Yang terbelah, dalam menyikapi kasus Anas Urbaningrum, bukan hanya
para petinggi Pardem, melainkan juga di tengah masyarakat itu sendiri. Para
analis politik di fesbuk, juga beragam tanggapannya.
Dalam psychopolitic, hal itu juga mesti dilihat pada sudut pandang
pertarungan David dan Goliath. Pernyataan AU di twitter, meminjam istilah “Nabok
Nyilih Tangan” (Nggampar via tangan orang lain), sungguh sangat efektif untuk
membuat keterbelahan itu makin nyata. Dan yang muncul kemudian, adalah sosok
Goliath, yang diam-diam ditengarai bukan hanya oleh istilah AU, melainkan juga
dalam ingatan kebanyakan masyarakat.
Psikologisme masyarakat kita juga akan lebih mendukung underdog.
Ketika semua orang mendukung Barca atau Madrid misalnya, tak sedikit yang akan
membela tim-tim papan bawah ketika mereka melawan tim raksasa itu.
Namun memang, kita sendiri juga telah terkontaminasi oleh acuan-acuan
dan istilah-istilah politicking. Dan semuanya itu, dilemparkan dalam pertarungan
wacana yang eksplosif. Media yang cair, telah mengajari publik untuk berfikir
sejurus dengan hal itu, yakni sama cairnya.
Di tengah buruknya sistem peradilan kita, seyogyanya memang kita mesti
mempersilakan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) membuktikan dalil-dalil dan
bukti-bukti hukum yang dimilikinya. Sebagaimana kita mestinya juga selalu
proporsional terhadap apa pun obyek penilaian kita.
Menilai perilaku politikus di DPR, tentu semestinya mengacu pada
sistem, mekanisme, dan aturan yang berlaku di Senayan. Demikian juga menilai
kualitas kerja Presiden, Menteri, Gubernur, Jaksa, Kepolisian, Media Massa, dan
seterusnya, harus sama pada profesionalitas dan proporsionalitas.
Meski tentu, gairah publik turut berwacana adalah juga cerminan dari
dialektika kita dalam proses berbangsa dan bernegara itu sendiri. Apalagi,
teknologi informasi juga menyodorkan banyak pilihan media bagi masyarakat untuk
meneguhkan identitas masing-masing, yang selama jaman Orde Baru, tidak
ditemukan, apalagi dilatihkan dan dipraktikkan. Euforia ini mesti dilalui.
Jadi? Dalam proses transformasi nilai-nilai dan tatanan baru, kita
bisa menyatakan apa saja. Sampai muntah-muntah. Tapi memberi ruang bagi
masing-masing entitas untuk bekerja pada ranah masing-masing, agar kita jernih
melihat masalah, juga masih membutuhkan proses waktu.
Pernyataan AU jauh sebelumnya, soal kesediaan digantung di Monas,
adalah contoh blunder (artinya juga tidak proporsional) yang banyak
dipraktikkan oleh siapa saja, termasuk SBY dan rakyat jelata. Akibat lebih jauh
dari hal itu, satu sama lain bisa saling mengeruhkan air kolam, dan kita tak pernah
sampai pada pembelajaran menangkap ikan emasnya.
Kita benar-benar mengalami involusi dan terjebak dalam formalisme,
dengan begitu banyak menguasai teori-teori, logika, dan dasar argumentasi.
Namun satu-sama lain justeru mengaburkan apa masalah esensialnya. Segala macam
Undang-undang, aturan, birokrasi dan sebagainya, bukan saja diciptakan untuk
melakukan kemuliaan, melainkan juga membuka ruang pengkhianatan.
Negeri ini juga begitu riuh-rendah, karena semua orang boleh
berkomentar apa saja, dan merasa penting, sekali pun tidak proporsional dan
bukan otoritasnya. Negeri penuh feedback ini, tentu saja jadi penuh
interpretasi, penuh konspirasi, namun muter-muter dalam perdebatan semantika yang
kadang jadi penuh kegenitan.
Jika KPK bisa membuktikan AU sangkaannya, dan hakim secara logika dan
argumenasi hukumnya memvonis bersalah, atau memutuskan sebaliknya, biarkanlah
semua itu berjalan. Jika para pihak yang bersengketa tak mempercayai kinerja
mereka, tempuhlah jalur hukum, sebagaimana sudah diatur. Sampai naik banding,
kasasi, dan seterusnya.
Dan kita bisa berfokus pada posisi masing-masing, karena Indonesia
Raya ini toh tidak hanya tergantung kemakmuran dan kesejahteraannya hanya
karena kerja eksekutif dan legislatif semata (sebagaimana teori ngawur Sutan
Batoeghana ketika menyodorkan gagasan uang pensiun untuk anggota DPR).
Atau, memang kita masyarakat pasar yang riuh-rendah, karena kita
adalah juga para pedagang yang bagai “mbok bakul sinambi wara”? Baiklah, jika
demikian, terima kasih pada Mark Zuckerbergh, yang memberi kami ruang untuk
lebih cepat dalam proses pencarian jati-diri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar