakanya itu juga dilakukan oleh SBY, sebagai
pribadi dan presiden.
Konon
kita anti-korupsi, tapi aturan perundangan dan sistem penganggaran sampai
pembahasan dan pelaksanaan, membuka jalan untuk itu. Di mana logikanya? Amerika
tingkat korupsinya lebih rendah dari Indonesia, bukan karena disana ada 10
Pancasila atau pakai ayat ini dan itu, tetapi berdasar satu sistem dan
mekanisme di mana perencanaan sampai pelaksanaan itu diawasi secara fair, dan reward
and punishment ditegakkan dengan konsisten. Dan untuk itu, tak diburuhkan FPI
untuk menegak-negakkan diri yang absurd itu.
Kenapa
bukan menuntut sistem rekrutmen orang Senayan diperbaiki, supaya tidak
menelorkan undang-undang yang lemah secara konstitusional dan akademik? Kenapa
ngomong yang tidak-tidak, sementara di Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan,
dan lain-lainnya, juga bisa terjadi korupsi? Kurang apa PKS mengecat putih
bajunya, dan apa kejadiannya?
Tapi kalau kamu
ngomongin agama nggak bisa, kata Ahok alias Budi Tjahaja Purnama,
wagub DKI Jakarta. “Ngomong agama kita nggak usahlah, yang penting nilai-nilai dalam
agama kamu harus mempengaruhi kamu dalam kamu bertindak," ujar Ahok di
Balai Kota Jakarta, Kamis (21/2).
Mantan Bupati Belitung Timur ini mengatakan, iman harus ditunjukkan dengan perbuatan. "Kamu mau tunjukkan iman kamu, tunjukkin perbuatan kamu, baru kemudian aku tahu iman kamu seperti apa," katanya.
Mantan Bupati Belitung Timur ini mengatakan, iman harus ditunjukkan dengan perbuatan. "Kamu mau tunjukkan iman kamu, tunjukkin perbuatan kamu, baru kemudian aku tahu iman kamu seperti apa," katanya.
Segala
sesuatu yang kita fokuskan, akan kita ciptakan. Jadi misalnya, jika kita
sungguh-sungguh marah pada perang yang sedang berlangsung, atau pemogokan, atau
penderitaan, kita menambah energi padanya. Kita mendorong diri, dan ini hanya
menciptakan penolakan. Sebagaimana kata Carl Jung, “Apa yang Anda tolak akan
bertahan.”
Apa
yang Anda tolak justru akan bertahan karena jika Anda menolak sesuatu, Anda
berkata, “Tidak, saya tidak menginginkan hal ini, karena ini membuat saya
merasa begini— perasaan yang saya rasakan saat ini.” Jadi, Anda memancarkan
sebuah emosi yang sangat kuat dari “Saya sungguh-sungguh tidak menyukai
perasaan ini”, dan perasaan tidak menyenangkan itu justru akan mendatangi Anda
dengan cepat” (Bob Doyle).
Gerakan
antiperang menciptakan lebih banyak perang. Gerakan antinarkoba justru
menciptakan lebih banyak narkoba. Gerakan anti korupsi, atau katakan tidak pada
korupsi, nyatanya malah kampiun korupsi. Karena kita berfokus pada apa yang
tidak kita inginkan!
Maka
betapa benar Ibu Teresa. Ia berkata, “Saya tidak akan pernah menghadiri demonstrasi
antiperang. Jika Anda mengadakan demonstrasi damai, undanglah saya.” Ia tahu.
Ia memahami Rahasia. Lihatlah apa yang telah ia wujudkan di dunia.
Jika
Anda antiperang, sebaiknya jadilah prodamai. Jika Anda antikelaparan, jadilah
orang yang memiliki lebih dari cukup untuk makan. Jika Anda anti pada politikus
tertentu, jadilah pro-oposisi. Sering kali pemilihan umum memenangkan orang
yang tidak disukai karena mereka justru mendapatkan semua energi dan fokus.
Ingatlah,
dan pernyataan yang satu ini adalah yang paling sulit sekaligus yang paling
indah untuk dipahami, bahwa terlepas dari apa pun kesulitannya, di mana pun
adanya, siapa pun yang terkena, Anda tidak mempunyai pasien kecuali diri Anda
sendiri; tidak ada yang harus Anda lakukan kecuali meyakinkan diri akan kebenaran
yang ingin Anda wujudkan.
Belajarlah
untuk hening, surut dari pasar wacana, dan biarkan semua orang bekerja pada
proporsionalitas dan profesionalitasnya.
Kalau
Anas dihukum karena kasus grativikasi, jangan salahkan undang-undang yang
mengaturnya begitu, sekali pun kau bersumpah-sumpah bahwa seseorang itu jujur
kacang ijo dan sangat religius maknyus.
Kalau
nanti ujungnya Boediono, atau SBY, juga ditangkap KPK ‘gimana? Pasti Anda akan
bilang, nggak mungkiiiiiinnnnn, terus bla-bla-bla.
Nggak
penting, sebagaimana tulisan ini juga nggak penting!
Kalau
Anas mau digantung di Monas, memangnya Monas mau digantungin Anas? Berpikirlah
dari sudut yang lain. Naik dan berdirilah di atas meja. Carpe diem. Seize the
day!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar